Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Kholid al Afghani

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara
Kholid al Afghani adalah penulis di Pewarta Nusantara
Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

Yog, jujursaja.. Kamu suka kan sama putri?” pertanyaan itu meletup begitu saja dari mulutku waktu kami duduk berdua di kantin saat istirahat sekolah. Entah kenapa bibirku gatal sekali ingin menanyakan itu sama Yogi, bahkan sejak pertama kali aku melihat rambut klimisnya yang selalu menarik perhatian, bukan aku takut perhatian Putri juga direnggut sama lem kayu di rambut Yogi, hanya saja peta politiknya harus diperjelas.

“mana mungkin pret, Kalau aku naksir putri, harusnya dia sudah jadi pacarku 2 menit 30 detik setelah dia masuk kelas kita pertama kali”. Yogi jawab songong pertanyaan sederhanaku sambil memakan kuwaciku tanpa bilang terimakasih. Aku baru ingat, maling mana ada yang ngaku, kecuali dia kena OTT.
Pertanyaan terbuka itu tentu akan sia-sia, wasting time dan buang-buang dahak tenggorokan.

Tersangka harus dipancing dengan pertanyaan sistematis. Bangkai tidak akan tercium baunya kalau ditimbun dengan kopi. Yogi harus bercerita sendiri, kalau tidak dengan perkataan songongnya, dia harus bercerita dengan sikap dan ekspresi tubuhnya.

“Kamu tau Surya, Yog?” “Kenapa?” “Nama belakang Surya itu Sukarta, dan kamu tau Sukarta kan? Dia kaya, dia bisa beli siapa saja apa lagi orang utara, termasuk Putri” Pertanyaan itu harusnya sangat mengusik kening Yogi, seberapa kuat kening itu untuk tidak ia kerutkan. Aku tatap Yogi tanpa kedipan, penasaran dengan ekspresi si-maling saat mulai terendus.

“hmmm.. sudah kuduga..” kutahan seringaiku sekuat mungkin, melihat alis yogi mulai menyatu saat ku sebut nama Sukarta. Siapa yang tidak kenal Sukarta, pohon uang berbentuk manusia, lahan basah bagi orang Baning Utara mendapat recehan penyambung hidup. Sampai sekarang diwariskan pada anak pertamanya, Eka Sukarta.

Putra mahkota Sukarta sekarang menjadi pemegang kendali pertanian baning selatan, pekerjanya tentu orang-orang Utara. hampir 30% kios di pasar juga tidak lain adalah milik pak Eka, 30% lainnya dikuasai saudara dan kerabat dekatnya. berjualan di pasar baning tentu saja harus seizinnya.

Seperti ikan lele kelaparan di kolamnya, pancinganku disambar ganas dengan ekspresi yogi yang tidak lazim. Ia kerutkan keningnya, diikuti dengan kebengongan dan wajah bodoh yang baru pertama kali kulihat dari Saryogi si tampan putra bapak Sarjohan Guru Matematika.

Aku terus memandangi Yogi yang kelihatannya bingung sekali jika dilihat dari diamnnya. Sengaja aku diam menunggunya merenung sejenak dan seperti apa klarifikasi selanjutnya.

Jika tebakanku benar, Yogi akan membela diri dengan merendahkan Surya. Kepopuleran yang dia miliki harus dipertahankan, meskipun hanya tampan dan berdarah PNS, itu sudah cukup prestis kalau hanya sekelas pemuda Baning Utara.

“Surya memang keturunan Sukarta, tapi Sukarta yang mana? Dia bukan anak Sukarta, bukan juga anak Eka Sukarta. Kamu tau sendiri, keturunan sukarta menggurita di Baning Selatan. Tapi aku yakin dia bukan salah satu keturunan generasi emas Sukarta. Surya culun, Pret, pakai kaca mata dan sulit bergaul, Putri mana mau sama Surya”. Kegugupan itu semakin terlihat disemua eksprisi dan mimik muka Yogi saat bicara.

“hmm… dasar lemah..” Kumaki dia dalam hati sambil kutumpuk tangan diatas meja, kuperhatikan terus kegagapan Yogi yang berlarut-larut. Ikan lele itu jelas berontak kesakitan karena tidak bisa lepas dari kail pancingku.

Semabari memperhatikan omongan Yogi yang mbulet, diam-diam tanganku mengetik pesan dibawah meja, meminta Surya datang ke kantin. “Surya, sini ke kantin, penting, Yogi lagi nraktir aku..”.

Tidak lama kemudian Surya datang, dia tidak tau, barusaja Yogi melucutinya habis-habisan di depanku. Tanpa rasa bersalah Surya salami kami berdua dengan senyum polos ala Spons Bob. Yogi-pun menatapnya penuh kedengkian dengan tatapan sok tangguh. “Kamu mau traktir aku apa, Yog?” Mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Surya, aku merasa tegang dan takut akan makian yang sebentar lagi keluar dari mulut Yogi.

Tatapan tangguh Yogi semakin dalam, alis dan keningnya sudah membentuk busur panah dengan sempurna. “Traktir?,,, Coret nama Sukarta di belakang namamu! Pesan satu kopi buat ku!!!”
Kali ini aku benar-benar merasa kasihan, melihat Yogi yang seperti ikan lele kelabakan menggigit kail pancingku. Bahkan untuk bertahan dan bersikap tenang dia tidak sanggup lagi, untuk sekedar menutupi kebohongannya kalau dia suka sama Putri Binti Kasturi. “hmmm… Dasar Maling!”

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

“Putriiiii….” Kupanggil namanya dari kejauhan, sebisa mungkin tanpa typo, karena sepertinya editor Pewarta Nusantara terlalu malas untuk memperbaikinya.

Putri pun menoleh, berusaha menebak teriakan penuh kerinduan yang ia dengar. “Aku ikut kamu” teriakku yang ingin menumpang di sampannya menuju rumah pak Kiai Jarkoni.

Dia menepi dan langsung bertanya “Kenapa tidak pakai sampan mu sendiri pret?”

“Sampanku mau bapak pakai hari ini” jawabku, meskipun sebenarnya tidak juga.

“Naiklah.. kamu yang kayuh!”

Putri selalu bermain teka-teki, kode-kode nya harus saya baca dengan sangat jeli. Menyuruhku mengayuh adalah strategi pengkambing hitaman. Jika putri yang mengayuh, kemudian ia pelankan laju sampan untuk berlama-lama diatas sampan berduaan denganku, sebagai wanita jelas dia tidak mau terkesan mengejar cintaku. Sebaliknya, dia ingin mempertanyakan kualitas kerinduanku dengan mengukur seberapa pelan laju sampan yang aku kayuh.

Begitu strategic, dan setiap langkah preventifnya nyaris tanpa celah. Begitulah Putri, selalu berusaha menjadi sosok perfeksionis didepanku. Bagaimana mungkin aku ragu untuk mencurahkan segenap cinta kasihku pada wanita luar biasa anak Kasturi ini.

“Kenapa kamu lebih suka memakai sampan?, kamu kan bisa kerumah pak Kiai pakai motor put?” Pertanyaan pembukaku langsung tajam menukik dan menyerang nalar filosofisnya. Tentu saja aku tidak mau kualitas kebersamaan ini dipenuhi dengan obrolan murahan ala Dilan si bocah era krisis moneter yang masih sempat meng-custom motor CB jap style.

“Suka-suka ku lah pret..”

mungkin dia tidak mau obrolan ini cepat selesai dan dia khawatir kalau aku kehabisan tema untuk diperbincangkan, jadi dia masih ingin membahas tema ini karena kepeduliannya pada kemampuan komunikasiku “kamu salah meragukan kemampuan komunikasiku, curahkan saja kerinduanmu jangan ragu” Sambil mengayuh sampan Kasturi, aku membatin menafsirkan jawaban Putri yang diplomatis.

“Kalau kamu pakai motor kan bisa dengan jalur memutar mengitari danau lewat depan rumahku, dan kalau aku butuh tumpangan dengan motor kebersamaan kita bisa lebih rapat.. heheh..” kataku dengan intonasi meledek, berharap selera humor Putri satu level denganku.

“Kamu pikir aku ojek” Sambil memandang ke kearah timur, putri menjawab dengan nada sok jual mahal ala artis FTV di awal cerita.

Ya enggak lah Put.. kamu Putri binti Kasturi, wanita yang selalu punya tempat spesial di hatiku, mana mungkin aku anggap sebagai tukang ojek?” Jawabku dalam hati, membenarkan persepsi putri yang membela diri dengan prespektif feminis garis keras.

“Hahaha.. tapi kalau kamu tukang ojek aku bakal jadi pelanggan tetap, dan dengan tarif di atas rata-rata.” Aku mencoba meninggalkan tema dan berganti mengikuti alur pembahasan yang putri tawarkan, dan sekaligus pernyataanku memuat kode keras.

Putri kembali menjawab dengan tegas tanpa mau direndahkan. “Edann..!! Peci hitam kamu aja karatan, beli peci baru dulu baru bertingkah sok kaya.”

Aku diam sebentar karena sepertinya putri masih bingung untuk berkata-kata dalam situasi yang pastinya membuat Putri canggung dan mungkin baru pertama baginya. Sekaligus memberi kesempatan putri untuk memilih tema obrolan yang ia mau.

“Kalau aku pake motor pret, pertama jauh karena harus memutar jalan hampir 30KM, jalan ketempat pak Kiai kamu taulah betapa jeleknya itu, aku sayang motorku, dengan sampan bisa lebih cepat karena tinggal menyeberang tanpa harus memutar juga, dan aku suka suasana diatas danau.” Kata putri yang tiba-tiba kembali membuka obrolan.

Did you hear that.. hah…. dia menjawabku!!” Teriak ku dalam hati dengan ekspresi membentak ikan-ikan yang sedari tadi mengikuti sampan dan seolah menatap ku penuh ejekan.

“Masuk akal sih.. tapi kedalaman danau ini harusnya membuat orang yang menyayangimu khawatir Put, khususnya bapak Kasturi”. “dan aku” kubisikan kata terakhir pada ikan-ikan yang dilihat dari ekspresi menguping pembicaraan ala emak-emak dan bentuk tubuhnya, sepertinya mereka tidak lebih dari ikan kelas proletar rendahan.

“Jangan lebay pret..”

Jawabannya sangat memuaskan, Putri sangat ingin menunjukan bahwa dia adalah wanita perkasa. Sembari dia menjawab aku tatap dalam-dalam matanya yang disinari cahaya matahari pagi, bening dan jernih berkilau. Aku berkata dengan mataku “jangan berhenti menatap, Put!! kau akan sangat merindukanku kalau tidak menuntaskan tatapnmu” kata mataku pada mata Putri yang menyipit karena sinar matahari.

Seperti sepenggal kalimat yang diingat Dr Robert Oppenheimer dalam buku Bhagavad Gita saat merancang Bom maut untuk Hiroshima dan Nagasaki

“…Apabila sinar dari seribu Matahari serentak memecah ke langit, maka seperti itulah kemegahan Sang Perkasa Tunggal…. Aku adalah Kematian, Penghancur Alam Semesta”.

Cahaya yang terpantul dari mata Putri benar-benar memporak-porandakan semua hasratku pagi ini. Nyaris tak ada ruang untuk keinginan menyetir langkahku. Hanya bahagia yang aku rasakan saat ini.

“Ayo cepetan pret kita udah sampai!!”

“Yahhhh, gitu aja…???? ” Kata ikan ikan yang mengiringi kebersamaanku dan Putri di atas sampan. Kucari batu dan kulempar sekeras mungkin batu itu pada mereka “kalian kira kita mau mesum!!” Bentakku dalam hati.

Tidak terasa sampan ini sudah menepi, begitu cepat meski sudah ku pelankan. Tapi aku sangat menikmatinya. Kebersamaan yang suatu saat putri tanyakan dengan ekspresi pura-pura lupa “kita pernah berdua disampan kayaknya yah pah (panggilan untuk suaminya)?” Sebuah basa-basi malu putri akan tetap kutunggu dan kuceritakan betapa epicnya hari ini, hari dimana aku mengaji pada Kiai Jarkoni dengan penuh semangat karena melihat cahaya pagi yang begitu terang di mata Putri.

 

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

Saat aku masih SD, Sekolah selalu menjadi aktifitas yang paling menyebalkan. Bagaimana tidak, setiap malam waktu nonton sineteronku terbuang untuk memikirkan PR, setiap pagi disibukkan bermain petak umpet dengan sepatu yang entah tersangkut dimana, dan karena penggaris bu Sarmijah selalu mendarat di telapak tangan. Semua itu terjadi karena aku sekolah. Kebencianku dengan aktifitas belajar mengajar bukan identitas pemalas, melainkan karena betapa adilnya aku, bahkan pada diriku sendiri.

Bayangkan, hampir satu tahun penuh, jantungku dipaksa berdetak kencang saat melihat penggaris kayu bu Sarmijah sepanjang 1 meter. Otakku yang konon terdiri dari kanan dan kiri dipaksa berpikir dari pagi sampai malam karena bu Sarmijah selalu menitipkan PR. Telingaku yang kata teman sebangku selalu menyisakan buih sampo setiap pagi, dipaksa mendengarkan pelajaran sejarah yang entah zaman nenek moyang angkatan berapa. Kedua kaki emasku yang tidak kalah keren dari kaki Cristiano Ronaldo, terkurung seharian di dalam kaos kaki bercitarasa terasi nenek.

Itu semua jelas bentuk intimidasi yang tersistem. Mentalku dihancur leburkan oleh pihak yang mengatasnamakan lembaga pendidikan. Dan lebih parahnya, mereka mengaku mengemban tugas negara, guna mencerdaskan anak bangsa. Bulsit.

Untungnya aku adalah nasionalis sejati sejak TK O kecil. Mana mungkin negara yang aku cintai dituduh sebagai biang kerok dari kaos kaki berbau terasi nenek. Aku meyakini keruwetan ini adalah “kahanan” dalam istilah Jawa dan dipopulerkan Didi kempot yang berarti keadaan. Seberapapun kuat, berduit, ganteng, mencuci kaos kaki setiap Minggu, Sekolah tidak mungkin kita hindari, dan aroma terasi adalah keniscayaan.

Semua kebencianku pada sekolah berubah saat memasuki masa SMA. Ada kerinduan yang harus kutunaikan pada sosok cantik putri dari bapak Kasturi. Aku tidak pernah melupakan Putri sejak masa perkenalan. Waktu itu aku datang terlambat memasuki ruangan ekskul, karena harus berurusan dengan bapak Sarjohan guru killer reingkarnasi bu Sarmijah.

Memasuki ruang ekskul, mataku  terhipnotis pada sosok cantik yang membukakan pintu. “Silahkan mas,”.

Benar jika nabi Musa tidak mampu melihat Tuhan secara langsung, bahkan cahayaNya. Melihat Putri binti Kasturi membukakan pintu, untung saja aku tidak hilang kesadaran seperti nabi Musa melihat cahaya Tuhan. Karena wajah putri seolah sangat bercahaya kala itu.

Dia menjulurkan tangan, spontan langsung aku gapai dan jabat erat tangan putri, agar dia tau betapa perkasanya aku jika dilihat dari eratnya genggaman tangan.
“Aku putri” katanya memperkenalkan diri.

Aku tidak mendengarkan apa yang keluar dari mulut Putri selain namanya. Aku hanya diam memandang wajah putri dengan senyuman, dan membatin “Tuhan, kau ciptakan makhluk seindah ini, dan Kau pertemukan dia denganku, apa yang Kau rencanakan?” Seperti kata kiyai Jarkoni “kenapa tidak husnudzon saja pada Tuhan?” Sebelum mendengar nasehat itupun dari dulu aku selalu husnudzon pada Tuhan. Saat itu aku meyakini, Putri adalah bentuk kepedulian dan kasih sayang Tuhan padaku yang jomblo ini.., eh, maksudku single sejak TK 0 kecil.

Aku hanya membatin, “secepat itu dia memperkenalkan diri. Tidak mungkin kalau tidak punya motif dibalik perkenalannya yang cepat.” Di dalam gumam, aku sempat menggumam lagi “dia jatuh cinta sama kamu pret!”. ”Oo.., pantas saja baru ketemu langsung minta kenalan, ternyata menyebutkan namanya cuma pancingan, supaya aku mau memperkenalkan diri juga. Kamu memang pintar, Putri. Sangat pantas jadi ibu untuk anak-anakku kelak

Perkenalannya hanya aku balas dengan senyuman, agar dia tau ada harga untuk cinta, bukan sekedar menyetorkan nama untuk mendapatkannya. Meskipun ingin sekali aku membalasnya dengan nada macho “aku Kupret

Aku tidak menyebutkan nama, tentu saja karena aku berusaha mendewasakan Putri, calon ibu dari anak-anakku haruslah tegar, tidak semua yang diinginkan di dunia ini bisa begitu saja didapat dengan mudah, baik harta maupun jabatan perlu proses untuk mendapatkannya, begitu juga dengan cinta. “Sabar putri, tidak usah terburu-buru” kataku dalam hati.

Sebagai pemuja anak kasturi, aku merasa harus punya nilai lebih dibanding teman teman satu kelas dan satu ekskul untuk menarik perhatian Putri, khususnya pesaing terkuatku, Saryogi bin Sarjohan. Si tampan anak musuh bebuyutan, Borjuis paling bersinar di sekolah, pemilik rambut klimis yang tidak mungkin rusak jika terkena badai tropis selatan, jelas dia menggunakan lem kayu untuk melapisi rambutnya.

Aku tidak mungkin kuat membeli lem kayu meskipun cuma satu kilo. Untuk itu aku sadar, point ketampanan dan kekayaan sudah mutlak milik Yogi yang memiliki trah darah PNS. Tapi cinta tidak mungkin dimenangkan hanya dengan garis keturunan berdarah PNS, paras tampan, maupun kualitas lem kayu yang mampu ia beli. Karena cinta adalah anugrah dan kasih saying, sebuah kisah perjuangan yang dimainkan dua insan, dengan Tuhan sebagai sutradara yang Maha melankolis. Alur cerita cinta tentu bukan sekedar milik pemodal, melainkan kesungguhan dan perjuangan dari pemeran utama. Dan aku percaya, bahwa pemeran utama drama ini adalah aku dan Putri binti Kasturi.

 

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

Hari ini aku pulang lebih awal, karena guru-guru mengadakan rapat. Bagaimana bisa mereka yang aku dan semua siswa bayar setiap bulan, mengusir kami dari kelas karena rapat misterius. "Dasar tukang makan-makan" kataku mencibir penuh kekesalan dalam perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah, aku masih menyesali kepulanganku karena pertemuan dengan Putri hari ini kurang maksimal, "semoga kamu tetap kuat menjalani hari ini tanpa aku di sisimu permaisuriku" kataku dengan senyum tipis ala Li Min Ho, mencoba membuat Putri tetap tegar, sambil berbaring di tempat tidur memandang foto Putri dari kejauhan.

Tiba-tiba terdengar bunyi pesan masuk dari HPku, langsung aku ambil dan melihat isi pesan itu. Ternyata dari Saryogi.

"Sini pret, kita latihan di ruang ekskul"

"Aku udah di rumah Yog" balasku

"Latihan ini penting, karena sebentar lagi kita pentas, Putri juga nunggu kamu!" kata Yogi

"Sial, dia jual nama Putri!!" Gumamku dalam hati.

"Atau jangan-jangan putri memang sangat menungguku?"

"Ok otw" kataku membalas pesan Yogi.

"Pret.. ini putri minta dibelikan gorengan"

"Jangankan gorengan Put, mintalah padaku semaumu jelitaku" kataku dalam hati.

"Ok" jawabku singkat

Aku langsung menuju ke warung Mbah Sur sipenjual gorengan paling legend di desaku. Gorengannya selalu hangat, apapun yang kuberikan kepada Putri haruslah sesuatu yang spesial, putri pasti suka gorengan ini.

Belum sempat masuk warung, aku dengar tangisan Tole cucunya yang yatim dan ditinggal ibunya ke Jakarta. Sehingga dia hanya tinggal berdua dengan Mbah Sur neneknya.

"Mbaaahh.. sakiiitt..." Teriak tole dari dalam kamarnya.
"Ya sabar, ini masih jam 11 dokter bukanya jam 4 le. Kamu yang sabar" jawab mbah Sur dari depan rumah sambil melamun bersender di dinding kayu rumahnya menunggu pembeli datang.

"Beli gorengan Mbah" sapaku

"Beli berapa pret..?"

Belum sempat ku jawab pertanyaan Mbah Sur, cucunya kembali berteriak, "Mbaaaaah.... "

"Kenapa si Tole mbah?" Tanyaku penasaran.

"Dari pagi perutnya sakit Pret.. sudah saya kasih minyak angin tapi masih kesakitan, hari ini belum ada pembeli, saya belum punya uang untuk bawa dia ke dokter, " jawab mbah Sur dengan mata berbinar seolah mau meneteskan air mata.

"Oh.. gitu yah Mbah, kebetulan sekolahku mau beli gorengan 200 ribu mbah, ada?" Padahal tadinya cuma mau beli 10 ribu buat teman-teman yang palingan cuma ada 4 orang di ruang ekskul. Hanya saja tidak tega dengan kondisi Tole dan Mbah Sur, mudah-mudahan 200 ribu cukup untuk berobat Tole.

"Alhamdulillah... " Jawab Mbah Sur sambil mengusap pundakku. "Ada pret... ada.. tunggu yah karena banyak agak lama gak papa kan?" Jawab Mbah Sur sambil menahan tangis yang mungkin kalau dilepaskan akan menangis sejadi-jadinya.

"Iya Mbah, ini juga mau saya tinggal dulu sebentar yah Mbah" kataku yang juga sebenarnya sambil menahan tangis haru.

Saya keluar dan kembali kerumah karena harus mengambil uang 200 ribu untuk membayar gorengan. Sampai rumah aku langsung ambil celengan jago dari bahan plastik yang kutaruh di laci tempatku menaruh foto Putri. Kemudian langsung kusembelih jago merah muda malang itu dengan pisau cutter, "bismillah.... maaf jago, kamu harus merelakan impian membangun rumah megah untuk Putri"

Ternyata uangnya 452 ribu lebih dari cukup untuk membayar gorengan 200 ribu. Akupun langsung kembali ke warung Mbah Sur untuk membayar gorengan.

"Sudah Mbah?"

"Sudah pret, dibagi jadi 4 kantong kresek ya.." kata Mbah Sur yang sepertinya masih dalam keadaan menahan tangis.

"Iya Mbah.. ini uangnya sudah saya hitung pas Mbah" kataku yang langsung berusaha pergi karena tidak tega mendengar ucapan terimakasih Mbah Sur yang terbata-bata.

Sampai di sekolah, aku langsung ke ruang TU dan menyuruh pak Komar yang biasa membuatkan minum guru, untuk menyajikan gorengan pada guru-guru yang sedang rapat.

"Pak Komar, tolong ini diantar keruang rapat yah pak"

"Dari siapa pret?" Tanya pak Komar.

"Dari Mbah Sur" jawabku singkat

"Siapa itu Mbah Sur? Tanya pak Komar lagi.

"Yang punya gorengan lah.." jawabku sambil pergi dan menenteng satu kresek sisanya menuju ruang ekskul.

Sampai di ruang ekskul, Yogi langsung menyapaku "kamu memang sahabat terbaik.. sini-sini gorengannya nanti dingin" kata Yogi sambil merangkul pundakku.

"Ini gorengan spesial Yog.. kamu akan sangat menyesal kalau tidak mencicipinya selagi hangat" kataku memamerkan kualitas gorengan sang legend Mbah Sur.

