Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Kholis Azizi

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara
Kholis Azizi adalah penulis di Pewarta Nusantara
Kholis Azizi Kholis Azizi
5 tahun yang lalu

Globalisasi telah mendorong lahirnya sebuah era baru yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Fenomena perkembangan ini menjadi massif di seluruh belahan dunia, terlebih setelah berkembangnya jaringan internet (internetwork). Perkembangan teknologi informasi maupun dunia digital yang didukung oleh internet, telah menciptakan cyber-space atau sebuah ‘dunia baru’ yang bersifat artifisial. Adapun era perkembangan ini disebut juga dengan era revolusi industri 4.0. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan dunia digital, dampaknya telah mengakibatkan transformasi sosial yang diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat, generasi milenial serta nilai-nilai yang ada secara global.

Kemajuan Teknologi Informasi dan Revolusi Industri 4.0.

Saat ini dunia memasuki era baru yang dilengkapi dengan tingkat kemajuan teknologi informasi dan digital yang tinggi. Salah satu temuan yang memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan informasi adalah jaringan internet (internetwork). Perkembangan teknologi informasi pada era revolusi industri 4.0. telah menciptakan ‘ruang baru’ yang bersifat artifisial, yaitu cyber-space. Dewasa ini cyber-sapce telah mengalihkan berbagai bentuk aktivitas yang dilakukan manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, spiritual dan seksual) di ‘dunia nyata’ ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga hampir segala aktivitas manusia dapat dilakukan ke dalam bentuk dimensi virtual dan artifisialnya di dalam cyber-space.

Realitas kehidupan yang berkaitan dengan sosial-budaya pada ‘dunia nyata’ kini mendapatkan saingannya. Kemajuan teknologi informasi telah menciptakan cyber-space yang terbentuk oleh jaringan-jaringan komputer dan informasi, sehingga dapat menawarkan bentuk ‘komunitas’ sendiri (virtual community), ‘realitas’ sendiri (virtual reality) dan ‘ruang’ sendiri (cyberspace).

Hemat penulis kehidupan manusia telah mengalami migrasi dari aktivitas konvensional menuju aktivitas kehidupan di ruang maya. Migrasi humanitas yang terjadi, menimbulkan dampak besar terhadap sosial masyarakat terlebih pada nilai-nilai, relasi-relasi sosial serta pemaknaan dalam menjalani kehidupan.

Era revolusi industri 4.0. muncul ditengah era desruptif menjadi warna tersendiri. Industri 4.0. menurut otto hermann (Design Principles for Industry 4.0 Scenarious: 2016) adalah nama tren otomasi dan pertukaran dataa terkini dalam teknologi pabrik, istilah ini mencangkup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan dan komputasi kognitif. Setidaknya ada empat prinsip dalam industri 4.0, yaitu: Pertama, interoprabilitas (kesesuaian) atau kemampuan dalam berkomunikasi dengan satu sama lain dengan media internet. Kedua, transparansi informasi yaitu kemampuan sistem informasi dalam menciptakan salinan data kedalam bentuk virtual. Ketiga, bantuan teknis yaitu kemampuan sistem dalam membantu manusia dengan mengumpulkan serta mem-visualisasikan informasi. Keempat, keputusan mandiri yaitu, kemampuan sistem dalam membuat keputusan serta melakukan tugas dengan mandiri.

Cyberspace dan Transformasi Sosial

Awalan cyber adalah awalan yang dipakai untuk hampir segala hal yang melibatkan komunikasi melalui sistem komputasi. Cyber-space adalah tempat maya di mana komunikasi terjadi. Istilah cyber-space diperkenalkan oleh novelis sains-fiksi William Gibson dalam bukunya yang berjudul Neuromancer. Pada saat itu, tahun 1984 dia melihat semacam integrasi antara komputer dan manusia. Jelasnya, cyber-space merupakan ‘ruang imajiner’ yang melibatkan semua kegiatan sosial dalam kehidupan dengan cara artifisial, yaitu mengandalkan peran serta fungsi kemajuan teknologi informasi melalui sistem komputasi. Sehingga hampir segala kegiatan seperti; berdebat, diskusi, kritik, protes, bermesraan serta bercinta dapat dilakukan di dalamnya.

Dewasa ini cyber-space telah mempengaruhi norma-norma, cara-cara dan perilaku dalam kehidupan sosial serta menimbulkan transformasi sosial yang cukup signifikan. Sehingga kondisi tersebut dapat menggiring pada persoalan yang lebih parah, yaitu ‘kematian sosial’ (Death of the social) yang meliputi tiga tingkat persoalan; individu, antar - individu dan komunitas.

Pertama, tingkat individu yang mencangkup konsep diri (self) dan identitas diri (self identity). Cyber-space telah membuka ruang yang sangat lebar bagi setiap individu untuk menciptakan konsep diri dan identitas tak terbatas. Kondisi seperti ini menjadikan konsep diri dan identitas menjadi tanpa makna. Sehingga, hakikat konsep diri dan identitas menjadi tidak ada, serta menimbulkan masalah yang berkaitan dengan krisis identitas. Kedua, interaksi antar individu. Cyber-space menciptakan ruang yang penuh dengan rekayasa, kepalsuan dan semu, maka hal tersebut dapat memicu tindak pencemaran nama baik sampai pada pelecehan seksual di dunia maya (cyberporn). Ketiga, tingkat komunitas. Persoalan yang terjadi adalah persoalan normatif, pengaturan dan kontrol. Sehingga, dalam cyber-space setiap orang seakan-akan mampu menjadi pemimpin yang dapat mengatur dan mengendalikan orang lain, maka timbulah isu-isu provokasi, propaganda dan hal-hal yang berkaitan dengan cybercrime.

Antara Generasi Milenial dan Cyberspace

Di era digital, generasi milenial lebih menyukai serta memiliki kecenderungan untuk mengekspose diri kepada informasi visual dan grafis melalui media internet. Menurut data yang berhasil dikumpulkan, bahwa populasi pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 mencapai angka 83,7 juta orang. Angka yang berlaku untuk setiap orang yang mengakses internet setidaknya satu kali dalam sebulan, telah memposisikan Indonesia sebagai pengguna internet terbesar ke-6 di dunia.

Bagi generasi milenial, sudah lazim terjadi jika mereka terbiasa terlibat dalam berbagai aktivitas dalam waktu bersamaan, karena memanfaatkan teknologi informasi. Menurut Dresang dan Kyungwon (2009) generasi milenial memiliki kecenderungan penggunaan teknologi informasi dengan karakteristik yang meliputi; (a) mengekspresikan pendapat bagi diri mereka sendiri, (b) memperlihatkan identitas dan menciptakan informasi, (c) potret fleksibelitas dan multiple identitas, (d) menghadapi informasi berbagai prespektif.

Menurut Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017 memaparkan hampir separuh pengguna teknologi internet adalah milenial (49,52 persen). Menurut hasil survei tersebut, artinya hampir semua milenial di Indonesia dapat mengakses penggunaan cyber-space. Tetapi, problematika yang terjadi adalah maraknya cybercrime, yaitu tindakan kejahatan dan penyalahgunaan internet pada cyber-space.

Sering kali generasi milenial rentan menjadi pelaku, bahkan korban dalam cyber-space yang menjadi ruang untuk bermain dalam berbagai bentuk fantasi kelompok (group fantasi) yang bersifat virtual. Cyber-space secara cepat dapat membentuk komunitas-komunitas global lewat berbagai bentuk aktivitas untuk merealisasikan fantasi mereka, termasuk fantasi-fantasi liar yang berkaitan dengan ancaman, teror, kekerasan, seksual dan pemaksaan. Pada akhirnya, edukasi, kebijakan pemerintah, pengawasan hukum pidana mengenai UU TI serta pemanfaatan teknologi informasi pada cyber-space yang bijak yang dapat menjawab akan transformasi sosial serta tantangan antara generasi milenial dan cyber-space.

Kholis Azizi Kholis Azizi
5 tahun yang lalu

Dinamika kehidupan terus berlari menembus batas dimensi ruang dan waktu. Arah pergerakan globalisasi terus menggerus zaman dari generasi ke generasi, memasuki wilayah perkembangan iptek dengan segala problematika yang kompleks. Dampak kemajuan iptek yang terus berkembang, melahirkan generasi-generasi baru yang berpengaruh pada pola dinamika kehidupan selanjutnya. Sebagai gambaran singkat, telinga kita sudah tidak lagi asing dengan istilah generasi milenial yang saat ini banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan. Akan tetapi, masa generasi milenial akan tergantikan dengan generasi Z yang memiliki ciri khas serta keunikan dari generasi sebelumnya.

Terdapat beberapa hal yang disayangkan mengenai generasi Z dengan segala keunikannya, yaitu minimnya data empirik dan fokus terhadap sikap, gaya dan prilaku politik tentang generasi ini. Sikap politik serta paradigma baru yang muncul pada generasi masa depan ini penting untuk dicermati, sebagai landasan dalam menentukan arah kebijakan politik Indonesia kedepannya. Konsumsi terhadap informasi merupakan kebutuhan pokok yang takkan tehelakkan bagi generasi ini, perilaku yang haus akan informasi ini pula yang nantinya banyak mempengaruhi sikap politik genenerasi muda.

Pilkada tahun 2018 merupakan awal tahun yang menjadi ajang penentuan bagi parpol. Pasalnya, semakin banyak kemenangan yang diraih suatu partai dalam pilkada, tentu akan sangat berpengaruh pada kekuatan dalam posisi maupun kedudukan, serta dapat melicinkan serangan koalisi parpol terkait pada kontestasi politik dalam pilpres tahun 2019. Akan tetapi, masih banyak beberapa pihak yang tidak begitu memperhatikan, bagaimana gaya, prilaku dan konsumsi politik generasi Z? yang mayoritas dari mereka masih tergolong dalam pemilih pemula.

Berdasarkan pencatatan KPU, hasil rekapitulasi data pemilih potensial dengan rentang usia 17-25 tahun kurang lebih mencapai 42 juta. Dengan jumlah yang luar biasa ini tak ayal jika, beberapa partai mulai melirik kalangan muda dengan berbagai program pendidikan politik. Namun, ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang ciri khusus generasi baru ini, yaitu berdasarkan beberapa kajian demografi, bahwa generasi Z cenderung ingin menjadi agent of change bagi sosial serta berorientasi pada target yang akan dicapai dengan cara-cara yang lebih simple, yaitu dengan memanfaatkan media sosial maupun media lainnya.

 

Baca juga: Budaya Populer, Digital Ekonomi dan Pergeseran Identitas

 

Politik anak muda rata-rata cenderung pada politik yang tak memiliki instansi politik tertentu, melainkan lebih kepada beranda-beranda media sosial, baik dalam bentuk petisi, hastag, meme, komentar dan status terkait isu-isu politik yang terjadi. Terkadang yang menjadi permasalahan generasi Z yang masih tergolong muda ini adalah minimnya minat baca mengenai isu-isu yang terjadi. Seringkali mereka mengomentari isu-isu politik yang kian terjadi dengan tanpa melihat atau mengetahui akar dari persoalan yang timbul.

Ada beberapa kemungkinan yang menjadikan anak muda generasi Z ini malas membaca, bahkan melirik akan isu-isu politik pun tak mau. Beberapa diantaranya adalah seringkali politik di Indonesia menjadi momok yang ditakuti karena beranggapan bahwa, politik adalah suatu permainan yang kotor, ditambah dengan kemasan politik yang konservatif serta tidak relevan dengan gaya anak muda kekinian. Sehingga, banyak kalangan muda yang enggan untuk menyelam didalamnya.

Terlebih, kurangnya perhatian serta panggung yang disediakan untuk kalangan muda. Padahal, kalau kita perhatikan dengan seksama, anak muda generasi Z memiliki tingkat kemampuan yang lebih dari generasi sebelumnya. Misalkan saja, model dalam penggalian informasi mereka lebih up to date dari generasi sebelumnya. Dengan media sosial maupun online yang kian meluas. (lebih…)