Pendekatan Kontras pada Pendidikan, Relevankah?
Pendekatan Kontras menjadi salah satu metode pendidikan yang banyak dilihat oleh beberapa kalangan pendidik, baik dari segi pelaku, pemerhati, dan bahkan orang yang tidak begitu setuju dengan model tersebut.
Pendidikan kali ini memasuki era baru, yaitu era disruptif, Era dimana tantangan menjadi lebih komplek. Kompleksitas ini terjadi karena tiga arus utama zaman ini sebagaimana telah saya singgung pada tulisan sebelumnya (Diseminating Values...) yaitu globalisasi, demokrasi, dan teknologi bermuara bersama. Dari sini membawakan kita pada babak baru yaitu terbukanya jendela secara lebar. Ada banyak warna baru yang masuk ke Pendidikan Indonesia, baik yang memang asli budaya Indonesia atau yang diimport masuk ke Indonesia.
Pendekatan Kontras, salah satu yang sedang digandrungi Guru Agama Muda dan Dai Pop akhir ini. Pendekatan ini adalah bagaimana memberikan penjelasan kepada murid atau jullas pada sebuah majlis taklim dengan menyuguhkan dua perspektif, yaitu yang baik atau buruk, haq atau batil. Paradigma yang dibentuk adalah mengarahkan para murid untuk mampu menerima dan menginternalisasi hal yang baik, dan menegasikan seluruh hal selain baik (buruk). Pendekatan kontras apabila dilakukan menerus, maka akan membuat para murid mempunyai keteguhan hati dalam menggenggam hal yang baik dan disertai dengan sikap tidak setuju dengan hal yang buruk. Sikap ini acapkali diwujudkan dengan perjuangan oleh para murid kepada orang yang mereka anggap buruk untuk mengikuti mereka.
Pada sisi ini, pendekatan kontras pada pendidikan mempunyai dampak baik. Karena mampu mengarahkan murid yang bisa memegang teguh prinsip. Tujuan pendidikan meliputi muatan-muatan nilai dapat tercapai, tercermin dari muridnya yang mulai menunjukkan perubahan. Misal saja, temen-temen putri yang sebelumnya belum berjilbab, saat ini berjilbab, yang sebelumnya tidak jamaah di masjid, sekarang sudah sebaliknya. Ini menjadi indikator keberhasilan pendidikan karena kompetensi sikap mulai ada perubahan.
Pada sisi lain, pendekatan kontras juga memberikan efek samping. Pendekatan kontras yang semula sudah ada sejak tahun 1912an, lalu menjadi tumpah ruah, riuh setelah gulingnya orde baru sebagai akibat dari terbukanya demokrasi serta jebolnya kran arus informasi dari luar negeri, ini membawa dampak yang juga bisa membahayakan. Pendekatan kontras ini bah pisau bermata dua, karena boleh jadi kalau digunakan tidak tepat bisa kebablasan atau tidak tepat guna. Misal saja, pada kali ini banyak kalangan muda newbie menjadi murid yang berani untuk “beraksi”. Pemahaman yang mengendap dalam diri mereka akan kontrasnya suatu hal mengantarkan suatu problematika tersendiri. Karena terbiasa disuguhi dengan hal yang baik dan selainnya tidak baik, mereka menjadi antipati pada hal yang mereka anggap tidak baik.
Antipati ini berwujud gagasan, dan gerakan. Mereka akan menolak tentang hal yang tidak sesuai dengan mereka. Misal saja pada suatu jamaah keagamaan di SMA favorit di Jogja, pernah menutup artis yang sedang manggung di acara pensi sekolahnya dengan jaket. Mereka menilai pakaiannya terlalu terbuka, terjadi pemaksaan gagasan mereka kepada orang lain, Saya kira ini masih wajar. Namun ada indikator lain yang lebih fatal, seperti fenomena takfiri. Fenomena takfiri adalah gerakan hate speech kepada orang yang tidak sepaham, dan menjustifikasi mereka tidak akan mendapatkan nikmat setelah hari akhir. Gampangannya, mereka tidak menjadi golongan mereka lagi dan akan masuk neraka. Padahal sisi irisan mereka dalam beribadah masih lebih banyak daripada sisi perbedaannya. Bahkan perbedaan ini hanya terjadi pada hal-hal yang cabang, bukan dasar yang mempunyai dampak besar. Misal saja, lelaki yang menggunakan celana lebih dari mata kaki, maka akan masuk neraka, dlsb. Mereka tidak berkompromi dengan hal yang sekiranya tidak sesuai dengan paham mereka, meskipun masih disandarkan pada sumber yang sama.
Tentu, ini tidak sehat. Munculnya fenomena takfiri berdasar dari pendekatan kontras tentu tidak diharapkan oleh para pelaku, pengamat pendidik yang sudah mapan. Sehingga menyebabkan polarisasi dan saling melempar tuduhan kesalahan. Dua kutub ini saling menyalahkan dengan membabi buta, lihat saja fenomena Koh Felix dan Abu Janda. Tentu ini tambah tidak sehat. Munculnya pendekatan ini harusnya bisa mendorong produktifitas dari murid, tanpa harus membawa efek sampingnya.
Atau mungkin apabila memang sudah menjadi darah daging baik dari guru, murid dan seluruh jullas yang menjadi simpatisan, seharusnya para pendidik itu mampu menyajikan fakta alternatif. Meskipun mereka menggenggam kebenaran versi mereka, mereka juga perlu menahan diri untuk tidak melakukan aksi atas dasar prinsip mereka dan mengakui kebenaran dari sumber lain, mengajarkan tentang hal Tamasuh, Tawazzun, dan i’tidal. Atau setidaknya tidak mengusik orang lain yang tidak sepaham. Seperti pelajaran fiqh, hukum tidak hanya ada haram dan halal. di tengah nya ada makruh atau mubah. Kalau memang belum haram ya jangan dianggap haram.
Jadi relevan ga kira-kira? Temen-temen pembaca aja yang menyimpulkan deh, hehehe.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida