Data, Manusia dan Welfare State
Bonus demografi telah dibincangkan sebagai pemicu kemajuan. Diprediksi pada tahun 2020-2030, negeri ini akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif (15-65 tahun), sedang usia tidak produktif (di bawah 15 tahun maupun di atas 65 tahun) sekitar 80 juta jiwa.
Jumlah usia produktif ini belum tentu beriringan dengan kapasitas SDM yang memadai. Ini aritnya ‘bonus’ demografi jika tidak dipersiapkan secara serius akan menjadi ‘minus’ demografi. Beberapa waktu yang lalu saya sempat (secara kebetulan) melakukan mini research dengan 5 anak muda tetangga kosan. Kelimanya baru saja lulus SMA/Sederajat tahun ini, 2 diantaranya telah terdaftar di Perguruan Tinggi dan 3 sisanya memilih menjadi angkatan kerja.
Saya bertanya, berapa jumlah teman sekelas (rata-rata jumlah siswa sekelas antara 30-35) yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi? Yang mengerutkan kening, jawaban mereka hanya sampai diangka 1/3, ini artinya hanya ada sekitar 10-15 siswa sekelas mereka berkeinginan melanjutkan studinya. Alasannya tetap saja sama, ingin mencari uang untuk penghidupan yang layak. Terdengar klasik, tapi demikianlah adanya.
Mereka dan kita juga adalah netizen. Pengguna internet aktif dalam ragam data disetiap harinya. Bahwa data yang dihasilkan berkualitas atau tidak, itulah yang jadi soalan. Sebagian tentu telah kita temukan telah menggapai prestasi, tetapi sebagiannya lagi? Hal ini tentu bersentuhan langsung dengan bagaimana cara kita memperoleh data. Faktanya Indonesia telah keluar dari problem tuna aksara, dengan hanya menyisahkan 5-6% saja. Seiring dengan itu, melek huruf bukan berarti menambah minat baca. Artinya hampir semua masyarakat kita telah bisa membaca, tetapi apakah ada bacaan berkualitas di tiap harinya?
Efek dari bagaimana data diperoleh tentu berimplikasi pada aktifitas daring yang kita lakukan. Dibanyak hal, kita harus menyadari bahwa penggunaan internet di Indonesia masih didominasi penggunaan sosial media. Bentuknya beragam, sebut saja Facebook, Instagram dan sebagainya. Tujuannya sangat sederhana, eksis, kekinian, dan ekspresi diri. Untuk itu, literasi internet harus sampai pada level “berperadaban” yaitu memanfaatkan informasi digital menjadi sesuatu yang produktif dan evolutif.
Mendampingkan ‘data’ dan ‘manusia’ sama halnya menyandingkan kemajuan dengan pelakunya. Era dimana teknologi dan manusia seiring sejalan dalam masyarakat. Oleh Pemanfaatannya bergantung pada kualitas manusia. Sebagaimana Alfred Marshal pernah berkata “the most valuable of all capital is that invested in human being”. Modal manusia ini merupakan stock dari kemampuan dan pengetahuan produktif yang terdapat pada masyarakat dan menjadi investasi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas. Akhirnya masyarakat yang diberkahi bonus demografi ini sepenunya mampu berjejaring. Tidak mudah terfragmentasi oleh perbedaan cara pandang sehingga dunia maya menjadi pemicu munculnya manusia unggul.
Merujuk data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016, 132,7 juta manusia Indonesia telah terkoneksi internet. Kesemuanya diakses melalui komputer mencapai 67,2 juta, melalui smart phone 63,1 juta, dan melalui komputer pribadi 2,2 juta. Dapat dipastikan bahwa pengguna tersebut adalah orang yang hari ini kita sebut sebagai bonus demografi (usia 15-65 tahun). Generasi dengan usia produktif ini merupakan intangible asset dimana kemampuannya apabila digunakan dan disebarkan tidak akan berkurang melainkan bertambah baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat luas.
Dengan usia produktif seperti ini anugerah bonus demografi akan diisi oleh manusia yang mampu mengubah data menjadi informasi yang bermakna. Aktifitas daring semakin menjadi wadah berbagi intelegensia dengan beragam latar belakang manusia lainnya. Sekarang ada sekitar 3,4 miliar pengguna internet di dunia dari total populasi manusia yang mencapai 7,4 miliar, artinya internet sudah hampir digunakan oleh 50 % penduduk Bumi. Hanya perlu kecermatan, ketekunan dan konsistensi manusia-manusia knowledge worker ini bisa memanfaatkan internet sebagai jendela pengetahuan yang senantiasa terbarukan.