"Mana putri?" Tanyaku pada Yogi.

"Kamu kelamaan pret.. Putri sudah aku antar pulang pake motor" kata Saryogi tanpa beban di pundaknya sambil memakan gorengan.

Seketika pikiranku kosong dengan wajah tersenyum bodoh dan ribuan hewan kuteriakan dalam hati.

Dalam perjalanan pulang aku terus memikirkan kesialan hari ini. Kesialanku bertambah saat motorku mogok karena kehabisan bensin dan harus kutuntun. Bahkan niat baikku pada tole nyaris kuungkit. Angin yang berhembus di pepohonan rindang seolah berbisik.

"kamu bilang aja ke Mbah Sur kalau uangnya lebih 250 ribu, pasti dikembalikan pret" bisik pepohonan yang tertiup angin.

"Gak!!" Teriakku sekeras mungkin dalam hati.
"Uang bukan segalanya, tole sedang kesakitan! Aku memang miskin, tapi aku bukan binatang yang hanya mengandalkan insting untuk bertahan hidup. Aku memang miskin, tapi aku tetap manusia yang masih punya nurani. Bagaimanapun aku tetaplah debu di mata semesta. aku kayapun, aku tetap debu. Aku senangpun, aku tetap debu. Semesta tetap menganggap kita debu jika eksistensi kita sebatas materi. Meskipun hanya debu di mata semesta, aku ingin anak cucuku bangga pada debu yang sangat manusia, aku ingin Putri bangga karena suaminya adalah debu yang sangat manusia" kataku membantah bisikkan pohon-pohon dalam perjalanan pulang.

Dari kejauhan aku lihat putri yang sedang berjalan membawa bingkisan. Aku langsung lari sambil menuntun motor.

"Put.. putri.." kupanggil dia dari belakang.

"Kenapa motormu Prettt?" Tanya Putri.

"Habis bensin, aku habis latihan sama Yogi.." jawabku sambil tersenyum ala Li Min Ho yang sudah ku pelajari di kamar.

"Bukannya besok latihannya?"

"Tapi kata Saryogi kamu juga tadi latihan terus kamu suruh aku datang dan minta dibelikan gorengan, karena aku lama kamu diantar pulang sama Yogi.. dan..." Tanyaku kebingungan

"Gak ada!" Jawab Putri singkat

Seketika aku merasa bahagia dan tidak bisa menahan bibirku yang memaksa tersenyum karena dia tidak diantar pulang sama Yogi si Yahudi picik.

"Terus kamu beli gorengannya?" Tanya Putri.

"Dia pasti menanyakan kesungguhanmu pret! Dia ingin tau apa kamu memenuhi permintaannya" kata otakku yang mencoba merumuskan bersama jawaban paling tepat untuk pertanyaan pancingan Putri.

"Iya.. aku bawakan gorengan" jawabku sambil melirik penasaran bagaimana ekspresi putri.

"Goblok!"

Aku tetap bahagia dibilang 'goblok', karena goblok adalah konsekuensi dari cinta, dan betapa aku ingin dia tahu ke-goblok-an ku padanya.

Sekarang kebusukan Yogi baru saja tercium. Mungkin Yogi menganggapku pecundang, tapi sekarang aku tau kalau dia adalah pecundang yang menganggapku pecundang.

"Kamu mau kemana?" Tanyaku pada Putri.

"Mau menjenguk Tole cucu Mbah Sur, katanya sedang sakit"

Seketika aku langsung melobby Tuhan, "Tuhan.. SekenarioMu sungguh agung, mungkin Mbah Sur bisa ceritakan pada Putri tentang kebaikanku, kelihatannya bolehlah Tuhan bantu pamer kebaikan kalau cuma sama Putri.. hehe, " Doaku dalam hati berharap Tuhan segera membuka tabir kebaikanku pada Putri.

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

Malam Minggu kali ini aku tidak mau berdebat dengan binatang di kamar. Aku harus keluar, setidaknya aku bisa temukan inspirasi baru. Mungkin warung kopi pakMin bisa jadi salah satu solusi alternatif.

Sesampainya di warung kopi pakMin, aku cari tempat duduk yang kosong, cerah dan tidak membuat otakku terintimidasi, karena aku tetap harus memberikan kasih sayang sebisaku pada otak yang mungkin sesekali tidak terpakai ini.

Tempat duduk ini ternyata adalah arena khusu catur. Siapapun yang duduk lebih dulu ditempatku sekarang, bisa dikatakan dia sedang menantang pecatur pakMin.

Tepat di depanku, di meja yang berbeda ada seorang yang tersenyum padaku, dia tidak lain adalah bapak Kasturi, ayah sijelita kembang desa, calon mertua yang belum menyadari bahwa orang didepannya adalah calon menantu idaman.

Bapak Kasturi datang menghampiri dan duduk tepat didepanku. "Kamu tau apa artinya kalau orang duduk disini mas?" Katanya membuka obrolan dengan intonasi misterius. "Tentu Om" jawabku meski sebenarnya aku tidak tau apa maksudnya.

"Baiklah, langsung saja kita mulai" dia langsung mengeluarkan papan catur yang ada di laci meja. Tanpa basa-basi kita langsung membuka dan menata catur.

Seseorang dari meja lain datang dan duduk disamping bapak Kasturi. "Songong sekali bocah ini, berani dia lawan kamu Kas?" Tanya orang itu pada bapak Kasturi. "Aku juga gak tau"

"Kenalan dulu mas, aku Kasturi dan ini Sarjiman. Jadi siapa namamu?" Tanya bapak Kasturi.

"salam kenal.. Kenalin om, saya Kupret dari desa sebelah. saya hitam atau putih nih Om?"

"Kamu penantang, kamu putih lah.."

"Ok siap om, saya juara bertahan lomba catur 17an di RT saya loh om.. heheh" kataku mencairkan suasana.

"Baguslah.." jawabnya singkat.

"Kurang ajar anak ini Kas, dia mau jatuhin mental. Sombong betul champion kelas RT satu ini." Jiman seolah tidak terima, melihat omongannya, jelas dia bakal jadi tukang kompor di pertandingan ini.

"Enggak.., dia gak jatuhin mental, mungkin dia itu pengin tau prestasiku, jadi dia pancing obrolan" jawab bapak Kasturi bijak.

"Buktikan Kas!! Dia harus menyesal duduk ditempat ini, buat malam ini dia gak bisa tidur, kalau perlu sampai nangis kas!!"

"Dia ini kenapa sih, saya dan bapak Kasturi yang main, kenapa dia yang kepanasan.. SarJINGAN memang onrang ini." Kataku dalam hati.

"Kamu tau mas, Kasturi kalau sudah didepan papan catur dia berubah jadi Kasturi the Animal" kata Sarjiman yang aku tidak tau apa maksudnya.

Sebenarnya saya mau tertawa mendengar gelar yang disandang bapak Kasturi, tapi saya harus tetap tenang, jangan sampai terkesan menghina. "The Animal?? Kamu kira 'Pepe the Animal' saya kasih tau man! Itu bukan gelar untuk prestasi.. " kumaki si tukang kompor dalam hati sambil menahan tawa.

"Itu dulu man, jadi gini mas, dulu waktu saya masih muda saya sering catur, dan strategi saya kalau ada kesempatan yang penting makan, beruntungnya saya selalu menang, dari situ orang-orang menjuluki The Animal." Jelas bapak Kasturi.

Suasana permainan berubah menjadi sangat mencekam, Kasturi memakan kudaku gratis. Pergerakan saya menjadi kacau. "Mereka sedang mempermainkanmu pret, jangan mudah terpancing!!" kataku dalam hati.

Menyadari serangan mental mereka, saya berusaha counter attack. Mereka harus tau kalau kupret benar-benar the Champion bukan anak kemarin sore. "Skak Om, kalau salah langkah, akan sangat fatal, sebaiknya berhati-hati Om." Kataku.

"Apanya yang fatal?, Itu skak tidak berguna Kas.." Sarjiman seolah tidak rela kalau saya berusaha bangkit dan menyerang mental bapak Kasturi.

"Saya punya cita-cita, suatu saat menantu saya harus pecatur handal" kata Kasturi dengan ekspresi kepala mendongak namun mata melirik sinis padaku, seolah dia menantangku dengan mempertaruhkan Putri anaknya.

Saya heran setiap Kasturi berkata entah apapun itu, pasti mempengaruhi permainanku. Bagaimana tidak, aku langsung berfikir calon suami putri. Bercerita masa depan putri, berarti bercerita masa depanku juga. Mungkin dia memang the Animal, permainan mentalnya begitu liar dan buas.

"Sepertinya om masih belum berhati-hati, kudaku memang sengaja saya serahkan, seeeekak" kataku sambil skak benteng.

"Ini dia, kekecewaan Hillary Clinton disebabkan karena euforia kemenangan dirayakan sebelum penetapan" kata bapak Kasturi, Sambil menutup rajanya.

"Yahudi habis tak berbekas di Jerman era Nazi, karena pressure tanpa henti" kataku sambil memakan benteng bapak Kasturi.

"Begitu yah.. baiklah.." jawab bapak Kasturi santai.

Tiba-tiba disampingku ada Putri, "pak, cepat pulang ada tamu" kata putri sambil berdiri, "iya sebentar.. kamu duduk dulu disini, kita pulang bareng"

"Eh.. kamu pret.. kamu bisa main catur?" Tanya Putri padaku.

"Bisa lah.. menantu bapak Kasturi harus master catur, masa kamu tidak tau itu?" Jawabku dalam hati.

"Dia bilang juara catur RT Put" kata Sarjiman sinis.

"Owhh.. ya, bisa jadi.. anak muda di RT kupret rata-rata merantau, mungkin dia melawan sisanya, prmuda cupu" kata putri.

Mendengar pernyataan Putri para penonton khususnya Sarjiman tertawa lebar. Saya benar-benar merasa bertanding di kandang lawan.

Tidak mau kalah dari The Animal, saya terus gencar menyerang psikis agar permainannya buyar. "Oh iya Put, waktu kamu pingsan disekolah kamu gak papa?" Pertanyaanku seolah 'skak star', (pertama saya dianggap perhatian. disisi lain, Kasturi pasti akan khawatir anak semata wayangnya mengalami musibah, dan permainannya pasti buyar)

"Kamu kira Putri belum cerita? Dia ditolong dan ditunggu Saryogi, serangan mentalmu bagus, mas, tapi asam manis garam sudah saya cicipi. Sekeras apapun kamu berusaha, bidakmu cuma tinggal star dan benteng, akan sangat sulit untuk menang"

"Saryogi?? Siborjuis rambut klimis?? Kanapa dia yang menolong dan menunggu putri??" Tanyaku dalam hati. "Ngapain kamu pikirin itu pret?? Dia tau kalau kamu suka putri, dan dia pancing emosi kami!! Kamu larut di sekenario The Animal" permainanku hancur lebur karena pikiranku dibuyarkan dengan mudah.

"Memang Animal orang ini" kataku dalam hati.

"Baiklah om.. saya menyerah om"

"Kamu tau pret?, Bapak ku tidak pernah kalah sejak umur 10 tahun"

"Oh yahh.. Memang luar biasa Put, mungkin saya harus banyak belajar dari bapakmu"

Aku sama sekali tidak kecewa dengan kekalahanku, setidaknya saya tau bagaimana permainan bapak Kasturi. Meski orang-orang disampingnya sangat menggangu dan merendahkanku, malam ini benar-benar berkesan.

Sisi baiknya adalah, Putri menurut untuk menunggu bapaknya dan ikut duduk bersama. Ini adalah momen terhangat bersama Putri binti Kasturi. Sebuah romansa malam Minggu yang epic. Tuhan memang maha romantis, saya ditakdirkan malam Minggu kali ini dipertemukan dengan Putri. Terimakasih Tuhan.

Selagi para pecatur menertawai kebodohanku, Aku tetap tersenyum, memandang putri yang berlalu bersama bapaknya dari warung kopi pakMin.

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

"Pak Kiai, kemarin saya melihat video, ada orang dengan bangga mengatakan "saya tidak tau syariat Islam" saya sangat marah pak Kiai, marah karena keilmuan Islam seolah berada pada level yang tidak lagi penting. Orang itu berkata dengan sangat bangga "saya tidak tau syariat Islam". Orang itu merasa bangga karena dia mengetahui sesuatu yang dia pikir lebih berarti dari pada pengetahuan tentang agamanya."

"Pak Kiai, apakah mempelajari agama memang tidak penting?!! Jadi yang saya dan Putri binti Kasturi lakukan setiap Minggu, datang jauh-jauh dengan sampan kesini untuk pengajian adalah sia-sia??" Tanyaku dengan nada marah.

"Saya sangat marah ketika agamaku dikikis pelan-pelan substansinya, pak Kiai. Karena saya merasa kalimat "saya tidak tau syariat Islam" yang diucapkan dengan bangga membuat orang awam berfikir bahwa, tidak mempelajari syariat Islam memang hal yang lumrah. Jika pemahaman ini terus berkembang, bagaimana agama yang saya cintai ini bisa bertahan sampai anak cucu kita?"

"Saya tidak mau agama sebagai pembenah perilaku manusia dilucuti, mungkin kesannya menghancurkan Islam, tapi secara tidak sadar hampir semua Agama akan terdampak. Akan banyak orang yang beranggapan bahwa manusia tidak harus beragama untuk hidup sentosa. Baik dengan alunan kidung, tarian, atau kata-kata indah lainnya sebagai legitimasi ketidak peduliannya pada agama."

"Saya sangat marah pak Kiai, apa yang harus kita lakukan sebagai orang Islam?" Berondongan pertanyaan saya seolah tidak mau berhenti, orang paling paham Islam di desa saya harus benar-benar tau kalau situasi ini sangat genting.

Pertanyaan-pertanyaan itu saya sampaikan ketika sowan (datang ketempat Kiai) sehari setelah melihat video fenomenal puisi yang mengatakan "saya tidak tau syariat Islam". Pertanyaan saya pada pak Kiai di rumah beliau memang sudah saya susun. Saya harus benar-benar bertindak, setidaknya tindakan saya berangkat dari orang yang benar-benar paham agama, yakni Kiai Fajar Abdul Ghoni (Jarkoni).

Baca juga: Ngaji pada Kiai Fajar Abdul Ghoni

"Kupret!!! Kenapa kamu datang langsung marah-marah sama saya" bentak Kiai

"Maaf pak Kiai, saya sangat tersinggung karena seolah-olah agama saya sedang direndahkan"

"Orang baru seolah-olah kok kamu kebakaran jenggot!!! Memangnya kamu sendiri sudah tau syariat Islam pretttt??" pak Kiai justru balik bertanya.

"Ya saya mengaji sama pak Kiai, jelas saya tau"

"Lho... Saya sendiri belum yakin kalau saya benar-benar mengetahui syariat Islam. Bagaimana kamu bisa yakin kalau kamu tau betul syariat Islam??"

Sontak saya marah juga sama Kiai Jarkoni. "Lho.. pak Kiai ini bagaimana?, jadi betul pak Kyai itu memang Jarkoni (baca: ngajar tapi gak melakoni)!!!"

"Maksudmu saya ngajari tapi gak melakoni??. Melakoni atau tidak kan urusan saya sama tuhan prett... Urusanmu apa?"

Kiai Jarkoni lanjut menjelaskan, "Jadi begini kupret! Saya dulu ngaji sama Kiai, Kiai saya ngaji sama Kiainya lagi dan begitu seterusnya yang insyaallah sampai pada Nabi Muhammad. Saya tidak langsung mengetahui cara solat, zakat puasa dan amalan ubudiyah lainnya dari nabi. Jadi, bagaimana saya tau kalau yang saya lakukan itu benar?, Bagaimana saya tau kalau saya memang benar-benar mengetahui syariat yang Nabi ajarkan?"

Saya menjadi lebih bingung dari pada sebelumnya, "bagaimana bisa Agama yang saya gandrungi ternyata sangat rancu?, bagaimana bisa orang seperti ini disebut Kiai, dasar Jarkoni!!" Gumamku dalam hati.

"Terus bagaimana dengan ibadah ku selama ini??!!! Terus bagaimana status agama kita pak Kiai?!!" Saya terus mendesak pak Kiai untuk memberi jawaban yang memuaskan.

"Kupret!! Kamu ngaji dulu yang rajin, enak saja pengin tau pertanyaan yang rumit dengan satu jawaban!! Kamu kira Kiai saya dulu paham ilmu agama dengan satu pertanyaan??."

Kiai Jarkoni kemudian melanjutkan, "Kebenaran syariat mutlak hak prerogatif Tuhan. Tapi yang jelas begini Prettt, saya belajar sama Kiai yang memang 'alim, pengetahuan Islamnya bukan didapat dengan cara menonton YouTube atau cara instan lainnya. Beliau sangat paham keilmuan agama, beliau sangat yakin kalau Al-Qur'an masih terjaga kebenarannya sampai sekarang, begitu juga Hadits-hadits shahih nabi, saya pun meyakini itu. Saya sangat percaya Tuhan tetap akan menjaga hambanya, selama hambanya benar-benar serius mencintai Tuhannya. Bagaimana Tuhan tau kalau hambanya benar-benar mencintai-Nya? Tentu dengan keseriusan menyembah yang bukan dengan cara membabi-buta, tetapi dengan ilmu yang dipelajari dari Al-Qur'an dan Al-hadits. Dan penjaga keilmuan tuhan adalah mereka para alim ulama. Keseriusan saya mempelajari agama dan mengamalkannya adalah bukti cinta saya pada Tuhan. Yang lebih penting adalah, saya sangat percaya bahwa cinta saya pada Tuhan sampai tanpa kurang suatu apapun. Tidak seperti cintamu sama Putri binti Kasturi."

Baca juga: Perjumpaan dengan Putri binti Kasturi

"Saya tidak mengatakan mempelajari agama tidak penting prett.. mempelajari agama itu wajib!!! Tapi apakah klaim pengetahuan tentang syariat itu masih penting?" Lanjut Kiai Jarkoni.

Saya sudah mulai tercerahkan, "meskipun njengkelin, mungkin orang ini memang Kiai" gumamku, namun tidak sengaja kata-kata itu keluar dari mulutku.

"Apa maksudmu 'orang ini' kurangajar kamu Kupret..!!!" Bentak Kiai

"Maaf maksud saya, o.o.orang yang di video.."

"Permisi pak Kiai, Assalamualaikum."

 

 

 

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
5 tahun yang lalu

Seperti biasa, hari Sabtu sangat membuat lelah. Bagaimana tidak, saya harus berlatih Pramuka setelah otak dipaksa menghitung angka tanpa tulisan (Rp) di depannya. Kepenatan otak yang dijejali angka-angka fiktif, kemudian dipaksa terbakar matahari karena latihan Pramuka. Bayangkan betapa angka-angka itu matang di kepalaku, mudah-mudahan tidak gosong dan lenyap menjadi abu yang menyumbat jaringan syaraf memori, karena sekecil dan seburuk apapun otak, saya masih membutuhkannya suatu saat, mungkin.

Latihan Pramuka selesai jam 16.00. Akhirnya neraka ini ada ujungnya, seperti kata kiyai Jarkoni "jika kamu beriman neraka tidak akan selamanya membakar mu". Aku sangat mengimani pertemuanku dengan Putri binti Kasturi seusai Pramuka. Keyakinanku untuk bertemu membuat Garis takdir Tuhan tidak mungkin meleset. Dialah Putri binti Kasturi, duduk diatas sound ruang ekskul musik, mengipasi keringat tipis yang keluar dari pipi chubby-nya, tersenyum saat melihatku membuka pintu ruangan yang lurus dengan posisi duduk-nya.

Cewe yang memakai baju Pramuka nilai kecantikan-nya bertambah sekitar 10%, tersenyum tambah 5%, berkeringat tipis 1%, dan mengayunkan kipas (meskipun dari topi Pramuka) bertambah 5%. Sehingga total kecantikan Putri yang basic sudah memiliki sekitar 82%, sekarang prosentase kecantikan-nya menjadi 103%. "Anak-anak ku akan sangat bangga pada ibunya." Gumamku.

"Pintu saya buka yaah.." tanyaku basa-basi pada Putri.

"Ini bukan rumahku Prettt, gak usah tanyakan itu, buka tinggal buka saja, bawa pulanng-pun aku gak peduli.." kata putri sambil melirik antagonis. Sepertinya dia sangat ingin mengenalku lebih jauh, pancingan sesuatu kepemilikan (rumah) -nya jelas dia berharap kalau aku perlu mengetahui rumahnya.

"Ok terimakasih, jadi dimana rumahmu?" Tanyaku.

"Mau apa?? Ngapain tanya-tanya rumahku" jawabnya lagi. Seolah mempertegas keseriusanku untuk mengetahui letak rumah-nya. Aku tidak mau terpancing karena itu, jawabanku harus diplomatis, dia tidak boleh tau kalau aku sangat ingin dia menunjukan letak rumahnya yang sebenarnya saya dengan kemampuan intelegens diatas rata-rata sudah mengetahuinya.

"Jelas lah Put.. suatu saat ada orang tersesat dan menanyakan rumah bapak Kasturi??, keluargaku menjual udang yang semakin banyak kenalan semakin mungkin sukses marketingnya??, atau yang paling mungkin jika ada surat dari sekolah yang harus lewat aku..??? Banyak sekali alasan put.."

"Orang yang tersesat akan langsung telpon bapak saya. aku benci udang, bapak juga punya alergi, dan tepat disebelah rumahku juga penjual udang, strategi marketingmu akan gagal total. Saryogi lebih mungkin dititipi surat sekolah, kalau bukan dia maka bapak Sarjohan adalah teman dekat ayah." Argumentasiku dengan mudah ia patahkan, seperti kata Obama "wanita bertangan besi (Michelle Obama) lah orang dibalik kesuksesanku". jelas putri ingin menunjukan betapa layaknya dia untuk menjadi wanita bertangan besi dibalik kesuksesanku kelak. Kali ini aku menyerah dan langsung mengapresiasi-nya, sebagai bentuk kebanggaanku padanya.

"Oke... Luar biasa, kamu memang benar put.., tapi sepertinya aku tetap harus tau rumahmu lah.. "

"Sangat susah untuk dijelaskan Prettt..., lebih mudah share loc" jawab putri. Aku semakin yakin kalau dia tetap ingin berbincang denganku, bahkan setelah sampai rumah. Share loc adalah modus putri untuk dapat nomor HPku. Betapapun liciknya putri tetap aku hargai, akan ku berikan nomorku jika dia memang begitu menginginkannya.

"Baiklah, ini nomorku 08..."

"Ngapain kamu sebutin nomor? Ini scan barcode HPku!"
Ternyata barcode itu bukan nomor HP melainkan barcode google map. "Kalau kita gak bertukar nomor HP sekarang terus bagaimana kita berkomunikasi sepulang sekolah?" Tanyaku dalam hati.

"Kirain kamu mau share loc WA.. heheh" tanyaku pura-pura malu.
"Ok, share loc WA" jawabnya. HPku tiba-tiba bunyi dan dapat pesan map di WA. "Kok dia tau nomerku?, Atau jangan-jangan dia memata-matai ku, dan dia juga tau kalau aku memata-matai dia. Atau, dia memata-matai ku waktu aku memata-matai dia. Dan sekarang sepertinya aku memata-matai dia yang sedang memata-matai ku yang memata-matai dia." Gumamku dalam kebingungan.

"Kok kamu tau nomerku?" Tanyaku padanya mengakhiri misteri kepemilikan nomor HPku.

