Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Hilmi Fauzi

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara

Portal info lowongan kerja lokal Yogyakarta. Informasi yang ada di Akun Loker Jogja sudah melalui verifikasi Super Tim Jobnas.

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
5 tahun yang lalu

Sebanyak 19,5% Millennial menyatakan Indonesia lebih ideal menjadi negara Khilafah (IDN Research Institute). Millennial yang didominasi warga negara usia muda ini menyatakan hal yang berselisih dengan pendiri bangsa ini, apakah ini sebuah kebetulan atau kesengajaan?
 

Libur sekolah telah usai, banyak orang tua yang merasa lega. Ya tentu saja lega,  karena mereka sudah tidak repot lagi memantau penuh kegiatan buah hatinya. Hampir seluruh kegiatan harinya dihabiskan di sekolah. Orang tua tinggal memantau sisa sore dan malamnya.

Eits.. tapi jangan senang dulu…

Apakah buibu dan pakbapak percaya seluruhnya dengan apa yang dibawa pulang buah hati anda?

Dalam pendidikan, buah hati anda akan diajarkan beberapa materi pokok pendidikan yang biasa kita sebut sebagai intrakulikuler. Ada matematika, bahasa, sejarah, budaya, dlsb. Namun selain itu ada ekstrakulikuler, yaitu kegiatan yang diarahkan untuk memperluas pengetahuan anak, mengembangkan nilai-nilai atau sikap. Apabila kegiatan intrakulikuler lebih pada kegiatan kelas terbimbing, ekstrakulikuler adalah kegiatan luar kelas yang lebih menekankan pada kegiatan kelompok.

Kegiatan ekstrakulikuler, banyak diarahkan pula untuk aktualiasasi diri anak. Ada sepakbola, karawitan, menari, musik, baris berbaris, jurnalistik, dlsb. Ada lagi yang belum terlist, namun cukup menarik untuk disimak, yaitu rohis.

Apasih itu Rohis? Rohis, akronim dari Rohanis Islam, yaitu sebuah organisasi memperdalam dan memperkuat ajaran Islam. Rohis banyak ditemukan di SMP dan SMA ini mempunyai struktur seperti OSIS.

BACA JUGA: (Bersihkan Rohis dan Masjid Kampus dari Paham Radikal)

Rohis umumnya memiliki kegiatan terpisah antara anggota pria dan wanita. Kegiatan yang dilakukan berkelompok-kelompok ini dibimbing oleh orang luar sekolah, bisa itu alumni, atau orang yang tidak ada sangkut pautnya sama sekolah. Beberapa yang dijumpai, pembimbing atau yang sering disebut murabbi ini mahasiswa kampus. ironinya, mereka adalah mahasiswa kampus umum, bukan kampus islam (seperti UIN, IAIN, dlsb).

Lalu dari mana mereka belajar tentang ke-Islam-an? Bukan dari pondok pesantren, atau lembaga pendidikan keislaman yang kompeten, jawab mereka. Ketika kejar pertanyaan tersebut, mereka hanya mendapatkan tambahan ilmu dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sebuah organisasi identik dengan rohis yang berada di kampus. Dari mana mereka mendapatkan otoritas atau gampangnya sim untuk membimbing buah hati kita di rohis? Apalagi topiknya tidak lagi berkenaan dengan topik fikih ibadah dan bersuci yang menjadi primordial agama. Bukan tentang sholat yang baik, mengganti sholat, sujud syahwi, mencuci pakaian najis. Namun justru tentang takfiri (kafir-mengkafirkan), negara Islam, Khilafah. Sebuah materi berat, yang umumnya dibahas pada tingkatan akhir di pesantren. Dibahas ya bunda, bukan diajarkan. Karena mayoritas negara dengan penduduk mayoritas, sebut saja: Arab, Yordan, Qatar, Mesir,  tidak sepakat, apalagi menjalankan Khilafah.

BACA JUGA: Pendekatan Kontras pada Pendidikan, Relevankah?

Pemikiran ini lah yang sengaja disusupkan sejak dini oleh organisasi yang menaungi rohis ini, sehingga benih-benih gagasan mereka tumbuh dan menjalar. Tujuannya untuk apa? Menjadi agen mereka untuk merubah negara ini.

Oleh karena itu Buibu dan pakbapak perlu mengamati perkembangan buah hati anda, mengecek apa yang dibawa pulang oleh buah hati anda. Menanyakan ekstrakulikuler apa yang diikut. Lalu, Apakah anak sudah mulai berani kepada anda dengan menyalah-salahkan tradisi keagamaan anda dengan kalimat bid’ah, kafir? Indikator sederhana ini dapat digunakan untuk mendeteksi apakah anak anda sudah terpengaruh paham ini atau belum.

Lalu bagaimana jika buibu pakbapak menginginkan pendidikan Islam tambahan kepada anak? Ya… daftarkanlah anak anda pada Madrasah Diniyah (Madin) yang ada diseputaran rumah anda, sehingga tetap bisa terpantau kegiatannya. Selain itu, kegiatan di Madin diampu oleh orang yang berkapasitas.

Jangan sampai, alih-alih buah hati kita melanjutkan cita-cita hidup kita dan leluhur kita. Namun justru menjadi agen organisasi yang menginginkan perjuangan Khilafah, mati sangit di medan perang.

Naudzubillahi min dzalik.

BACA JUGA : Prof Yudian: Pembubaran HTI Sudah Tepat! 

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
1 tahun yang lalu
Menjamurnya Dai kualitas KW di masyarakat menjadi perbincangan dan kecemasan banyak pihak. Sebenarnya apa yang menjadi latar belakang merebaknya fenomena ini? Dari dapur mana mereka diramu? Bahkan hingga mengusik hegemoni, hingga memaksanya berbenah diri? Merekalah seorang ilusi atau solusi?

Perbincangan tentang Perda’ian di Indonesia memang bukan menjadi konsen pergulatan isu yang menarik. Sesekali saja isu ini ditarik ke permukaan tatkala Pak Mentri Agama mewacanakan sertifikasi Da’i. Hingga-hingga muncul guyon sarkas yang menceritakan tentang Khotib yang berhalangan hadir pada suatu Jum’at, lalu yang lain saling lirik dan tunjuk. “Pak ustadz sana gantiin pak khotib!”, seru salah seorang, lalu dijawab “kaga! Gua kan ga punya sertifikat.” Jawaban bernada alergetik dengan wacana Pak Mentri. Maka bubarlah suatu sholat Jum’at, tanpa terlaksana.

Saya tidak akan lebih jauh membahas tentang sholat Jum’at, akan tetapi saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk merenungkan tentang Da’i Pop yang marak semacam ini. Sikap alergetik yang muncul pada penggalan di atas adalah salah satu contoh saja respon unik dari pergulatan ustadz/da’i di masyarakat. Yang akan kita bahas adalah kenapa para Da’i Pop ini cenderung alergertik dengan wacana tersebut?

Kasus hangat beberapa minggu yang lalu berkaitan dengan salah tulis ayat seorang da’iyah pop akan mengantarkan kita pada suatu indikasi. Kenapa ya kok bisa seorang da’i bisa salah tulis, padahal menulis ayat adalah hal yang sangat elementer, terlebih ayat adalah dalil pertama dalam hukum syara’ Islam. Kok bisa? Padahal kalau dalam pendidikan diniyyah keagamaan, insya’ atau tulis menulis menjadi hal yang pertama diajarkan selain memcaba huruf hijaiyyah. Sekali lagi, kok bisa?

Lalu, fenomena da’i pop yang membuat testimoni, tentang akan gantung peci (red: pensiun ngustadz) jika syarat menjadi da’i adalah wajib bisa membaca kitab kuning. Aduh, ini semakin ngawur saja. Berarti dia beranggapan kalau menjadi da’i boleh tanpa kualifikasi pemahaman bahasa arab yang mumpuni? Ya ngawur. At least, untuk dai yang sifatnya regional kecil dan tidak mempunyai daya influence yang besar masih bisa dimakhlumi. Namun bila sudah diikuti dan mampu memberikan dampak bagi khalayak umum, gimana bisa kalo tanpa penguasaan bahasa arab yang baik? Lalu dari mana mereka menyandarkan pemahaman akan teks, metode penggalian? Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana mereka menjawab pertanyaan dari hadirin majelis, mengingat gaya dakwah sekarang selalu ada tanya jawab?

Bicara soal pemahaman bahasa, memang sedari lahir orang Indonesia tidak terbiasa dengan bahasa Arab dan tidak menjadi bahasa ibu. Dari warna vokalpun berbeda dengan apa yang ada di bahasa Arab dan yang ada di bahasa kita, bahasa Indonesia dengan segala kearifan budayanya. Misal saja ni, dalam bahasa Arab ada huruf ‘ain, oleh orang Indonesia khususnya jawa maka akan susah diucapkan. Maka ditariklah bahasa tersebut kearah jawa-jawaan. Alhamdulillahi robbil ngalamin... misal lain orang sunda, maka akan susah mengucapkan huruf fa’. Alip laam miim... begitulah, secara vokal kebahasaan memang sudah mempunyai halangan dalam mempelajari bahasa Arab.

Memang sih, untuk belajar bahasa Arab membutuhkan ketekunan yang lebih, mengingat untuk menguasainya beserta gramatikanya ada banyak displin ilmu yang perlu dipelajari. Dari nahwunya, shorofnya, nanti untuk lebih expert bagaimana ‘arudnya, baharnya, balaghahnya untuk memahami teks kuno, misal hadist, qoul sohabi, dll. Tapi, apakah untuk menjadi orang yang akan banyak ditanya tentang agama yang bersumber dari bahasa arab boleh lalai dengan bahasa pengantarnya (bahasa arab)? Saya rasa, utopis bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab lalu ‘ndakik ndakik’ bahkan nyalahin orang yang mempunyai amalan berbeda.

Kembali kepada persoalan awal, lalu kenapa si mereka cenderung alergetik dan resisten pada wacana ini? Padahal sedari kompentensi terindikasi dari beberapa sampel sudah di bawah rata-rata. Atau mereka malu jikalau nantinya mereka terbongkar jika banyak yang tidak menguasai dirosah islamiyyah beserta bahasa pengantarnya? Kalau memang takut adanya penyeragaman, santai saja, jikalau memang ikhtilaf terus lempeng saja namun tetap dengan dalil otoritatif. saya kira wacara sertifikasi da’i penting adanya, jangan sampai da’i berbicara ngawur dan lebih bersifat spekulatif. Untuk menjadi operator crane saja butuh sertifikasi, dan program pelatihan intensif dan berbiaya mahal. Lalu apakah untuk menjadi da’i bisa hanya dengan halaqoh seminggu sekali selama 2 tahun? Oke well, saya rasa orang itu punya ilmu laduni.

Menutup, paragraf ini saya ingin bernostalgia dengan dawuh seorang guru saya di pesantren, “jangan harap kesuksesanmu datang dengan mudah, untuk mendapat madu saja harus rela tersengat lebah.”

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
1 tahun yang lalu
Refleksi yang akan saya hantarkan kali ini mencoba menyajikan sosok Kyai yang tetap bertahan di tengah deru derasnya Dai Pop dan faham trans-nasional, dengan kealiman dan kecerdasan lokal yang luar biasa serta dibarengi pendayagunaan teknologi masa kini.

(Baca: Episteme Dai Pop)

Gus Mus - Siapa yang tidak mengenal sosok Gus Mus? Sosok kyai zaman now yang turut andil besar dalam dunia pendidikan Islam, baik secara formal, in-formal maupun non-formal. Pendidikan yang saya maksud adalah bagaimana beliau secara ajeg mampu mengedukasi khalayak umum, tidak terbatas pada santri yang berada di lingkungan pondoknya diseputaran, Leteh Rembang. Bahkan, tidak melulu seorang muslim, orang non-muslim pun saya yakin pasti ada pula yang mengidolakan beliau

Bermuaranya tiga aspek sentral yaitu: globalisasi, demokrasi, dan teknologi menuntut khalayak ramai mulai beralih kepada penggunaan moda baru dalam hidup bermasyarakat dan juga beragama. Muara inilah yang disebut dengan era disruptif, yang mana bisa diartikan pula sebagai era dimana mulai ditinggalkannya moda, gaya, dan model lama dan digantikan dengan yang lebih fresh dan acceptable. Banyak orang mulai berbondong-bondong beralih dari pengunaan surat dan sms ke penggunaan pengiriman pesan instan, semisal whats app, facebook, dan aplikasi sosial media lainnya. Hadirnya era disruptif ini sudah mulai merubah tatanan sosial, yang dahulunya harus bertegur sapa secara langsung, namun saat ini cukup dengan mengirim pesan instan, atau misal mengunggah foto undangan walimah kita, maka orang yang dituju sudah bisa menerima pesan kita.

Hal yang sama juga terjadi untuk urusan beragama, khalayak ramai sudah dimanja dengan mudahnya belajar agama melalui youtube, tanya jawab “Mbah Gugel”, mereka tidak perlu lagi pergi ke surau/langgar untuk bertemu pak ustadz untuk tanya bagaimana cara berwudhu dengan benar. Ibu-ibu sudah tidak payah mengajari anaknya untuk membaca huruf hijaiyyah karena sudah ada boneka yang mampu menuntun anaknya belajar ngaji. Sah-sah saja hal tersebut dilakukan terlebih terjaminnya ‘kebebasan’ di era demokrasi yang didukung dengan teknologi ini. siapapun boleh menyediakan informasi (red; internet), dan siapapun pula bisa mengaksesnya.

(baca: Disseminating Values On Social Media)

Gus Mus Turun Gunung
Lalu, apakah yang dilakukan Gus Mus sehingga saya merasa penting untuk menulis ini? beliau adalah salah satunya sosok yang tentunya well-informed di bidangnya yaitu keagamaan, yang mampu momong khalayak ramai dengan penggunaan akses ini. Saya rasa magnit beliau tidak kalah kuat untuk menarik santrinya untuk hadir ke padepokannya sehingga bisa ngaji talaqi langsung dengan beliau. Namun beliau memberikan ruang kepada khalayak umum untuk bisa menjadi santri online melalui medium teknologi (i.e. twitter, facebook, instagram).

Ibaratnya, ada barang yang wes kadung jadi (red; teknologi, wa khususon internet), tentunya perlu ada perhatian sehingga tidak menjadi pisau yang matanya mengarah kepada kita. Namun bisa kita arahkan sehingga bisa tepat guna dan penuh manfaat. Mungkin ini yang saya baca dari apa yang dilakukan Gus Mus. Daripada internet dipenuhi konten dari orang trans-nasional, atau Dai Pop yang kurang well-informed, maka beliau dengan sangat bijaksananya berkenan turun gunung untuk menjadi salah satu pengisi ruang teknologi tersebut.

Gus Mus dan Kecerdasan Lokal

Dari sekian post yang dilakukan beliau tentunya tidak melulu santri online, atau sekedar orang mampir baca yang setuju dengan gagasan beliau serta orang yang memang alergetik dengan beliau. Entah memang tidak setuju atau berangkat dari kurang mampunya mencerna subtansi apa yang beliau ungkapkan. Ketidak setujuan ini banyak tertuang dengan bentuk nyi-nyiran, kalimat sarkas, dlsb. Bahkan beberapa ada yang tega menfitnah beliau, atau mencatut guna tujuan yang buruk. Namun, apa yang menjadi respon beliau? Beliau selalu menyikapi dengan teduh, kalimat yang santun dan dialogis, serta penuh dengan roma tawadhu. Bahkan sesekali malah beliau yang meminta maaf dahulu, meskipun tidak bersalah.

Gus Mus Sebagai Role Model Kyai Zaman Now

Dari beberapa karakteristik Gus Mus ini tentunya diharapkan mampu menjadi pendorong semangat daripada santri calon penerus. Menjadi pemantik para mutakhorij pondok yang sedang terjerembab pada sikap tawadhunya. Menjadi inspirasi bagi ustadz-ustadzah lainnya untuk mampu menjadi Dai yang well-informed, santun, dan lihay dalam pendayagunaan teknologi. Sehingga harapannya, orang yang mengisi database internet khususnya rubrik keagamaan adalah kalian, santri dan ustadz yang ga mungkin salah tulis Al-Quran.

Apabila ada salah dan khilaf mohon maaf,

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
1 tahun yang lalu

Suatu fenomena masa kini ditandai dengan merebaknya ustadz ustadzah di masyarakat, dengan menggenggam pengakuan atas kelihay-an retorikanya, merangkai terjemah ayat-Nya demi meraih ridho-Nya.

------

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya (Baca: Pendekatan Kontras pada Pendidikan, Relevankah?) yang ingin mencoba melihat benang merah fenomena yang terjadi di Negeri ini. Telah dibahas pada tulisan saya sebelumnya yaitu ringannya dalam memberikan label ekstrim kepada orang lain, yang mana tidak memiliki pemahaman yang berbeda akan teks yang sama. Label-label bi’dah, musyrik, bahkan kafir mudah untung terucap secara tidak sadar oleh mereka. Tidak hanya itu, bahkan ada seorang yang ringan sekali berbicara “...tumpahin darahnya”. Secara analisa linguistik perkataan yang keluar layaknya murni dari benak yang terdalam. Ini tandanya internalisasi pendekatan kontras dalam pendidikan sudah tidak terbendung, dan memberikan dampak sikap yang universal. Daya dampak yang dirasakan tidak hanya melulu pada bagaimana manhaj/paradigma mereka berfikir, namun juga qouliyah/ perkataan dan fi’liyyah/ perbuatan, serta taqrir/kebijakan. Tentu ini sudah kebablasan dan sudah kurang sesuai untuk berkembang di Indonesia yang lebih moderat dalam manhajnya.

Sebelumnya, Dai Pop itu apa sih? Istilah ini bukan murni saya yang menemukan, melainkan dari beberapa pemaparan ahli, dosen STAI ternama di Sumatra. Dai Pop diartikan sebagai Dai/ Pendakwah yang mempunyai popularitas dan memberikan dampak pada masyarakat menuju arah populis. Indikator kepopuleran mereka dapat dilihat dari tingkat popularitas di masyarakat, seringnya muncul di televisi nasional, berparas menjual, memiliki akun sosial media seperti twitter, instagram, youtube yang diikuti banyak orang. Lalu siapakah sebenarnya Dai Pop itu? Bagaimana latar belakangnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya mencoba melihat sample purposive, misal saja Ustadz Slmd, Ustadz TW, Ustadzah OSD, dll. Dari beberapa ini menjadi keperihatinan saya. Kegelisahan saya ini tentunya berlandaskan, bagaimana bisa hal yang sifatnya prinsipil akan dijabarkan oleh orang yang tidak memiliki otoritas. Otoritas yang dimaksud adalah kualifikasi kemampuan sesuai dengan standart dan bidangnya sehingga mampu memberikan penjelasan yang tepat. Namun bilamana kurang memiliki kualifikasi biasanya akan ngawur adanya, atau hanya membuat lelucon yang dibuat-buat dan jauh dari spirit dakwah nabi. Masih ingat kan dengan jargon, “jamaah... oh jamaah..?”.

Ini menjadi tugas pendidikan baik itu yang bersifat formal, non-formal atau informal yang mana akan menyuplai Dai-dai masa depan. Seharusnya pendidikan mampu memberikan jaminan akan outputnya sehingga mampu memenuhi standart minimal yang diperlukan untuk menjadi seorang dai, lebih-lebih ustadz. Misal, pondok pesantren ya setidaknya bisa mengkhatamkan machali atau minhaj (nama buku literasi yang membahas islamic jurisprudence, familiar dengan sebutan kitab kuning) sebelum dilepas ke masyarakat.

Lalu bagaimana dengan dai yang belajar otodidak? Ya, meskipun saya sebenarnya tidak setuju dengan prinsip ini, karena menurut kepercayaan saya dan insyaAllah sahabat-sahabat saya pasti akan mengatakan jika belajar itu wajib dengan guru. Namun, secara kasuistik juga tidak menutup kemungkinan ada ustadz yang memang memiliki kemampuan lebih karena giatnya belajar mandiri. Atau mungkin memiliki kemampuan istimewa yang mana sering santri sebut ilmu laduni. Ya boleh saja, namun apakah kuantitas orang yang memiliki kualitas dan karakteristik seperti ini banyak? Hanya segelintir orang yang mampu memiliki keistimewaan ini.

Ditambah dengan kasus tempo hari yang sempat menggegerkan jagad Indonesia, tentang salahnya tulis ayat pada acara kajian Islam yang disiarkan televisi nasional. Tentu hal-hal seperti ini harus segera dikendalikan. Jika memang memiliki kemampuan atau kekuatan yang bisa diharapkan, dan etos belajar yang tinggi, boleh saja dai pop ini diberikan pembekalan lebih sehingga bisa mengupgrade kompetensinya. Namun apabila memang sudah tidak ada peluang kesana lebih baik menjadi profesi yang lain.

Pada sisi yang sama ini menjadi pertanyaan kepada pemegang otoritas; santri, kyai dan pendakwah ulung bagaimana menyikapi tantangan ini?

Begitulah uneg-uneg saya sembari menunggu pesawat delay.
(Semarang, 27 Des 2017)
Bersambung... (Kyai di Era Disuptif)

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
1 tahun yang lalu
Pendekatan Kontras menjadi salah satu metode pendidikan yang banyak dilihat oleh beberapa kalangan pendidik, baik dari segi pelaku, pemerhati, dan bahkan orang yang tidak begitu setuju dengan model tersebut.

Pendidikan kali ini memasuki era baru, yaitu era disruptif, Era dimana tantangan menjadi lebih komplek. Kompleksitas ini terjadi karena tiga arus utama zaman ini sebagaimana telah saya singgung pada tulisan sebelumnya (Diseminating Values...) yaitu globalisasi, demokrasi, dan teknologi bermuara bersama. Dari sini membawakan kita pada babak baru yaitu terbukanya jendela secara lebar. Ada banyak warna baru yang masuk ke Pendidikan Indonesia, baik yang memang asli budaya Indonesia atau yang diimport masuk ke Indonesia.

Pendekatan Kontras, salah satu yang sedang digandrungi  Guru Agama Muda dan Dai Pop akhir ini. Pendekatan ini adalah bagaimana memberikan penjelasan kepada murid atau jullas pada sebuah majlis taklim dengan menyuguhkan dua perspektif, yaitu yang baik atau buruk, haq atau batil. Paradigma yang dibentuk adalah mengarahkan para murid untuk mampu menerima dan menginternalisasi hal yang baik, dan menegasikan seluruh hal selain baik (buruk). Pendekatan kontras apabila dilakukan menerus, maka akan membuat para murid mempunyai keteguhan hati dalam menggenggam hal yang baik dan disertai dengan sikap tidak setuju dengan hal yang buruk. Sikap ini acapkali diwujudkan dengan perjuangan oleh para murid kepada orang yang mereka anggap buruk untuk mengikuti mereka.

Pada sisi ini, pendekatan kontras pada pendidikan mempunyai dampak baik. Karena mampu mengarahkan murid yang bisa memegang teguh prinsip. Tujuan pendidikan meliputi muatan-muatan nilai dapat tercapai, tercermin dari muridnya yang mulai menunjukkan perubahan. Misal saja, temen-temen putri yang sebelumnya belum berjilbab, saat ini berjilbab, yang sebelumnya tidak jamaah di masjid, sekarang sudah sebaliknya. Ini menjadi indikator keberhasilan pendidikan karena kompetensi sikap mulai ada perubahan.

Pada sisi lain, pendekatan kontras juga memberikan efek samping. Pendekatan kontras yang semula sudah ada sejak tahun 1912an, lalu menjadi tumpah ruah, riuh setelah gulingnya orde baru sebagai akibat dari terbukanya demokrasi serta jebolnya kran arus informasi dari luar negeri, ini membawa dampak yang juga bisa membahayakan. Pendekatan kontras ini bah pisau bermata dua, karena boleh jadi kalau digunakan tidak tepat bisa kebablasan atau tidak tepat guna. Misal saja, pada kali ini banyak kalangan muda newbie menjadi murid yang berani untuk “beraksi”. Pemahaman yang mengendap dalam diri mereka akan kontrasnya suatu hal mengantarkan suatu problematika tersendiri. Karena terbiasa disuguhi dengan hal yang baik dan selainnya tidak baik, mereka menjadi antipati pada hal yang mereka anggap tidak baik.

Antipati ini berwujud gagasan, dan gerakan. Mereka akan menolak tentang hal yang tidak sesuai dengan mereka. Misal saja pada suatu jamaah keagamaan di SMA favorit di Jogja, pernah menutup artis yang sedang manggung di acara pensi sekolahnya dengan jaket. Mereka menilai pakaiannya terlalu terbuka, terjadi pemaksaan gagasan mereka kepada orang lain, Saya kira ini masih wajar. Namun ada indikator lain yang lebih fatal, seperti fenomena takfiri. Fenomena takfiri adalah gerakan hate speech kepada orang yang tidak sepaham, dan menjustifikasi mereka tidak akan mendapatkan nikmat setelah hari akhir. Gampangannya, mereka tidak menjadi golongan mereka lagi dan akan masuk neraka. Padahal sisi irisan mereka dalam beribadah masih lebih banyak daripada sisi perbedaannya. Bahkan perbedaan ini hanya terjadi pada hal-hal yang cabang, bukan dasar yang mempunyai dampak besar. Misal saja, lelaki yang menggunakan celana lebih dari mata kaki, maka akan masuk neraka, dlsb. Mereka tidak berkompromi dengan hal yang sekiranya tidak sesuai dengan paham mereka, meskipun masih disandarkan pada sumber yang sama.

Tentu, ini tidak sehat. Munculnya fenomena takfiri berdasar dari pendekatan kontras tentu tidak diharapkan oleh para pelaku, pengamat pendidik yang sudah mapan. Sehingga menyebabkan polarisasi dan saling melempar tuduhan kesalahan. Dua kutub ini saling menyalahkan dengan membabi buta, lihat saja fenomena Koh Felix dan Abu Janda. Tentu ini tambah tidak sehat. Munculnya pendekatan ini harusnya bisa mendorong produktifitas dari murid, tanpa harus membawa efek sampingnya.

Atau mungkin apabila memang sudah menjadi darah daging baik dari guru, murid dan seluruh jullas yang menjadi simpatisan, seharusnya para pendidik itu mampu menyajikan fakta alternatif. Meskipun mereka menggenggam kebenaran versi mereka, mereka juga perlu menahan diri untuk tidak melakukan aksi atas dasar prinsip mereka dan mengakui kebenaran dari sumber lain, mengajarkan tentang hal Tamasuh, Tawazzun, dan i’tidal. Atau setidaknya tidak mengusik orang lain yang tidak sepaham. Seperti pelajaran fiqh, hukum tidak hanya ada haram dan halal. di tengah nya ada makruh atau mubah. Kalau memang belum haram ya jangan dianggap haram.

Jadi relevan ga kira-kira? Temen-temen pembaca aja yang menyimpulkan deh, hehehe.

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
1 tahun yang lalu

Tulisan ini tidak akan di-present-kan dengan media bahasa Inggris, mengingat my English little little... cuman judulnya aja yang dibikin wah, biar berasa zaman now gituuh..

Tema ini sejatinya sudah ada beberapa yang mengulas dengan masing-masing sudut pandang. Pada kesempatan ini saya tertarik mencoba membaca fenomena meme yang banyak mengudara/ menghalus (apa ya yang pas..? maklum saya miskin diksi hehe) pada waktu-waktu ini menggunakan perspektif penumbuh kembang ulang nilai melalui Media Sosial (tuh kan ga asik pake bahasa).

Kebebasan yang ada Indonesia selepas orde baru mengantarkan warganya untuk bisa melakukan hal apapun di negeri ini tanpa harus takut akan pemerintah –selagi tidak menabrak hukum. Kebebasan ini memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya juga untuk bersosmed (social media) ria. konsekuensinya siapapun boleh mengutarakan pendapat. Riuh kasus Pak Setn*v misalnya, langsung mendapat atensi dari warga net yang beragam. Mulai dari komentar, pembuatan lagu, dan juga meme. Ini sudah menjadi wajar, karena menjadi bagian dari konsekuensi demokrasi, globalisasi, dan teknologi.

Tapi apa sih values yang bisa kita dapat disini? Dialog, ya dialog. Hadir sosmed memberikan peluang kepada kita dapat berkomunikasi dua arah dengan sosok yang mungkin tidak terjangkau kita pada masa-masa lalu. Semudah gerakan jempol saja, kita bisa me-mention orang yang kita tuju. Namun, tidak berhenti disitu, hadirnya sosmed terkadang membuat user-nya lupa, bahwasannya pesan-pesan yang diutarakan juga terbaca oleh user lain. Sehingga dapat memberikan daya pengaruh terhadap society pengguna jagad maya. Lihat saja, hanya dengan sekali ketuk pesan-pesan kita dapat dibagikan ulang oleh user lain, yang boleh jadi tidak mempertimbangkan atau memberikan ulasan/evaluasi dahulu.  Dampaknya, banyak hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan muncul di sosmed, baik itu yang bersifat opini, atau pesan yang disampaikan tertuju pada seseorang. Lebih dari itu, hadirnya sosmed acapkali digunakan oleh bad-user untuk melakukan pelemahan, pendiskreditan, rasial, superiori terhadap orang lain, atau golongan lain. Tentu ini sudah mulai tidak sehat dan dapat berdampak domino terhadap user-user lain yang seperti saya sebutkan diatas –kurang melakukan ulasan dan evaluasi akan konten.

Tren ini seharusnya bisa lebih diperbaiki, karena sejatinya hadirnya sosmed harus bisa mendukung produktivitas kita, bukan justru sebaliknya. Seharusnya ada batasan-batasan etika dalam bersosmed, sehingga arah dari penggunanya juga jelas. Ini penting, karena idealnya, kita bisa mengarahkan pesan positif kita sehingga bisa berdampak pada orang yang kita tuju, atau orang lain yang juga menikmati. Sebut saja meme, dan lagu berkaitan Pak Setn*v yang sedang naik daun belakangan ini. Seharusnya meme-meme yang hadir bisa menkritik sekaligus menggugah orang yang dituju sekaligus para pembaca untuk bisa saling mengingatkan pada kebaikan –taawun ala birri wa taqwa. Bukan justru menggunakan kata satir yang kurang produktif, yang mana justru mencerminkan usernya.

Penanaman nilai melalui sosmed ini penting dilakukan, tidak hanya kasuistik pada satu kasus Pak Setn*v tersebut, namun juga secara general khalayak umum sehingga dapat memberikan daya dampak perubahan di saat dekadensi moral seperti ini. Seperti posting tentang kejujuran, kedisiplinan, daya juang, motivasi dlsb. Boleh berangkat dengan kutipan-kutipan, blog hingga vlog, dlsb, Sehingga ada warna baru di sosmed kita, dan tidak melulu pada romansa fana remaja saja. Tidak apalah sekali kita memposting tentang karya kita, pencapaian kita, sehingga menimbulkan konflik produktif senada dengan spirit Al-Quran Fastabiqul Khairot, yaitu memicu penikmat/pembaca untuk dapat produktif juga dalam karya, bukan hanya sekedar gaya.

Suatu yang didambakan, pada suatu saat sosmed kita bergelimang hal positif, sehingga mampu memberikan dampak, sekali lagi dampak kepada pembaca. Ya you know so well lah, setiap waktu dari khalayak saat ini hampir 1/4 nya (sudah akumulasi dengan tidur loh ya) hanya habis untuk melulu scrool instagram, facebook dlsb. Lihat saja, di warung kopi, hingga forum diskusi semua gitu-gitu aja. Harapannya semakin banyak konsumsi posting positif melalui sosmed, maka akan terinternalisasi secara otomatis oleh users sehingga ada perubahan positif yang bisa dirasakan. Tapi semua kembali kepada kita lah ya, doyan kaga sama hal yang begono, kalo ga doyan yaudin, yang penting jangan salahin mang udin aja, karena mang udin nya lagi keliling dunia, udin sedunia.

 

Hilmi Fauzi Hilmi Fauzi
1 tahun yang lalu

Sinopsis Film Sang Kiai
Ada banyak tokoh kepahlawanan yang sudah diapresiasi oleh masyarakat dan negara, semisal dibuat menjadi film. Film yang mengisahkan bagaimana perjuagan mereka, sehingga dinampakkan sisi kekuatan salah satu tokoh yang diangkat dalam perannya membebaskan Indonesia dari penjajahan. Namun dari beberapa diantaranya perjuangan kemerdekaan lewat peran kaum santri kurang terangkat, padahal kaum ini punya andil yang sangat besar.

Tahun 1942 Jepang melakukan ekspansi ke Indonesia. Di Jawa Timur, beberapa KH dari beberapa pesantren ditangkapi karena melakukan perlawanan. Salah satunya adalah KH Hasyim Asy'ari.

Penangkapan ini membuat kegaduhan di Tebu Ireng –pondok pesantren pimpinan beliau. Beberapa diantaranya reaksi dari para putra beliau; KH Wahid Hasyim, Karim Hasyim dan Yusuf Hasyim serta deretan para santri: Baidlowi (menantu beliau), Kang Solichin -orang kepercayaan, serta tiga santri muda; Harun, Kamid dan Abdi.

Kejadian ini berdampak pada stabilitas pondok. Maisyaroh–lebih kerap disebut Nyai Kapu– istri KH Hasyim Asy'ari, diungsikan ke daerah Denaran. KH Wahid Hasyim bersama Wahab Hasbullah meminta agar KH Hasyim Asy'ari dibebaskan. Kepala Kempetei yang menahan beliau, tidak bersedia membebaskan. Beberapa cerita menyebutkan bahkan beliau dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain hingga tiga kali. Baru setelah adanya bargaining KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah dengan Abdul Hamid Ono -orang Jepang dan kenalannya, membuahkan hasil.

Saat KH Hasyim Asy'ari dipenjara, sebagian santri memilih hengkang dari pesantren. Harun dan Kamid yang membuntuti saat beliau saat ditangkap. Naas Kamid ditembak mati, saat kepergok patroli tentara Jepang. Kematian Kamid dan penangkapan KH Hasyim Asy'ari memunculkan kemarahan dalam diri Harun, dia memilih ikut para militan dalam mencuri ransum tentara Jepang.

Akhirnya Jepang membebaskan para Kiai, termasuk KH Hasyim Asy'ari. Dengan begitu Jepang berharap para Kiai agar bisa diajak kerjasama. Lebih dari itu, Jepang memasrahkan ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) kepada beliau. Melalui Masyumi Jepang meminta Masyumi agar menyitir ayat-ayat agar rakyat mau melipat gandakan hasil bumi yang nantinya diserahkan pada Jepang.

Harun mempertanyakan hal ini pada KH Hasyim Asy'ari. Ia merasa Masyumi berpihak pada Jepang. Beliau menjawab bahwasannya Masyumi hanya berpihak pada pembesar-pembesar yang adil. Harun kecewa dan keluar dari lingkup pesantren. Abdi yang mengetahui hal itu mencegah. Menurutnya, Harun tidak dapat membaca rencana KH Hasyim Asy'ari. Akan tetapi Harun tetap teguh pada pendiriannya.

Jepang melakukan blunder dengan mengangkat KH Hasyim menjadi mentri agama. Karena dengan demikian, beliau bisa menghalang para santri yang dieksploitasi oleh heiho. Malah-malah terbentuk barisan hizbullah.
Waktu demi waktu, Jepang mulai mengalami kekalahan, namun tidak memerdekakan Indonesia, justru mengembalikan kedaulatan kepada Sekutu. Maka Utusan Presiden Soekarno menghadap KH Hasyim Asy'ari. Presiden menanyakan apa hukumnya membela tanah air. Terjadilah Resolusi Jihad yang maksudnya adalah “membela tanah air hukumnya wajib” di Surabaya, sehingga para Santri pun bersiap untuk berjihad. Pada titik ini, Harun mulai terbuka matanya. 10 November 1945 menjadi hari yang bersejarah, karena pada saat itu Mallaby tewas dan menjadi awal perang yang dahsyat yang melibatkan rakyat, berbagai barisan pemuda serta laskar Hizbullah bentukan KH Hasyim Asy'ari yang terdiri dari para santri.

Value for education

Dalam film ini mengisahkan tentang pimpinan lembaga pendidikan yang tidak hanya mempimpin madrasahnya pribadi namun juga memimpin masyarakat melalui pergerakan. Disini dapat diqiyaskan kita sebagai pendidik kelak, tidak hanya mendidik siswa kita di kelas, akan tetapi mendidik kalangan warga sekitar kita juga. Jadi tugas kita tidak habis di sekolah saja akan tetapi di masyarakat kita juga harus andil, terlebih dalam bidang agama yang mana sebagai major kita saat ini.

Dalam film ini juga kami menilai dapat membuka mindset kita agar tidak kolot dan berfikir konvesional. Sebelumnya juga sudah ada Film dengan tajuk yang sama yaitu “Sang Pencerah” dimana mengkisahkan pergerakan Hadhorotus Syaikh A. Dahlan yang mana mempunyai serikat yang sangat maju hingga saat ini, di lain sisi KH. Hasyim Asy’ari yang notabene adalah sahabat KH. A. Dahlan juga mempunyai pergerakan yang eksis hingga saat ini. Urgensinya sampai saat ini kedua pergerakan ini sering dihadapkan.

Nhah, melalui film ini kami mengharapkan agar sebagai penyeimbang, dan wawasan bagi kedua belah pihak, agar bisa berfikir modern dan tidak saling menjatuhkan satu sama lain. Karena hakikatnya ini hanya sebuah ikhtilaf mempunyai metodologi masing-masing dan tidak perlu diperdebatkan. Sebagai guru kelak dan ustadz kita harus bisa dealing with good solve atas perbedaan ini, dan kita tidak boleh terjebak dalam satu ide saja, namun sayogyanya harus bisa menjadi solusi bagi perbedaan ini, baik dengan fikiran, raga, dan tenaga kita.