Wajah Indonesia Masa Depan
Dengan transformasi ruang yang terbatas dan eksklusif di ruang offline, menuju ruang terbukan dan inklusif di dunia online. Bukan tidak mungkin Indonesia memasuki wajah ‘Negara kesejahteraan’ pada sepuluh tahun mendatang. Kita pun telah memiliki pijakan welfare state dalam UUD 1945 disatu sisi. Semangat dan kesadaran ini menggabungkan prinsip-prinsip demokrasi, dan bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat berkeadilan sosial, berkemakmuran dan sejahtera secara bersama-sama.
Pada sisi yang lain, generasi dengan usia produktif diatas hari ini telah mampu merespon pergesaran dari masyarakat industri ke E-Marketer. Generasi ini kedepan akan menciptakan era dimana produktifitas ide melahirkan produk, solusi dan pelayanan yang berdampak signifikan terhadap ekonomi rill. Gejalanya telah kita saksikan bersama dimana hampir disemua sudut kota, generasi ini melakukan integrasi dengan sejumlah perangkat, format, lokasi dan fasilitas untuk mobile dan terhubung. Kesemuanya akan terus mengalami perkembangan dan kemajuan seiring dengan berkembangnya kecepatan, kuantitas, dan variasi data yang akan semakin mudah menghadirkan apa yang terlintas dalam pikiran kita.
Masyarakat yang sangat multikultural ini, berjalan beriringan dengan tantangan dan dinamika yang juga multidimensi. Ditengah kemelut yang demikian itu, bukan berarti minim prestasi. Penanggulangan kemiskinan Indonesia pun telah menjadi kisah sukses internasional. Saat ini 28 juta penduduk Indonesia atau sekitar 11% dari total populasi masih miskin (BPS, 2016). Kemiskinan di Tanah Air terus menurun semenjak Tahun 1970an. Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kondisi kesejahteraan sosial di Indonesia juga menunjukkan tingkat yang menggembirakan. Secara global, dari 188 negara yang disurvey UNDP, Indonesia termasuk negara yang memiliki IPM menengah (medium human development).
Ditengah hiruk pikuk kosmopolitan, data dan manusia Indonesia harus bersatu padu dalam pembangunan. Kesejahteraan sosial bukanlah hal yang sulit jika data, sifat dan prilaku bersatu padu. Hal itu dapat membuka ruang kerja dan passion baru, diantaranya media experd, konsultan IT dan pengolah data untuk marketing politik, strategi, desainer transportasi intermoda maupun bisnis. Inilah upaya melibatkan masyarakat dan menghadirkan negara untuk melindungi segenap bangsa.
Beberapa waktu yang lalu, pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 16 Agustus 2016, Presiden Jokowi menyampaikan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Nilainya sangat fantastis, anggaran untuk fungsi perlindungan sosial sebesar Rp158.479.3 triliun atau naik 5,1 persen dibandingkan dengan anggaran tahun 2016 sebesar Rp150.841,7 triliun. Ini artinya kita punya modal yang sangat besar untuk mewujudkan Negara kesejahteraan kedepannya.
Data dan manusia akhirnya menjadi kelompok penopang dan kelompok kepentingan terhadap negara. Sebagai kelompok penopang, ia berusaha secara terus menerus mengembangkan potensinya, sembari berjejaring dengan lintas daerah bahkan negara. Ini dilakukan dalam rangka kampanye budaya sekaligus memasarkan produk. Sebagai kelompok kepentingan, ia mengartikulasikan beragam kepentingan masyarakat melalui serangkaian kreatifitas digital di dunia maya.
Wajah Negara kesejahteraan Indonesia dimasa mendatang sungghlah bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, wujud kecintaan kita bisa diekspresikan lewat media apa saja, dan itu adalah tugas terhormat seorang warga negara. Dengan keinginan besar dari generasinya, ditambah konsep dan program yang matang dari pemerintahnya, optimisme untuk mewujudkan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, akan menemukan ruangnya di masa yang akan datang. Semoga.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida