Pewarta Nusantara
Menu Menu

Pemuda, Pengalaman Bersama & Warisan yang ditinggalkan

Arus perkembangan teknologi telah membawa umat manusia pada persilangan budaya yang semakin kompleks. Saat ini hampir seluruh kelompok masyarakat dapat terhubung dan terintegrasi satu dengan yang lainnya. Pembangunan sarana transportasi dan komunikasi telah membuka peluang bagi suatu masyarakat untuk berubah lebih maju sesuai arus zaman. Akan tetapi arah perubahan tersebut biasanya sudah ditentukan oleh pihak tertentu yang memandang bahwa masyarakat yang tertinggal tidak memiliki kapasitas, oleh sebab itu harus dibantu. Cara yang paling mudah ialah dengan menetapkan standar-standar kebudayaan yang berupa tingkat pendidikan, tingkat konsumsi dan juga angka pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, masyarakat mengalami kemandekan dalam dinamika sosial serta kreativitas kultural.

Keadaan yang berubah dengan cepat tersebut sangat tidak menguntungkan bagi posisi anak muda di dalam masyarakat. Mereka ini sebetulnya tengah belajar mengenali peran serta struktur kehidupan yang ada di sekelilingnya untuk ikut ambil bagian dalam regenerasi sosial maupun kultural di masa depan. Anak-anak muda memiliki potensi besar untuk melanjutkan warisan kebudayaan atau bahkan menggantinya dengan kebudayaan baru yang mereka kehendaki. Kendalanya hanya pada apakah kehendak perubahan mereka akan di akomodasi oleh orang-orang yang lebih dahulu hidup di dalam masyarakat atau mahal dihadang, itulah yang selalu terjadi dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, generasi yang lebih tua lebih cenderung bersikap konservatif sedangkan generasi yang lebih muda lebih progresif dalam gerak perubahan masyarakat. Seberapa jauh perubahan yang dibawa oleh anak muda ini sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi sosial-ekonomi dimana ia tinggal.

Dalam tulisan ini saya ingin mengelaborasi kompleksitas persilangan budaya yang dialami oleh anak-anak muda di era revolusi industri 4.0 sekarang ini. Karakter progresif anak-anak muda tidak mungkin muncul begitu saja tanpa adanya peluang yang cukup besar yang diberikan oleh masyarakat. Kebebasan untuk berekspresi mesti dipandang sebagai suatu bentuk pencarian konfigurasi baru yang kreatif. Daya kreativitas anak muda ini sering dianggap bertentangan dengan tatanan norma seperti nilai-nilai budaya tradisi ataupun agama. Tetapi, norma masyarakat sendiri memiliki sifat yang lunak dan dapat berubah untuk menjaga relevansinya dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Kaum Muda dan Politik

Anak muda Indonesia atau sering kita sebut sebagai generasi millennial merupakan kelompok usia yang pertama kali merasakan berbagai bentuk kebebasan setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru. Generasi ini berbeda jauh dengan generasi sebelumnya yang telah merasakan pahitnya represi dan ancaman kekerasan dari moncong senjata penguasa. Generasi yang berusia antara 17-30 tahun adalah sebuah kelompok masyarakat yang sangat kreatif dalam mengembangkan sesuatu hal-hal yang baru baik itu dalam hal pemikiran, perilaku, nilai hingga bisnis industri.

Dalam hubungannya dengan struktur politik kenegaraan yaitu pemerintah, legislatif dan partai politik, mereka tidak terlalu antusias mengikuti bahkan bisa dibilang skeptis dalam urusan politik. Kalau kita telusuri bagaimana partisipasi politik anak muda dalam pemilu sejak pemilihan langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004, angka partisipasinya menunjukkan kemerosotan yang tajam. Mungkin sikap dingin mereka terhadap politik ditimbulkan oleh akumulasi kemuakan kinerja pemerintah yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam mengelola masyarakat. Kasus-kasus korupsi yang meningkat tajam setelah era reformasi, kemudian kesenjangan ekonomi dan juga kemiskinan menjadi alasan utama anak-anak muda ini meragukan manfaat dari sistem perpolitikan yang tengah berjalan.

Generasi muda tampak kebingungan menjawab soal bagaimana mengubah tatanan politik sedangkan kekuatan mereka sebagai gerakan semakin dikerdilkan dan menjauh dari masyarakat. Sikap apatis terhadap politik sebenarnya hanya memperpanjang masa kebobrokan politik yang dipenuhi oleh klientisme dan transaksionalisme. Klientisme terjadi apabila pemerintah memandang posisinya lebih tinggi (sok berkuasa) daripada masyarakat sehingga menimbulkan sikap sewenang-wenang bukan pelayanan atau pengabdian. Kalau transaksionalisme itu bisa diartikan sebagai sebuah pandangan tentang kekuasaan yang hanya didapatkan (dipertukarkan) dengan investasi modal, biasanya berbentuk uang atau proyek-proyek. Pemilu tidak lain adalah bazar suara rakyat yang dimonopoli oleh para pemodal besar. Suara bukan lagi soal pilihan untuk masa depan yang lebih baik namun jatuh pada soal siapa yang sanggup membeli paling tinggi.

Peran generasi muda dalam usaha mengubah keadaan masyarakat melalui struktur politik kerap dihadang oleh kelas elite penguasa yang menancapkan pengaruhnya dalam partai-partai politik. Pemikiran progresif anak muda tidak jarang berseberangan dengan sikap konservatif para elite yang ingin melestarikan dominasinya. Pertentangan ini kerap muncul ke permukaan ketika anak muda yang kurang sabar ingin memaksakan perubahan dengan cepat, mungkin istilahnya revolusi saat ini juga. Di sisi lain para elite yang telah lama menikmati privilese lebih memandang perubahan harus dilakukan secara bertahap dan dalam jangka yang panjang. Alasan mereka cukup meyakinkan yaitu masyarakat harus siap lebih dahulu sebelum mengalami perubahan, kalau tidak akan memicu konflik-konflik sosial dan itu adalah hal yang buruk. Pada tataran tertentu kelas elite memang merepresentasikan kepentingan masyarakat tetapi mereka juga sedang membangun kekuatan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Kapasitas Budaya Generasi Muda

Anak-anak muda sering disanjung sebagai generasi penerus ataupun harapan masa depan bangsa. Seringkali mereka ke-geer-an dan melupakan bahwa mereka tidak memiliki modal atau kapasitas apapun untuk menjalankan tugas tersebut. Generasi penerus sekarang sedang asyik-asyiknya mengkoleksi berbagai jenis pengetahuan dari bangku sekolah hingga terbang jauh-jauh ke luar negeri. Saat kembali ke masyarakat mereka merasa terasing karena jarak yang terlalu jauh antara kenyataan dengan pemikiran mereka. Bahkan ada semacam anggapan bahwa semakin lama duduk di bangku sekolah maka semakin tinggi pula posisi mereka dalam masyarakat dan orang harus menghormati mereka. padahal kehormatan itu tidak dicari melainkan hasil dari peran dan fungsi yang telah teruji di dalam masyarakat.

Generasi harapan bangsa telah terkontaminasi sejenis virus yang merabunkan pandangan sejarah sehingga kabur akan asal-usulnya sendiri. Virus tersebut ingin mematikan warisan tradisi, norma budaya serta solidaritas kebangsaan. Kemunculan virus tersebut berbarengan dengan keruntuhan penjajahan melalui penguasaan teritorial. Dengan semangat nasionalisme bentuk penjajahan teritorial dapat diusir keluar dari tanah air dan mengukuhkan kedaulatan bangsa. Kemudian bentuk penjajahan berevolusi menjadi lebih lunak dan semakin canggih sejalan dengan perkembangan teknologi informasi. Salah satu tujuan bentuk penjajahan jenis baru ini adalah dengan mengubah orientasi budaya suatu bangsa, terutama soal bahasa. Saat ini, preferensi bahasa yang dipilih oleh anak-anak muda adalah bahasa internasional daripada bahasa daerah. Pandangan tentang budaya barat lebih tinggi daripada budaya lokal secara tidak langsung telah membawa mereka pada krisis identitas.

