Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Membaca pikiran penulis Ethiosophia (Fawaid Abrari)

Fawaid Abrari - Ethiosopha

Hazanah keilmuan nusantara kembali diwarnai dengan hadirnya sebuah buku berjudul Ethiosophia karya Fawaid Abrari. Istilah Ethiosophia ketika saya menjelajahi google, kata-kata tersebut masih dalam revisi, atau tidak ditemukan dalam kamus google. Berulangkali saya memasukkan istilah tersebut, google tetap tidak memberi jawaban apapun atas rasa penasaran saya. Artinya, istilah tersebut adalah sesuatu yang baru. Istilah ethiosophia membuat saya harus mengercitkan dahi, sebuah ekspresi aneh disatu sisi, sekaligus rasa penasaran disisi lain. Apa yang dimaksud dengan istilah Ethiosophia? Sempat Saya menduga-duga, istilah Ethiosophia ini mirip-mirip dengan istilah yang kerap digunakan dalam tradisi filsafat.

Saya pun melakukan upaya untuk memuaskan rasa penasaran itu, akhirnya saya menghubungi belibisbook.com sebagai penerbit yang merilis buku ethiosophia itu. Ternyata, buku tersebut masih baru open PO. Saya pun memesan buku tersebut. Namun, rasa penasaran saya tidak bisa menunggu terlalu lama. Karena Usaha ini tidak memberikan hasil apa-apa, akhirnya saya harus mencari cara lain bagaimana kegelisahan ini menemukan jawabannya.

Era millenial, era sosmed, era teknologi, semua menjadi ringkas dan mudah. Melacak nama penulis melalui akun-akun sosmed yang senama dengan nama tersebut bukan hal yang sulit. Singkat cerita, setelah melalu beberapa tahap, saya berhasil menemuinya, yang ternyata penulis tersebut selalu saya lihat ketika saya ngopi di Belandongan – tongkrongan tempat mahasiswa-mahasiswa yogyakarta menghabiskan usianya dihadapan secangkir kopi. Tanpa ragu saya menemuinya, saya berbicara dengannya, bisa disebut semi wawancara. Disini saya merasa akan menemukan jawaban atas rasa penasaran terhadap buku Ethiosophia.

Tanpa basa-basi, pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut saya, apa sih Ethiosophia? Dengan senyum ramah, mas Fawaid Abrari penulis buku itu memberi jawaban teka-teki. Ia mengajukan pertanyaan, “anda beriman?” Saya jawab iya. “Anda bermoral?” Iya. Nah itulah Ethiosophia. Dengan rasa tidak menemukan jawaban, saya mengangguk seolah mengerti. Kembali saya menduga, barangkali inilah yang dalam ulasannya bahwa dalam buku ini, pembaca akan menemukan pelik-pelik argumentasi mengenai iman.

Berawal dari obrolan hangat di warung kopi, akhirnya jawaban yang saya tunggu pun tiba. Ia mulai angkat bicara mengenai Ethiosophia. Seperti yang sayaduga, ternyata benar Ethiosophia memang bahasa serapan dari istilah-istilah dalam tradisi filsafat yunani. Yakni Ethos dan sophia. Akhirnya, saya merasa tidak asing dengan istilah tersebut. Ethos bermakna etika dan sophia bermakna kebijaksanaan. Apa anggle nya? Apa kaitannya dengan iman.? Tanya saya. Jawaban Fawaid Abrari itu memberi sedikit gambaran secara garis besar bahwa, Ethiosophia mencoba merumuskan kehendak dalam jiwa sebagai sumber moral di satu pihak, dan iman sebagai kondisi terdalam bagi hati masing-masing manusia di lain pihak, menunjukkan bahwa iman dan moral memiliki keterkaitan, sebelum akhirnya ia lahir sebagai sikap moral (moralitas) yang bijaksana dalam realitas sosial.

Apa maksud dengan menembus batas rasionalitas? Lanjut saya. Rupanya, menembus batas rasionalitas adalah upaya kongkrit agar iman tak hanya bermakna percaya, semacam omong kosong untuk legetimasi absurditas metafisik, dan agar agama tak sekedar dokrin an sich, maka mendefinisikan keduanya menjadi sesuatu yang rasional, adalah keharusan bagi makhluk notabene menjunjung tinggi rasionalitas. Ethiosophia dengan segala upaya menembus absurditas menjadi sesuai yang secara rasional bisa bertahan dihadapan nalar manusia. Sehingga, iman menjadi satu-satunya sumber kehendak bagi lahirnya segala kebikjasanaan dalam moralitas manusia. Saya megangguk-ngangguk sambil berfikir dalam hati, bahwa ini adalah suatu warna kajian epistemologi yang relatif baru bagi hazanah keilmuan nusantara.

Saya mencoba menggali lebih dalam untuk menghasilkan kesimpulan dalam ulasan ini. Namun belum sempat dilanjutkan, ia berujar dalam buku Ethiosophia nanti anda akan menjumpai berbagai hal yang sebelumnya tidak sempat anda pikirkan bahkan anda bayangkan mengenai dimensi iman dan agama. Kalimat tersebut menjadi pemungkas dalam perbincangan kami di warung kopi. Akhirnya, dengan diskusi ini, saya merasa tidak rugi memesan buku tersebut untuk saya mengobrak-abrik isinya dan kajian epistemologinya. Dan saya tergugah, ketika sang penulis bilang, bahwa jika anda merasa sebagai makhluk rasional maka membaca buku ini adalah sebentuk kaharusan untuk menjawab absurditas Tuhan dalam imanmu. Semoga anda semua berniat sama untuk membantu saya mengobrak-abrik isi dari buku Ethiosophia ini.

268