"Kita satu grup WA kelas prett.. nomormu ada didalamnya dan udah ku save." Jawabnya.

"Owhh.. iya Iyah.. ok kalau gitu aku save ya nomermu".

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
1 tahun yang lalu

Libur Natal telah tiba. Saya berubah menjadi pembenci hari libur. Tentu saja karena ada masa depan yang melayang-layang dan harus saya tangkap di sekolah.

Masa depan itu bukan tentang karir atau obrolan kepandaian mencari uang. Masa depan yang saya cari adalah kebahagiaan yang tak terdeposito di bank, karena kebahagiaan saya berupa rasa puas dan bangga saat mampu mbahagiakan Putri binti Kasturi.

Liburan ini sangat menyesakkan. Dari pagi sampai entah matahari kini berusia berapa, tidak ada yang saya lakukan, hanya bisa menggeliat ke kanan dan ke kiri seperti ular yang baru makan tikus. Lebih parahnya, saya tidak bisa melihat keagungan tuhan di wajah putri.

Semoga saja putri punya inisiatif untuk mencurahkan kerinduannya. Karena saya takut kerinduan putri mulai menggelembung dan menghambatnya beraktivitas.

"Tapi apa yang sekarang bisa saya lakukan?" Gumamku dalam hati. "Oh iya, saya siapkan puisi saja untuk pertemuan setelah libur panjang" jawabku tanpa berfikir jernih, hanya kegilaan yang menuntun karena tak punya solusi.

Ehm,.... Tes satu dua. Apa yah... Ehm.
Putri
Wanitaku titipan semesta
Bidadari nyata yang tersisa
Mawar merah tak berduri
Purnama tak berbintang

Apa lagi yah? Hmm... Ternyata membuat puisi tidak segampang membuat tugas pak Johan. Mungkin karena liburan ini terlalu panjang, wajah dan pesona putri berhenti di imajinasi saya yang terkapar di tempat tidur.

Sambil melamun memandang foto putri di atas meja dan barisan semut di depannya yang bergotong royong memikul sisa makanan saya di piring yang tidak dicuci karena kepedulian saya pada semut, saya terus mencari diksi sambil memetik gitar bernuansa minor.

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar pagiku tak seterang siang
Agar senjaku tak segelap malam

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar terisi perutku dengan makanan
Agar terisi paru-paruku dengan udara

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar tetap terbuka mataku tanpa binar
Agar tetap terdengar bising kegaduhan semesta

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar tanah masih bisa kuinjak
Agar langit masih bisa kutatap

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar tersisa untuk kau simpan
Agar masih harus kau curahkan

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Agar kelak kita duduk bersama
Agar kelak kugandeng anak-anak kita

Sampaikan kerinduanmu padaku secukupnya
Hingga saat nafasku mulai terbata
Dengan kerinduan sepenuh hati kau meng-eja.

Saya masih terus memetik gitar dengan mata terpejam dalam, berfikir keras untuk titik klimaks dari puisi ini. Saya eratkan pejaman mata, namun tetap tidak bisa menemukan kata-kata lagi. Akhirnya saya ulang bait terakhir dengan petikan pelan dan intonasi yang sok keending-endingan.

Sampai saat nafasku mulai terbata, dengan sepenuh hati kau rela di sampingku untuk meng-eja.

Jereeeeeeeeng...

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
1 tahun yang lalu

Sore di pertengahan bulan Desember, tampak dua binatang yang terlihat lelah karna seharian memainkan perananya.

Tepatnya di tepi danau di lereng perbukitan. Anginnya yang menyejukan, begitu tenang dan mesra.. Binatang itu tak lain adalah Anjing dan Babi hutan yang berteman.

kala itu, saya duduk diatas sampan menatap danau sambil merangkai diksi yang presisi untuk puisi tentang Putri binti Kasturi, jelitaku yang masih liar.

Lagi-lagi, gonggongan mereka mengacaukan konsentrasi saya. Entah kenapa tiba-tiba obrolan mereka bisa saya pahami. Seketika saya mengintip dibalik semak-semak.

Mereka berdua terlihat bersantai sambil merebahkan tubuh, dengan posisi terentang dan siku dari kaki mereka masing-masing menjadi alas kepala yang menengadah ke langit. Sesekali mereka menyilangkan kakinya dan menggoyangnya kekanan dan kekiri.. Mereka terlihat akrab dengan obrolannya yang keras dan menggangu. Dasar binatang.

A : Bi, pernahkah kamu merenung dan berfikir, “kenapa saya tidak di lahirkan sebagai Anjing saja?” kamu tau, ada banyak kebahagiaan yang bisa kamu peroleh jika kamu menjadi Anjing. baik dengan sesama Anjing, binatang lain, maupun dengan manusia.

B : Hmmm.. Binatang lain! Biatang apa yang kamu maksud Njing!
Jawab babi sinis sembari mengerutkan dahi.

A : Ya.. Menurut sepengetahuanku yang kurang lebih cukuplah, untuk mengetahui dan membedakan mana spesiesku dan mana binatang lain. Ya kamu itu termasuk binatang lain yang saya maksud Bi.

B : Hmm.. Jadi pengetahuanku lebih kurang dan tidak cukup untuk tau kalau kamu itu memang Anjing!
Bentak Babi dengan nada emosi.

A : Hahaha... Tidak Bi, saya tidak bermaksud begitu, tapi kamu lihatlah, manusia selalu berusaha membahagiakanku, karena apa? Karena aku adalah Anjing.

B : Hmmm... Terus, manusia seperti apa yang mau membahagiakanmu!

A : Bi, kebanyakan dari kami, makan dari pemberian mereka. Apakah itu sebuah kejahatan?

B : Hmmm.. Tulang-tulang itu sampah Njing! Mereka memakan bagian yang lebih baik!

A : Hahah... Hahah.. Sepertinya kamu mulai iri.
Anjing hanya tertawa lebar, menanggapi pandangan Babi tenteng manusia. Namun dibalik tertawanya, Anjing mulai berpikir dan merenungkan perkataan Babi yang dia rasa ada benarnya juga..

B : Hmmmm.. Terserah saja..
Gumam Babi di sela tawaan Anjing..

A : Menurutku, bahagia bukan tentang bagian mana yang kita dapat. Jika kita menikmatinya, lalu menerimanya dengan hati yang lapang dan tanpa ada kecemburuan. Maka kebahagiaan itu akan terasa percayalah..

B : Hmm.. Ya aku tau itu, tapi Kalau kamu pikir mereka baik! Kenapa mereka menyebut spesiesmu ketika mereka mengekspresikan kemarahan dan umpatan! Jelas itu penghinaan Njing!

A : Bi, sadar atau tidak, kami adalah kekuatan untuk kesetabilan mereka. Contoh, ketika mereka menginginkan keadilan atau melakukan revolusi atau apalah yang memerlukan keberanian ekstra, tentu tidak sedikit semangat yang terbakar ketika manusia menyuarakan spesies kami dengan lantang. Terkadang, kami juga menjadi pembenah prilaku manusia yang di anggap amoral oleh manusia lain. Jadi, sejauh ini saya tidak menganggap itu penghinaan Bi.

B : Hmmm.. Semoga kamu tidak membohongi dirimu sendiri, karna itu terlihat lebih baik. Tapi memangnya menurutmu Babi tidak lebih baik dari Anjing, dan kami tidak memiliki kebahagiaan!

A : Hahah.. Tidak juga bi, tapi kmu selalu terlihat murung dan nada bicaramu selalu penuh emosi. Jadi, saya pikir kamu sedikit kesulitan untuk sekedar merasa bahagia.

B : Njing, kami adalah jiwa-jiwa petarung, kehidupan kami keras. Kami berkubang di lumpur, berlari, berkeringat dan berdarah. Itulah kami, kebahagiaan kami, yang tentu tidak pernah kamu miliki bukan. Kami lebih memilih bertarung dan berjuang dari pada sekedar menunggu makanan datang, itulah kebahagiaan kami. Kebahagian tidak selalu yang kita lihat nyaman. Rasa lelah setelah kita melakukan sesuatu juga kebahagiaan yang saya kira jauh lebih terasa membanggakan, dibanding sekedar berdiam diri dalam kenyamanan.
Tercengang si anjing mendengar itu dari mulut Babi hutan yang berusaha mengucapkannya dengan ekspresi bahagia. Namun matanya tetap terbelalak dan raut muka yang jauh dari kata ramah. Anjingpun menoleh kekanan dan menatap sibabi dengan senyum kecil karna merasa senang dan bangga akan jawaban temannya, sambil berkata lirih. "Dasar Babi!"..

Setelah mereka cukup puas mengetahui kebahagiaan "aneh" masing-masing, mereka mulai beranjak dan berlahan berdiri, karna senja mulai pudar terhapus langit malam dari timur.

Dalam perjalanan pulang, Anjing tampak terus memikirkan perkataan Babi tentang buruknya sifat manusia terhadap binatang, khususnya Anjing. Dengan kepala yang terus merunduk, layaknya orang yang sedang prustasi begitu dalam. Iya tetap berjalan di bawah sisa-sisa mega senja menyisiri danau.

Tiba-tiba saya terbangun dan ternyata itu cuma mimpi.

Kholid al Afghani Kholid al Afghani
1 tahun yang lalu

Pada suatu malam Minggu......,

Tepat pukul 11:00, saya masih terjaga, melamun di atas tempat tidur, memikirkan putri binti kasturi.

Saya merasa telah mengecewakan jutaan bintang karena tidak bisa mengajak putri malam mingguan, duduk di alun-alun, melihat bintang  di atas danau, atau bercanda unfaedah yang umumnya dilakukan sepasang kekasih kelas teri.

Sebagai filsuf musiman (baca:  setiap malam Minggu), saya biarkan imajinasi tentang putri mencumbu pikiranku, mencari kebenaran di atas khayalan. Saya anggap putri menemani setiap detik malam Minggu ini, berbincang dan saling mencurahkan kerinduan, meski hanya sebatas di alam pikiran.

Sesekali obrolanku dengan putri dalam hati, tidak sengaja keluar dari mulut, terdengar lantang di setiap sudut kamar. Tentu saja saya keceplosan karena terlalu bersemangat menjawab berondongan pertanyaan dari putri, karena kerinduan-nya yang tidak bisa tercurahkan.

"Jelas saya merindukan mu jelitaku, jika saya menuruti rasa rindu untuk bertemu dan mengajak kamu pergi malam ini, saya takut bapak kasturi menilai saya bukan cowok baik baik, " jawaban saya kepada putri yang menanyakan "apakah kamu rindu kepadaku?"

Saya mengatakannya dengan keras dan ekspresi wajah tersenyum serius ala drama Korea. Tanpa disadari, kata-kata itu terdengar di setiap sudut kamar yang di desain seperti barak pengungsian ini. Tentu saja jawaban itu juga didengar oleh setiap binatang di kamar.

Kamar saya memang cukup ramah lingkungan. Ekosistem bagi binatang borjuis yang mampu bertahan hidup di berbagai situasi dan kondisi alam. Setidaknya tidak seperti dihutan, yang setiap detiknya selalu bising dengan deru mesin-mesin pembangunan dan lama kelamaan menggusur tempat tinggal mereka. Di kamar saya, Meskipun terkadang mereka tersiksa oleh suara tangis saya waktu nonton drama Korea, tapi mereka benar-benar merdeka secara defacto.

Salah satu binatang yang mendengar percakapan saya dengan putri adalah Jangkrik. Dengan lantang jangkrik memaki dan berkata "woi edan! Sekarang jam berapa? Tidur!!"

Sontak saya kaget dan mencari sumber suara melengking mirip suara pak Johan.. "hah, siapa?"

"Edan!! ini saya Jaliteng jangkrik hitam!! Didepan foto cewek yang kamu gunting dari foto bersama ekskul musik!!" Kata jangkrik sambil metenteng.

S: bardiman!! Darimana kamu tau, kalau saya mendapatkan foto putri dari menggunting?

J: saya Jaliteng bukan bardiman!! Jelas saya tau, spesies saya penghuni disini sejak nenek moyang angkatan ke 12, apapun yang kamu lakukan saya tau. Bahkan saat saya belum lahir, ayah hingga nenek saya menceritakan detail apa saja yang kamu lakukan disini. Ini tradisi keluarga, saya juga akan menceritakannya ke anak cucu saya!!

S: bardiman itu plesetan dari bajingan!! Negara ini sedang trend plesetan. Makanya ikutin trend, jangan hanya dikamar saja!!!. Oo.., jadi selain binatang berisik, kamu juga penggunjing, dan suka mengintip? Memang bardiman betul kamu!

J: kalau penggunjing dan berisik iya, lalu kenapa?

S: Ternyata betul pepatah "jangan jadi seperti jangkrik, binatang berisik yang jika berkumpul hanya menghasilkan permusuhan. Jadilah lebah, binatang yang jika berkumpul bisa menghasilkan madu yang bermanfaat"..

J: Kalian manusia ini memang tidak ada syukurnya! Kalian adalah makhluk sempurna, bisa berjalan dengan dua kaki, makan dengan tangan, menulis di Pewarta Nusantara, sampai menggunting foto bersama untuk disimpan sendiri dan diletakan di atas meja.. -_-  loser.. Seperti itu masih ingin jadi lebah? Jika kamu jangkrik atau lebah, Lalu kamu menggunting foto anak kasturi dengan cara apa prett?

S: bardimannnn!!! Ternyata memang benar pepatah itu, bertemu jangkrik hanya menghasilkan permusuhan..

J: Ok, kamu benar, setidaknya saya berani mengakui kesalahan. Sedangkan kamu pret? edan, tidak bersyukur, tidak tau diri, kata-kata yang keluar unfaedah, bahkan suara saya yang kamu bilang berisik lebih bermakna dari apa yang keluar dari mulutmu, bardiman.. bardijan.. atau siapapun itu,  jelas itu adalah umpatan. Seberapa halus pun kamu memelesetkannya, mereka tetap tidak pantas mendapatkan posisi sebagai ungkapan kebusukan hatimu prett!!

S: oke.. oke.., fine.., saya akui, saya adalah semua itu, saya berhati busuk! Apa ruginya tuduhan yang sangat perspektif, apalagi hanya dari jangkrik. Karena orang yang ada di foto itu tidak mungkin pernah berfikir seperti kamu. Dan itu yang terpenting krik!

J: -_- looooooooser.

S: apa maksudmu? Hmm.. kamu iri sama saya? Ya, memang manusia punya cinta untuk menciptakan kebahagiaan. Tentu saja kamu tidak memilikinya bukan??? 😛

J: saya heran, sifat pengecut saja kamu banggakan??? Lalu kamu pikir jangkrik tidak memiliki cinta prett? Terus didasari dari jalinan apa saya dilahirkan pret!! Apa orang tua dan nenek saya bertengkar untuk memadu kasih mereka? Apa mereka memukul satu sama lain untuk saling kenal dan saling menjaga? Lalu bagaimana cara mereka melestarikan spesiesnya jika yang mereka lakukan adalah permusuhan dan kehancuran? Seharusnya mereka punah prett!! Tapi tidak kan? Itu bukti bahwa kami juga memiliki cinta dan kasih sayang. Dan yang terpenting spesiesku tidak pengecut untuk sekedar mengungkapkan cinta.., 😛

S: proses jangkriiiik!!!

J: ya sudah terserah saja!!! tapi tolong, sekarang sudah hampir lewat tengah malam, sudahi monolog bodohmu!! Banyak kehidupan lain disini, hargai mereka prett!! Saya juga mau malam mingguan, tolong jangan diganggu!!.

Yang jadi pertanyaan kamar ini milik saya atau mereka?
"jiiaangkrik!!"

Singkat cerita..
Jangkrik itu melompat dan entah pergi kemana. Dan saya melanjutkan ngobrol sama putri di alam pikiran.