Sebagai seorang anak yang dilahirkan dalam sebuah masyarakat tertentu, identitas sangatlah penting untuk perkembangan kepribadian diri. Dari sana muncul nilai-nilai solidaritas karena kesamaan identitas. Pengalaman bersama yang ditempa melalui partisipasi dalam sebuah masyarakat berguna untuk menjaga keberlangsungan kebudayaan. Mungkin kita butuh refleksi diri sebagai sebuah bangsa serta perlu mengevaluasi orientasi budaya yang tengah berjalan di tengah masyarakat. Ini bukan soal boleh atau tidaknya menerima budaya asing, tetapi lebih pada bagaimana keadaan budaya yang diwariskan oleh orang terdahulu ketika kita memilih preferensi budaya yang lain.

Setiap generasi sudah pasti mewarisi suatu budaya tertentu, hanya saja proporsinya yang berbeda-beda. Di negeri ini sudah sejak dahulu terkenal dengan ragam budaya yang biasa ditengarai dari banyaknya suku-suku bangsa. Suku-suku bangsa tersebut memiliki corak budaya, pola perilaku hingga tatanan nilai yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Hanya ada satu alasan mengapa suku bangsa dapat dikenali hingga sekarang yaitu adanya orang yang mewarisi dan melestarikannya. Dengan kata lain generasi yang lebih muda akan melanjutkan apa yang sudah ditemukan dan dicapai oleh generasi yang lebih dahulu.

Prinsip keberlanjutan inilah yang membuat manusia tidak perlu mengulang-ulang sejarahnya dari awal karena telah tersedia sarana untuk menyimpan pengalaman masa lalu dalam bentuk tatanan masyarakat. Masyarakat dalam lingkup komunitas adalah tempat yang paling penting untuk menempa pengalaman bersama. Di sini pengalaman bertransformasi menjadi pengetahuan yang disimpan dalam memori bersama. Generasi muda dari komunitas akan belajar kepada masyarkat untuk mengenali peran, posisi dan identitas budaya sendiri. Dalam menghadapi persilangan budaya karena menjadi jalur perdagangan internasional, orang-orang nusantara telah memiliki kecerdasan yang unik untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Seolah-olah mereka memiliki kelenturan tertentu yang diwariskan oleh leluhur dalam menghadapi perubahan. Meskipun kondisi sosial-ekonomi berubah mereka tetap menjaga identitas mereka sebagai orang-orang nusantara.

Fungsionalisasi Generasi Muda

Penjelasan diatas mengandaikan bahwa komunitas masyarakat masih cukup eksklusif dan independen. Kondisi sekarang sangat berbeda jauh, terutama setelah kemenangan ide-ide abstrak terhadap kenyataan konkret dalam mengonsep masyarakat. Negara adalah salah satunya, ia lahir sebagai bentuk kekuasaan yang mengatur masyarakat. Dari sini kita bisa bertanya apakah negara Indonesia lahir dari pengalaman bersama ataukah sebuah ide abstrak yang telah diterapkan oleh dunia barat? Atau begini apakah kerajaan-kerajaan dahulu bisa disebut negara atau tidak? Yang pasti bentuk kekuasaan yang beroperasi dalam struktur politik tidak akan mungkin bisa berjalan tanpa struktur budaya yang berlaku dalam masyarakat. struktur budaya yang saya maksudkan di sini adalah tradisi, pengalaman, pemikiran yang memiliki makna bagi kehidupan itu sendiri.

Generasi muda bangsa yang tengah sibuk memikirkan ide-ide besar di bangku sekolah dan kampus sudah saatnya mulai belajar kepada masyarakat. Institusi pendidikan memang menjadi tempat yang sangat baik untuk menempa pengalaman bersama dengan teman seusia. Mungkin pengamalan bersama itu bermanfaat untuk menyuburkan proses dinamika pemikiran bagi anak muda. Bagaimanapun juga anak-anak muda tidak bisa terus-terusan mengurung diri dengan keasyikan di lingkup mereka saja, mereka juga harus mulai mengambil peran di dalam masyarakat. Paling tidak mereka mesti belajar mengenali gejala sosial serta kompleksitas permasalahan yang dialami oleh bangsa ini. Mungkin persoalan tersebut telah ditemukan bahkan sudah dirumuskan, yang menjadi masalah bagaimana strategi solusinya dan siapa yang akan melaksanakannya. Kalau anak muda hanya berpangku tangan pada intervensi pemerintah, apa gunanya pendidikan yang telah diberikan?

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida