Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Luthfi Muhammad

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara

Portal info lowongan kerja lokal Yogyakarta. Informasi yang ada di Akun Loker Jogja sudah melalui verifikasi Super Tim Jobnas.

Luthfi Muhammad Luthfi Muhammad
5 tahun yang lalu

PEWARTANUSANTARA.COM - Di zaman now, mahasiswa lulus lebih dari empat tahun seolah menjadi "Aib". "Aib" bagi keluarga, dosen, teman, dan adek kelas. Tidak hanya sebatas prinsipal, kuliah 4 tahun ini menjadi tuntutan dengan munculnya aturan PERMENDIKBUD No 49 tahun 2014 yang mewajibkan kuliah sarjana hanya maksimal lima tahun. Waktu yang dirasa sangat singkat untuk seseorang dianggap sebagai ilmuwan yang mumpuni di bidangnya.

Jika ingin mengikuti trend lulus sebelum 4 tahun, mahasiswa dalam beberapa semester harus mengambil 24 SKS. Kuliah serasa "full day school" yang sama sekali tidak produktif. Dari 24 SKS tersebut, hampir semuanya membebankan tugas, bisa berupa mingguan ataupun tugas akhir. Realitanya, bagi mahasiswa yang kewalahan, mereka hanya akan memprioritaskan beberapa mata kuliah saja. Sebaliknya, bagi mahasiswa yang "sok" tangguh, dia pasti mabuk berhadapan dengan sistem semacam ini.

Mencari ilmu seharusnya memang membutuhkan waktu yang lama. Para santri zaman now pasti juga masih ingat ini: “Masa belajar itu sejak manusia berada di buaian hingga masuk keliang kubur. Hasan bin Ziyad waktu sudah berumur 80 tahun baru mulai belajar fiqh, 40 tahun berjalan tidak pernah tidur di ranjangnya, lalu 40 tahun berikutnya menjadi mufti." (Bab 8 tentang Masa Belajar dalam kitab Ta'lim Muta'allim)

Memang, menyandang gelar sarjana merupakan sebuah kebanggaan. Terlepas dari lulus tepat waktu, mendapat IPK tinggi, hingga lulus susah payah, rasa bahagia pasti dirasakan. Namun, ada dilema yang sudah menjadi rahasia umum bagi para mahasiswa yang lulus. Dilema bisa datang dari internal maupun eksternal. Dari sisi internal, ada keinginan untuk lanjut studi, menikah, kerja, dan lain sebagainya. Faktor internal ini menjadi benar-benar dilema ketika dihadapkan pada faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar.

Lingkungan sekitar menjadi faktor penentu apa yang harus dan akan dilakukan seorang sarjana baru. Sebagai contoh, banyak mahasiswi yang punya cita-cita studi lanjut dan berkarir yang terhalang karena harus menikah. Sudah hal yang lumrah bagi perempuan untuk menikah saat lulus S-1 lantaran jika dia terlanjur berpendidikan lebih tinggi, akan lebih sulit untuk bertemu jodohnya. Laki-laki akan banyak berpikir untuk mendekati wanita bergelar master ataupun doktor. Kenyataan ini disisi lain menjadi sebuah ketakutan bagi mahasiswi untuk tidak sesegera mungkin lulus karena takut dijodohkan.

Dilema lain pasca lulus adalah berbaur di masyarakat. Ada sebuah pepatah terkenal: "In college you're taught a lesson, then given a test, But in life, you're given a test that teaches you a lesson." Di kampus, kita diajarkan beragam sisi problematika keilmuan secara logis dan teori-teori yang "wah". Sementara ketika terjun di masyarakat, kita tidak mungkin mengeluarkan itu semua. Dari sini kita tahu bahwa semua ilmu, teori, praktikum, dan skil mahasiswa tidak begitu saja bisa relevan di masyarakat. Masak iya ketika ada acara Rw kita membicarakan Das kapital Karl Max, Filsafat Ibnu Rusyd, Silogisme, dan lain-lain.

Menjadi mahasiswa memang terkesan keren bagi sebagian orang, tapi tuntutan dan tanggung jawab yang dihadapi juga tidak mudah. Semasa masih mahasiswa gelisah dengan tugas mingguan, makalah, praktikum, kkn, skripsi, organisasi, dsb. Setelah lulus, pusing memikirkan apakah mau kerja, lanjut kuliah, menikah, atau menganggur saja. Nah, pilihan terakhir bisa jadi paling membuat stress. Stress karena kurang kerjaan dan stress karena jadi bahan omongan tetangga.

Luthfi Muhammad Luthfi Muhammad
6 tahun yang lalu
Luthfi Muhammad Luthfi Muhammad
5 tahun yang lalu

PEWARTANUSANTARA.COM - Saat ini kita dihadapkan pada masa depan era digital. Lompatan masa ini terjadi antara 2016 - 2017 salah satunya dengan peristiwa pilkada DKI Jakarta. Pertarungan ini menguras begitu banyak tenaga bangsa dengan berbagai isu yang dimainkan. Sebagai akademisi jurusan Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, kita dituntut bisa menjelaskan perbedaan antara al-Quran dan tafsir.

Salah satu pemicu pertengkaran yang ada saat ini adalah karena "tidak mau" dan "tidak bisa" membedakan mana yang tafsir dan mana yang Qur'an. Perbedaan tafsir yang ada merupakan sebuah keniscayaan dan harus saling dihargai dalam batasan-batasan tertentu. Fenomena saat ini, ketika ada seorang ahli yang berbeda penafsiran, langsung diklaim kafir dan salah.

Menyikapi hal ini, bpk Indal Abror menyebutkan tipologi manusia sebagaimana pesan Prof. Amin Abdullah ketika mengantarkan IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga. Disebutkan bahwa mahasiswa UIN jangan sampai menjadi tipe pertama yakni Part of problem (Bagian dari masalah). Dalam bahasa jawa yang keras, tipe ini disebut "ndase koplak". "Ndase koplak" kurang lebih berarti orang yang otaknya tidak beres.

Tipe kedua adalah Troublemaker (biang kerok). Sarjana tafsir jangan sampai tidak bisa membedakan antara tafsir dan Qur'an, apalagi malah terlibat dalam masalah. Sarjana tafsir diharapkan menjadi tipe ketiga yaitu Problem solver (pemecah masalah). Langkah terkecil untuk melakukannya adalah bisa menjelaskan antara Qur'an dengan tafsir, hadis dengan fahmil hadis, dan seterusnya.

Untuk menjadi seorang Problem solver, kita harus menggunakan narasi yg shoft (lembut), tetapi berprinsip. Dalam bahasa psikologi, narasi ini disebut gaya bahasa asertif berupa kalimat suruhan yang didahului kalimat tolong dan sebagainya. Hal ini penting karena saat ini sudah jarang orang yang menggunakan gaya asertif dan mereka lebih banyak mencaci (agresif).

Kita adalah generasi yang berhadapan dengan "perang asimetris" (teman tapi seperti musuh) terutama di dunia sosmed. Pengguna sosmed dirasa sulit untuk menjadi cerdas karena kecenderungan menggunakn bahasa yang agresif. Tantangan saat ini sangat berat seperti dicontohkan bpk Indal Abror adalah sebuah grup WhatsApp yang terdiri dari sama-sama alumni pesantren kemudian ada yang berbeda pendapat, lantas dicap liberal..

Faktor terbesar perang asimetris di sosmed adalah merebaknya berita HOAX. Ditambahkan bpk Indal bahwa Ketika ada yang diingatkan untuk tidak sembarangan copas, mereka marah. Ini artinya pencipta perang asimetris telah sukses dengan adanya sesama alumni yang saling menyalahkan.

Baca juga: Kyai di era disruptif: Gus Mus

Di era digital ini, kita harus menggunakan media untuk hal yang positif, jangan sekedar untuk mencari hiburan. Contoh nyata adalah orang yang begitu sibuk sehingga tidak sempat ngaji / belajar nilai keagamaan secara langsung di masjid, pesantren, dll, mereka mencari kajian agama di internet. Sayangnya, yang memenuhi internet sekarang adalah bahasa-bahasa tekstualis yang keras. Para santri dan akademisi trlalu sibuk dengan urusan keilmuannya sehinga kurang perhatian pada sosmed. Harus diakui, ini adalah salah kita sendiri sebagai akademisi yang tidak akrab dengan media. Maka, akrablah dengan media untuk menjadi sang problem solver.

Tulisan ini disarikan dari Dr. Indal Abror
Dosen Ilmu al-Qur'an Tafsir UIN Sunan Kalijaga

Luthfi Muhammad Luthfi Muhammad
1 tahun yang lalu

Dulu, informasi baru bisa kita peroleh di kemudian hari melalui TV, radio, maupun koran. Sekarang, semua itu bisa diakses dalam hitungan detik melalui sebuah genggaman dengan adanya media sosial. Media sosial adalah sebuah media komunikasi yang memungkinkan penggunanya dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isinya. Media sosial meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Kini, media sosial menjadi 'primadona' bagi semua kalangan pengguna internet. Media sosial lebih diminati dibanding membaca buku, koran, majalah, ataupun mendengarkan radio. Konten dan fitur media sosial yang selalu update, membuat para penikmatnya 'tak bisa ke lain hati' melirik koran atau sumber informasi lain.

Data dari kominfo tahun 2016 lalu menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara terbesar ke-empat dunia dalam hal akses media sosial. Tercatat, pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta jiwa dengan mayoritas adalah pengguna aktif media sosial. Sebagai contoh, dari perbandingan data pengguna Facebook dan Twitter, Indonesia hanya kalah dari Amerika, Brazil, dan India. Fakta ini menunjukkan betapa media sosial tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia masa kini, khususnya Indonesia.

Media sosial yang diakses setiap hari terdiri dari beragam konten. Mulai dari sekedar hiburan, keilmuan, status lucu, hingga konten informasi yang valid ataupun sebaliknya berupa hoax. Hoax merupakan usaha untuk menipu pembacanya mempercayai sesuatu berita palsu yang sengaja dibuat. Persebaran hoax menjadi hal yang massif dan sulit terbendung bersamaan dengan fenomena media sosial ini. Hoax, informasi yang tidak benar ini sangat merugikan dan berpotensi menimbulkan kebencian pada pihak-pihak tertentu.

Mengenai hoax, Kominfo menyebut ada sekitar 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu. Selama 2016 lalu, Kominfo telah memblokir 773 ribu situs yang terindikasi mengandung unsur pornografi, SARA, radikalisme, kekerasan, dan lain-lain. Usaha nyata dari kominfo ini tidak serta merta menghentikan laju hoax yang ada. Pergerakan media sosial yang terjadi begitu cepat menjadikan sulit untuk membendung adanya hoax. Perlu ada keterlibatan yang aktif dari setiap pengguna media sosial untuk 'berjihad' melawan hoax.

Kata jihad seringkali dipersempit maknanya dengan 'perang suci' melawan kaum kafir. Jihad juga sering diidentikkan dengan tindakan-tindakan anti dunia Barat. Jihad sebenarnya tidak bisa dimaknai sesempit ini karena secara bahasa, jihad berarti mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini benar. Pengertian Jihad sebenarnya sangat luas, mulai dari mencari nafkah hingga berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam. Dalam istilah syariat, jihad berarti mengerahkan seluruh daya kekuatan memerangi orang kafir dan para pemberontak. Menurut Ibnu Taimiyah, jihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhoi Allah berupa amal shalih dan keimanan, serta menolak sesuatu yang dimurkai Allah berupa kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.

Dengan pengertian tersebut, jihad dapat dilakukan oleh semua kalangan dengan beragam caranya masing-masing. Jihad masa kini tidak harus dengan mengangkat senjata memerangi para kaum kafir. Jihad masa kini cukup dilakukan dengan menyikapi problem sekitar kita dan mencurahkan segenap tenaga untuk mengatasinya. Nah, media sosial dengan bermacam hoax didalamnya bukanlah sebuah hal yang pantas untuk dibiarkan. Perlu sikap jihad yang kuat untuk menghadapi fenomena media sosial dan hoax ini.

Pada dasarnya, terdapat beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan dalam rangka berjihad media sosial. Pertama, berhati-hati dalam menerima informasi yang tidak jelas sumbernya. Suatu hoax pada umumnya akan berisi ujaran kebencian terhadap pihak-pihak tertentu. Sebuah informasi yang baik dan terpercaya seharusnya tidak akan berpihak (netral). Sudah selayaknya untuk berhati-hati ketika berhadapan dengan informasi yang mengajarkan kebencian pada pihak-pihak tertentu.

Kedua, menggunakan media sosial untuk hal yang positif. Pengguna media sosial yang baik adalah mereka yang mampu bijak dalam ber-sosial media ria. Sebagai contoh, jika kita seorang pelajar, kita bisa mengikuti akun-akun yang bersifat mendidik. Kita juga bisa menggunakan media sosial untuk membagi hal-hal positif yang kita dapat, bisa berupa materi keilmuan, pesan-pesan moral, kisah inspiratif, dan lain sebagainya. Ketiga, tidak terlalu berlebihan dalam ber-media sosial. Media sosial memang selalu up to date dalam hitungan detik. Akan tetapi, tidak seharusnya kita terlalu menyibukkan diri berkutat dengan media sosial. Terlalu sibuk dengan media sosial memungkinkan kita 'terasing' dalam dunia sosial yang sebenernya.

Pada akhirnya, tidak ada yang salah dengan media sosial itu sendiri. Media sosial adalah sebuah keniscayaan di era modern ini. Media sosial hanyalah sebuah sarana yang lahir atas perkembangan zaman yang semakin canggih ini. Media sosial hanyalah sarana yang diciptakan manusia dengan beragam tujuannya. Semua kembali pada diri kita sendiri sebagai penggunanya. Jika dulu ada istilah "Mulutmu harimaumu", maka kini bisa jadi "Jarimu harimaumu". Sentuhan jari kita melalui media sosial akan membunuh kita sendiri jika salah digunakan. Sebaliknya, sentuhan jari kita juga bisa jadi memberikan manfaat bagi orang lain.

Baca juga: Disseminating Values On Social Media

Semoga coretan sederhana ini mampu menyadarkan bahwa kita mampu berbuat positif bermula dari apa yang kita miliki dan apa yang ada di sekitar kita.

Mari MEMPOSTING SESUATU YANG PENTING, bukan YANG PENTING MEMPOSTING