Krisis Ekologi dan Retorika Sumir ‘Pembangunan Berkelanjutan’
Mengatasnamakan pemanfaatan lingkungan seringkali menjadi legitimasi utama dari pola antroposentris. Kiris ekologi di Indonesia misalnya, sampai pada tahap Orde paling baru seperti sekarang-pun, pemerintah belum berani tampil sebagai pahlawan atas persoalan ini. Terbukti dalam debat capres, tidak tajamnya pembahasan isu ekologi dalam debat semakin menunjukkan rendahnya komitmen masing-masing kandidat terhadap pelestarian lingkungan hidup.
Seperti halnya laju deforestasi yang tinggi, tata kelola kehutanan tampaknya tak kunjung membaik. Empat penyebab tidak langsung dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah: (a) perencanaan tata ruang yang tidak efektif, (b) masalah-masalah terkait dengan tenurial, (c) pengelolaan hutan yang tidak efisien dan efektif, dan (d) penegakan hukum yang lemah serta maraknya korupsi di sektor kehutanan dan lahan (UNDP, 2013).
Forest Watch Indonesia memaparkan laporannya dalam sebuah buku berjudul: Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 1996-2000 dan Periode 2009-2013. Laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta hektare per tahun. Pada rentang 10 tahun berikutnya, laju deforestasi mencapai 1,5 juta hektare per tahun (FWI, 2011).
Mulai dari dekade 1960 sampai dekade 1980-an, sumberdaya hutan alam Indonesia pernah menjadi primadona ekonomi penghasil devisa Negara. Namun faktanya, kejayaan ini mulai meredup pada dekade 1990-an dan terus menurun hingga dekade sekarang. Kekhawatiran mendasar dari kondisi ini memunculkan pertanyaan “apakah kita sedang menapaki jalan yang salah dalam mengelola sumberdaya alam di Indonesia?”.
Politik kehutanan Orde Baru, secara fundamental telah merubah hak penguasaan sumberdaya kehutanan dari traditional customary property rights menjadi state property rights. Politik kehutanan ini tidak hanya berdampak bagi ekosistem hutan, tetapi juga bagi harkat hidup masyarakat setempat yang kehidupannya hanya bertumpu pada stabilitas hutan.
Warisan paradigma Orde baru masih menjadi bottleneck dalam tata kelola kehutanan. Namun demikian, tampaknya upaya pembenahan tata kelola kehutanan dan lingkungan di Indonesia terus dilakukan secara serius, tampaknya demikian.
Persoalan lingkungan hidup di Indonesia tak berhenti di isu kehutanan saja. Konflik agraria, reklamasi, privatisasi air, pertambangan dan perkebunan, begitupun di lingkungan perkotaan seperti persoalan sanitasi, akses air bersih, permukiman kumuh, banjir, dan polusi yang senantiasa menggerus ekosistem. Selain itu, persoalan eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil juga tak bisa dianggap remeh. Justru semakin intensifnya aktivitas pemanfaatan lahan untuk kegiatan investasi ekstraktif, mengakibatkan fungsi-fungsi dasar ekosistem pulau-pulau kecil mengalami instabilitas.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global mencatat bahwa dalam kawasan MIFEE tidak berlaku moratorium. Pembangunan mega agro-industrial MIFEE seolah bertolak belakang dengan kebijakan moratorium hutan. Klausul revisi kebijakan tersebut adalah turut mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan melalui program 12,7 hektar, Namun faktanya nihil (mongabay.co.id, 27/5). Fakta ini menunjukkan bahwa, telah terjadi pemiskinan struktural, perampasan ruang hidup dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat.
Belum lama ini, Kasus Rembang, Pati, dan tentu saja kasus lumpur Lapindo adalah sebuah milestone persoalan krisis ekologi di Indonesia. Kasus yang juga masih hangat di telinga, penolakan tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu warga Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur, dicemari tuduhan menyebarkan komunisme. Sangkaan itu bermula ketika dua spanduk penolakan tambang, terdapat logo palu-arit. Para pegiat lingkungan di Jawa Timur, meyakini penersangkaan ini hanyalah cara licik untuk menyurutkan perjuangan warga dalam penolakan tambang, (Tribunnews.com 03/01/2018). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih dihadapkan dengan berkelindannya masalah ekologi. Pembangunan berkelanjutan sebagai agenda Millenium Development Goals (MDGs) dan realisasi agenda Post-2015, harusnya berpangkal pada political will yang kuat atau bisa disebut juga sebagai komitmen politik lingkungan dari pemerintah.
Langkah yang paling strategis, pemerintah harus benar-benar menegakkan law enforcement di bidang tata kelola ekologi, misalnya mencabut izin bagi perusahaan yang nakal dan memberlakukan regulasi yang sesuai dengan visi pembangunan berkelanjutan. Selain itu, peran aktif masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mengawal visi pembangunan berkelanjutan. Sehingga Commitment to Sustainability dari masing-masing pihak entah pemerintah, korporasi dan lembaga-lembaga bukan hanya lip service belaka, yang tak lebih dari retorika sumir tentang komitmen berkelanjutan.
Agro-Maritim 4.0 memandang darat, laut, dan udara sebagai satu kesatuan sistem sosial, ekonomi, dan ekologi kompleks yang harus dikelola dengan pendekatan transdisiplin, terpadu, dan transformatif yang diarahkan pada karakteristik agroindustry 4.0. Sehingga, memungkinkan terciptanya keterhubungan dan keterpaduan, real-time, beracuan data dan informasi, frontier technology. Artinya semua aspek harus terhubung dan bekerja secara sinergis. Rantai pertanian hulu ke hilir terkoneksi terpadu dan terintegrasi.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida