Pewarta Nusantara
Menu Menu

M. Fastabiqul Ilmi

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara
M. Fastabiqul Ilmi adalah penulis di Pewarta Nusantara
M. Fastabiqul Ilmi M. Fastabiqul Ilmi
1 tahun yang lalu 07/05/23

Dalam wacana orientalis, studi kritis al-Qur’an merupakan ‘menu utama’, sekaligus merupakan kajian paling sensitif dibandingkan dengan kajian lainnya. Para sarjana barat mengkritik al-Qur’an dalam berbagai aspek, dari mulai terjemahan al-Qur’an, teks al-Qur’an hingga ulum al-Qur’an.

Richard Bell misalnya, yang menganggap al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula kitab perundang-undangan ataupun kumpulan khutbah, tetapi kiranya al-Qur’an lebih merupakan ramuan (medley) ketiga itu, dan ditambah berbagai ‘mutiara’ yang bertebaran di dalamnya. Pewahyuannya, tentang selama kurang lebih dua puluh tahun, di saat Nabi Muhammad saw bangkit dari posisi seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya.

Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan kaum muslimin selama masa-masa tersebut, maka wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula. Lebih dari itu, ia juga mengatakan bahwa  al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-orang muslim setelah kematian Muhammad saw.

Menurut Bell, al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad saw sebagai sumber yang kedua. Unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek al-Qur’an, sebab pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Qur’an, walaupun dalam koridor inisiatif ilahi. Bentuk revisi tersebut mungkin merupakan pengulangan wahyu dalam bentuk yang telah direvisi.

Doktrin nasakh misalnya, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an. Dalam diskursus sarjana barat, bahwa definisi nasakh tidak berbeda dengan definisi yang telah diberikan oleh para ulama Muslim. Thomas Patrick Huges dalam Dictionary of Islam, menerjemahkan kata nasakh dengan to demolish (menurunkan), render void(salinan atau terjemahan), dan to destroy(membinasakan).

Sebagaimana dikatakan oleh John Wansbroug, John Burton mengatakan bahwa secara etimologis nasikh berarti replacementatau exchange (tabdil), suppression (ibthal), dan abrogation. Dengan berdasarkan kepada QS al-Baqarah: 106, an-Nahl: 110, dan al-Hajj: 52.

Dalam arti terminologi, para sarjana barat di atas menyepakati bahwa nasakh adalah proses pergantian, perubahan dan pengalihan ketentuan suatu ayat terdahulu oleh ketentuan ayat yang akan datang kemudian. Richard Bell berpendapat bahwa berpijak pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu revisi al-Qur’an telah terjadi, bukan hanya sebatas perubahan. Ia mengatakan:

Berdasar pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat disangkal bahwa revisi al-Qur’an telah terjadi. Hal ini telah diakui oleh para cendikiawan muslim dalam doktrin Nasikh-Mansukhnya. Gagasan yang mendasari doktrin ini adalah penerapan perintah-perintah tertentu bagi orang-orang muslim dalam al-Qur’an yang bersifat sementara, dan ketika suatu berubah, perintah-perintah tersebut diubah atau diganti oleh perintah lainnya. Namun, perintah-perintah itu merupakan kalam Allah, ia harus dibaca sebagai bagian al-Qur’an.

Menurut Bell, walaupun mengakui adanya doktrin nasikh adalah al-Qur’an, karena umat Islam memandang al-Qur’an sebagai kalam logos Allah, tidak mungkin adanya revisi (perbaikan) al-Qur’an atas kemauan Muhammad sendiri. Hal ini dijelaskan dalam sejumlah ayat, misalnya:

Ketika tanda-tanda (atau ayat-ayat) kami dibacakan kepada mereka sebagai bukti-bukti, maka orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: “datangkanlah :”tidak patut bagiku untuk mengubahnya atas kemauanku sendiri; aku hanya mengikuti apa-apa yang telah diwahyukan kepadaku, seandainya aku mendurhakai Tuhan, maka aku takut adzab besar.” (QS. Yunus:15)

Menurut Bell, arti proses revisi al-Qur’an dan naskh al-Qur’an, ada kaitannya asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa dipisahkan pada persoalan yang pada akhirnya sulit bagi kaum muslim dalam menentukan mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan. Dengan mempertimbangkan sebab-sebab nuzul-nya, hal tersebut memiliki proses yang sama, yaitu berulang penurunan ayat al-Qur’an sebagai pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks serta konteks al-Qur’an.

Para insider dari klasik hingga kontemporer dalam memahami arti nasikh, ada yang menyakini dan ada yang tidak menyakini. Pada umumnya mereka juga mengakui adanya naskh. Lain halnya menurut Bell yang memahami tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna nasikh sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus atau merubah ayat-ayat al-Qur’an.

Namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai dengan zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan kebanyakan ulama kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk oleh Bell tidak lain adalah sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan ayat-ayat oleh Muhmmad saw.

Penentuan tentang unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah hanya suatu gaya (genre) yang didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah besar surat yang ada di dalam al-Qur’an mengandung bahan-bahan dari berbagai periode pewahyuan. Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian minimal, yakni pengumpulan unit-unit induvidual wahyu ke dalam surat.

Lebih lanjut ia melihat asumsi perevisiannya yang lebih jauh melihat dalam proses pengumpulan tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara konstan menurutnya tengah mengalami revisi, hingga pada akhirnya memicu ketidak-orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa penyesuaian rima atau sekadar sisipan, dan lainnya.

Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai penyusunan al-Qur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara keilmuan bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah tauqifi (bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah menimbulkan polemik di kalangan ulama, polemik ini berkembang luas di kalangan ulama muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu:

Pertama adalah sebagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada adalah tauqifi. Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi (berdasarkan ijtihad para Sahabat).

Ketiga adalah pendapat moderat; mengatakan bahwa sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan sebagian lagi merupakan ijtihad para sahabat. Persepsi inilah yang diadopsi Bell yang kemudian dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u.

Dengan demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan sendiri untuk membangun konstruksi dan pemahamannya tentang teks al-Qur’an. Lalu bagaimana bila semua itu digunakan untuk membaca al-Qur’an dengan pemikiran-pemikiran lainnya? Ya, tentu saja akan memunculkan 'reading text' dan pemahaman yang berbeda.