Author Archives: rizal nanda maghfiroh
Suara sayup Qiroah menjelang asharan di masjid sebelah masih menentramkan telinga. Tak lama kemudian harumnya bau parfum perawan pun berseliweran menembus kepekaan Indra penciuman. Diseberang sana tampak pula gerombolan sekawanan muda mudi yang sibuk bermesra di depan kubangan kolam taman yang airnya tampak coklat. Efek dedaunan yang jatuh menerpa bumi kekinian.
Lantas bagaimana keadaan si pengguna ?. Tampaknya masih tak jauh beda dengan hari hari sebelumnya. Hembusan sepoi angin yang melambaikan dedaunan masih tak juga memberikan setrum untuk beranjak dari zona nyaman.
Masih tetap bermesra dengan secangkir kopi yang tak habis walau Berjam jam telah berlalu. Ditemani pula sebuah buku tulis berisi coretan kata kata biasa. Mungkin lebih tepatnya pantas disebut sandi Pramuka, yang memang hanya bisa dibaca dan digali maknanya oleh si pengguna saja.
Sementara gadget sakti yang biasa digunakan untuk berselingkuh dengan berita berita jagat sosial pun kali ini harus rela menepi tertanggal dari sanggu di pengguna. Merelakan diri tertanggal dalam tas hitam kecil yang tergeletak di bawah rimbunan pohon taman.
Katanya si pengguna sih agar lebih fokus merenungi suasana ketentraman sore hari menyapa. Dengan ketentraman yang begitu penuh kedamaian dan kenyamanan. Tanpa perlu tahu hiruk-pikuk hoax dan cacian yang tersimpan di balik kecilnya gadget sakti.
Suara perlombaan adzan pun mulai terdengar menghiasi Indra pendengaran. Membuat fikiran mendadak diingatkan kabar gonjang-ganjingnya era kekinian, yang penuh aksi demonstrasi menuntut si mushonif puisi penista kemerduan adzan.
Tak begitu lama kemudian si pengguna justru seolah ikut terjerumus dalam penistaan sakralnya adzan. Dengan ketidak fokusan gegara semakin semerbaknya bau parfum perawan yang semakin kencang berseliweran di antara si pengguna. Bukankah ini juga semacam sebuah penistaan tentang penihilan esensi sakral adzan yang dicampur kenikmatan keduniawian parfum perawan, apalah.
Terbesit di benak si pengguna mengapa perawan perawan tersebut tidak singgah sejenak di sebelah si pengguna. Agar bau wewangian parfum keduniaan si perawan semakin menusuk nusuk Indra penciuman menjelang senja menyapa. Agar goresan kisah klasik sederhana yang terurai di kertas putih bawaan si pengguna dapat berubah alurnya. Mewarnai ketentraman sore hari menyapa dengan hiasan feminimnya perawan dunia. Dengan romantika bertabiat kemanusiaan alamiyah; kerinduan, kekaguman, percintaan, kesayangan, atau roman anak muda lainnya.
Tentu agar sedikit memberi sentuhan warna pada jagat si pengguna tentang sebuah imaji kemanusiaan dalam negeri yang mutkak membutuhkan guyuran esensi kemanusiaan. Sentuhan romantika klasik untuk meredam sebuah emosional tentang penghayatan nilai ketuhanan namun ujung ujungnya malah kerap seakan sebagai pembanding Tuhan dengan meniru firman firman dogma dan label yang memang menjadi hak kevetoan Tuhan.
Kemudian setelah itu bau parfum perawan tak hilang memudar, malah pun semakin kental berseliweran pasca lantunan adzan berkumandang. Seolah hal itu menjadi pengganti pujian usai adzan yang tak terdengar di salah satu masjid dekat taman. Bukankah itu dua hal berbeda derajat untuk dibandingkan, antara kesakralan adzan dengan parfum perawan yang sarat tipu daya keduniawian.
Apalah kata orang berbincang sebagai penanggap. Toh sore ini bau parfum perawan mengajarkan si pengguna tentang sebuah arti penistaan. Melalaikan dan tergoda oleh godaan alamiyah yang datang kala senja hampir menyapa menjelang akhir pekan.
Setidaknya bau parfum perawan yang tak karuan berseliweran, ditambah pemandangan pencintaan roman muda mudi di seberang kolam. Semuanya memberikan sebuah pesan kemanusiaan ditengah hiruk pikuk gejolak kemanusiaan.
Melalui bau parfum perawan yang menyodok Indra si pengguna sontak menyadarkan arti kemanusiaan . Bahwa si pengguna memanglah manusia biasa yang juga peka terhadap rangsangan keduniaan. Bahkan seorang pelacur saja pun manusiawi, ia bisa jatuh cinta meski pada lelaki bersih. Sama halnya dengan alim penjaga musholah, status manusia biasa pun membuat ia juga bisa terlena nafsu bejat hewaniyah.
Ya si pengguna yang kini terdogma penista produk agama lewat hembusan parfum perawan pun hanya bisa diam. Seraya menantikan hembusan dari sang perawan sesungguhnya, yang benar mampu meneteramkan hiruk pikuk kacaunya jagat Lil Alamin. Melalui sentuhan alamiyah romanitika feminimnya nilai kemanusiaan hakikiyah.
Semuanya gegara idealisme kemanusiaan yang kerap diteguhkan seolah punya kekuatan tak karuan sebagaimana firman Tuhan. Hingga si pengguna lupa bahwa ia juga menyadang status manusia biasa. Mampu tenggelam dalam zona nyaman oleh hembusan terjangan angin yang membawa kerinduan pada nilai esensi.
Mampu tenggelam dalam ekspektasi berlebih dari harumnya bau parfum sang perawan kahyangan. Melepaskan diri dari pencomotan nilai ketuhanan dalam keseharian. Hingga lupa statusnya sebagai manusia alamiyyah. Dimana nilai kemanusiaan telah terkelupas dari jisim para pengguna. Sisanya hanya bungkusan Ilahiyyah yang terbungkus idealisme setengah manusia.
Lamongan, pewartanusantara.com -
Pemuda Desa Jatipandak kecamatan Sambeng kabupaten Lamongan menggalang ide gagasan penggalian potensi desa setempat. Nantinya, desa tersebut akan diproyeksikan menjadi desa wisata.
Bertempat di area sendang duwur Desa Jatipandak, Ahad lalu (17/12/2017) sekitar 30 pemuda lokal turut hadir dalam pertemuan yang juga dihadiri Hanafi selaku Kepala Desa Jatipandak beserta para Kepala Dusun Jatipandak.
“ Sebenarnya maksud pertemuan ini diadakan adalah untuk membangun gerakan kepemudaan Jatipandak dan nantinya akan bersama-sama menggali potensi Desa Jatipandak demi sebuah kontribusi pada kampung kelahiran. Apalagi Jatipandak memiliki berbagai potensi sumber daya baik bentang alam yang menantang, wisata religi, hingga produk khas masyarakat seperti anyaman hingga tembikar. Dimana jika dikembangkan tentu akan mampu mengatrol status Jatipandak dari status desa tertinggal hingga menjadi desa mandiri”, ungkap Munif Asy’ari selaku penggagas forum pertemuan tersebut.
Disisi lain Hanafi selaku Kepala Desa Jatipandak terang-terangan mendukung sepenuhnya rencana para pemuda Desa Jatipandak tersebut.
“ Saya sangat mengapresiasi semangat para pemuda Jatipandak yang merelakan diri untuk memikirkan perkembangan desa melalui ide proyeksi desa wisata. Saya sangat mendukung usulan tersebut dan Insya Allah hasil pertemuan ini akan kami sampaikan kepada jajaran pemerintah desa lainnya untuk ditindak lanjuti”, papar Hanafi.
Berkenaan dengan forum tersebut salah satu pemuda bernama Mashuri yang juga menjadi salah satu penggagas forum secara terang-terangan menyebut bahwa motivasi menjadikan Jatipandak sebagai desa wisata terinspirasi oleh para pemuda Pojok Klitih Kecamatan Plandaan Kabupaten Jombang yang mampu menyulap kedung cinet hingga menjadi sebuah wisata desa yang viral.
“Awalnya mereka hanya menyulap bentang alam Plandaan menjadi areal adventure Trail. Namun karena banyaknya peminat akhirnya mereka juga mempromosikan kedung cinet yang diplot sebagai wisata alam, dan tindakan mereka terbukti berhasil”, ungkap Mashuri.
Melalui forum temu pemuda tersebut akhirnya diputuskanlah pembentukan sebuah wadah kepemudaan bernama Telogo Rejo dengan Munif Asy’ari sebagai ketua. Nantinya kelompok tersebut akan diproyeksikan bermetamorfosis menjadi sebuah kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Jatipandak.
“Sudah waktunya para pemuda berkontribusi membangun desa”, ungkap pria yang juga menjabat sebagai pendamping desa tersebut
PEWARTANUSANTARA.COM - Pergolakan panas Yerussalem antara Israel vis a vis Palestina dengan diserta bumbu Presiden Amerika Tramp masih menjadi santapan nikmat media pertelevisian. Dari pagi hari singgah di siang hari hingga petang menyongsong pun pemberitaan terkini tentang konflik politik tersebut masih menghiasi channel dunia pertelevisian. Apalagi terkini suasana semakin meruncing seiring dengan kebijakan pihak Israel melalui perdana menterinya yang mengecam hasil kongres luar biasa OKI yang salah satu hasilnya adalah pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibukota terbaru Palestina. Sebagaimana diketahui bahwa sepanjang kekalahan bangsa Arab dengan Israel di perang pasca proklamasi Israel 1948 dikatakan bahwa Palestina menjadikan kota Ramallah sebagai pusat administrasi pemerintahan, meski sebenarnya mereka terus berupaya mengupayakan Yerussalem Timur sebagai ibukota mereka dimasa mendatang. Yerussalem Timur sendiri mengacu pada bagian dari Yerussalem yang berhasil direbut tentara Arab (Yordania) saat perang Israel - Arab 1948. Tentu saja hal ini jelas bertentangan dengan kehendak Israel yang bermaksud untuk memonopoli Yerussalem secara Kaffah tanpa memperdulikan sekat Yerussalem barat atau pun Yerussalem timur.
Dengan demkian didapatlah sebuah simpulan bahwa membincang tentang pergolakan Israel melawan Palestina tentulah tak akan habis untuk dibicarakan. Apalagi jika dalam pembahasan tersebut dikaitkan dengan kota Yerussalem sebagai kota pemersatu tiga agama samawi. Dimana kini kota pemersatu telah bermetamorfosis menjadi kota pencemburu trilogi agama samawi yang sarat akan usaha penguasaan dalam rana politik ekspansi kedaerahan. Tak khayal Yerussalem kerap menjadi saksi akan panasnya gejolak perebutan antar elemen sosial di daerah itu. Dimulai sejak masa peradaban Israel lama di masa Nubuwwah Musa As, penjajahan Bizantium, ekspansi era Khalifah Umar Bin Khtattab, hingga gejolak Perang Salib antara Kekhilafahan Ustmaniyyah melawan para bangsa eropa (salib).
Kembali ke pembahasan awal terkait konflik Israel vs Palestina yang diobong dengan kontrofersi Donald Trump tentang pengakuan Yerussalem sebagai ibukota Israel. Dalam pidatonya Trump jelas-jelas tidak memilah penyebutan Yerussalem yang memang terbagai menjadi dua, Yerussalem Barat untuk Israel dan Yerussalem Timur atas Palestina. Namun pandangan Trump atas Yerussalem adalah satu kesatuan dimana menurutnya Israel memanglah berhak menguasai kota Yerussalem, tanpa ada embel-embel barat atau pun timur. Alhasil keputusan kontrofrsi Trump tersebut memicu pergolakan demontrasi besar-besaran di berbagai negara menuntut agar Trump mencabut keputusannya kala itu. Mayoritas suara berpendapat bahwa keberpihakan Trump pada Israel tentu perihal justifikasi Palestina akan memicu gelombang perdebatan alot yang sarat akan konflik kekerasan dan nihilisasi nilai kemanusiaan. Termasuk akan semakin memperuncing konflik pergolakan Israel vis a vis Palestina (Arab) yang diplot sebagai konflik terpanjang dalam sejarah dunia bahkan melebihi lamanya perang dingin AS - Soviet. Padahal sekitar satu bulan lalu konflik Israel – Palestina sedikit mencair usai akan dicanangkan persatuan fraksi HAMAS – FATAH dan setelah itu mereka akan mencoba mengambil jalan diplomasi dengan Israel terkait konflik berkepanjangan.
Namun alur cerita sedikit bergeser usai Amerika Serikat melalui Trump turut intervensi dalam cerita dua negara tersebut. Kekhawatiran sebagaimana diatas akhirnya terbukti benar, rencana bersatunya HAMAS – FATAH yang akan mencoba jalur diplomasi dengan Israel pun beralih kepada demonstrasi besar-besaran warga Palestina kepada pihak Israel yang memang mendukung kebijakan Trump atas keuntungan dari kebijakan tersebut. Alhasil bentrokan antara demonstran dan militer Israel pun kembali menghiasi sudut-sudut Gaza hingga Yerussalem sendiri, hingga tak jarang pula sebabkan kalangan demonstran yang gugur atau bahkan ditangkap otoritas militer Israel dengan dalih makar.
Terima Kasih Trump !!
Mengapa Amerika Serikat melalui Trump mendukung Israel ?, kata tanya yang maksudnya hanya diketahui oleh kedua belah pihak. Meskipun beberapa jurnalis online menganggap bahwa keputusan Trump memang sarat akan politis menggalang dukungan warga Amerika yang berdarah Yahudi. Apalagi pemberitaan di AS sebelumnya kental dengan isu negatif bahwa keberhasilan Trump menjadi orang nomor wahid di Gedung Putih dipengaruhi juga atas inetrvensi Presiden Rusia Vladimir Puttin. Nah, sebab itu pula akhirnya Trump berusaha untuk mengambil langkah yang sarat Pro warga Amerika kalangan Yahudi. Tentu dengan tujuan mengambil dukungan kalangan mereka yang memang memiliki pengaruh besar dalam kancah kenegaraan Amerika. Guna memuluskan langkah Trump untuk mempertahankan status orang nomor satu AS dalam pemilu mendatang dengan menggunakan alasan menaati konstitusi Kongres 1995 AS yang isinya tentang hubungan AS terkait dukungan pada Israel atas hak Yerussalem.
Estafet kontrofersi Trump yang kali ini tentang perihal Yerussalem disikapi dengan dingin oleh Indonesia, secara terang-terangan Presiden Jokowi mengecam keputusan Trump sebagaimana diatas. Bahkan pemerintah RI pun mulai mengambil langkah konkret seperti terus menekan OKI dan PBB agar segera mengadakan kongres luar biasa, hingga plesirannya Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri RI ke benua biru untuk mengambil dukungan negara-negara eropa beserta Uni Eropa untuk tetap mempertahankan status quo Yerussalem. Apalagi Palestina memang dikenal memiliki hubungan baik dengan Indonesia bukan hanya sebatas persaudaraan sesama negara mayoritas yang berpendudukan muslim, lebih dari itu Palestina bersama Mesir merupakan dua negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas proklamasi yang dikumandangkan 1945.
Luar biasa bukan, sontak kontrofersi Trump seakan mendogmakan presiden AS tersebut sebagai “Pemersatu Bangsa” termasuk pula semangat persatuan ke-Indonesiaan. Namun perlulah dicacat bahwa dogma Trump sebagai tokoh pemersatu bermakna sebaliknya, bukan ditujukan atas kontribusi si predikat (pelaku) melainkan berlaku bagi si Obyek (Sasaran) sebagai basis perlawanan atas sebuah kebijakan. Bagi Indonesia setidaknya keterlibatan AS dalam pergolakan Israel vs Palestina mampu menjadi sebuah Oase nilai persatuan khalayak umum rakyat Indonesia. Khususnya mengurangi tensi tinggi pergolakan perbedaan pemahaman antar berbagai ormas Islam sebagai ormas terbesar di Indonesia, yang mana dalam kurun waktu dua tahun terakhir kerap dihiasi bumbu-bumbu politik Identitas antar ormasi islam yang memang berbeda paradigma pola pikir hingga kerapnya penyekatan diri, “Siapa aku, siapa kamu, siapa kita, atau siapa kalian”.
Contoh kecil saja adalah perdebatan alotnya pandangan antara kalangan penggiat paradigma Islam ketat yang direpresentatifkan oleh FPI, MMI, atau bahkan HTI yang secara resmi menjadi ormas yang dibubarkan pemerintah beberapa waktu kemarin. Atau perlawanan kalangan penggiat paradigma “luwes” semacam Nahdlatul ‘Ulama yang dikenal I’tidal dalam berpijak. Belum lagi kalangan ormas Muhammadiyyah yang kerap kali diplot sebagai ormas “Abu-Abu” dalam menetukan kecondongan sikap organisasi. Beberapa ormas-ormas sebagaimana diatas sudah bukan menjadi rahasia lagi akan sebuah persaingan memperluas propaganda paradigma. Diantaraya ada yang kerap kali menyuarakan aksi opini demi tujuan memformilkan NKRI bersyari’at dari hal-hal yang dianggap sekuler. Ada juga yang kurang sepaham hal tersebut dengan landasan bahwa esensi Islam bersifat value dan tidak mungkin syari’at di formilkan. Perbedaan-perbedaan ini pula yang kerap kali menimbulkan gesekan sosial antar unsur masyarakat Indonesia, bahkan tak jarang yang malah menjerumus pada fanatisme buta dengan negative thinking pada semua pemikiran diluar yang diyakininya.
Nah, tatkala isu intervensi Donald Trump selaku presiden AS sebagaimana diatas semakin merebak ke penjuru dunia. Maka saat itu pula semua elemen masyarakat di penjuru dunia beramai-ramai mengecam AS atas langkah kebijakan yang tak didasari pertimbangan matang tentang dampak yang ditimbulkannya. Mayoritas diantara mereka bukan hanya menganggap konflik Israel – Palestina disebabkan atas pergolakan agama. melainkan lebih dari itu bahwa konflik keduanya sudah bermigrasi kearah pergolakan politik kekuasaan, siapa yang menguasai siapa yang dikuasai. Alhasil kontrofersi dari Trump pun membuat sekat-sekat antara berbagai ormas sebagaimana dicontohkan diatas sedikit mengendur. Jika beberapa waktu lalu kerap kali diadakan aksi demonstrasi angka keramat yang hanya diikuti oleh kelompok ormas tertentu yang sevisi, maka demontrasi kali ini lain ceritanya ketika kesemua ormas mampu bersama-sama ikut andil dalam demokrasi massal menentang kebijakan Donald Trump selau presiden Amerika Serikat. Bahkan Nahdlatul ‘Ulama yang terkenal dengan tingkat kesalafannya memutuskan merelakan untuk ikut kedalam gerakan aksi menentang AS. Tak terkecuali juga Muhammadiyyah sebagai salah satu organisasi “lawas” di era awal perhimpunan janin perjuangan. Kesemuanya berhasil untuk sejenak melepas baju kebesaran demi mengikat satu visi misi untuk menebar kecaman pada presiden Trump yang gemar berkontrofersi ria, terkhusus juga untuk membantu penderitaan Palestina dalam kerasnya pergolakan melawan Israel yang didukung oleh negara adidaya dibelakang. Terima kasih Trump !!, tanpa kontroversimu maka persatuan Islamiyyah dan Insaniyyah akan sulit bersatu padu menggerakkan semangat kemanusiaan sebagai warisan Tuhan untuk menumpas segala penyelewengan kekuasaan.
Prolog
Jika kita mendengar istilah “Jombang” tentulah hal pertama kali yang terlintas dibenak kita tiada lain adalah penisbatan “Kota Santri” sebagai jargon utama kota Jombang. Selain efek menjamurnya berbagai Pondok Pesantren di berbagai penjuru kota Jombang, sebutan kota santri juga kerap kali bersinggungan dengan asal usul salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di penjuru dunia; “Nahdlatul ‘Ulama” yang berdirinya juga tak lepas dari kontribusi para ‘Ulama legendaris Jombang sepertihalnya sosok; Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Masyayikh Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Masyayikh Tambakberas), KH. Bisri Syansuri (Masyayikh Denanyar). Ketiga tokoh ini kerap kali dijuluki penikmat opini bebas sebagai Tiga Serangkai Nahdlatul ‘Ulama, karena memang kontribusi ketiganya sangat luar biasa dalam mendirikan, menggerakkan, hingga mengorbitkan organisasi tradisionalis-moderat Nahdlatul ‘Ulama ke kancah Nasional.
Selaintiga tokoh tersebut masih banyak tokoh-tokoh legendaris lintas zaman lainnya yang asal muasal atau napak tilasnya terkait daerah Jombang, diantaranya seperti; Syekh Sayyid Sulaiman (Betek, Mojoagung) yang konon pernah satu angkatan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Gresik), KH. Tamim Irsyad (Pendiri Ponpes Darul ‘Ulum Peterongan Jombang), Pahlawan Nasional KH. Wahid Hasyim (Tebuireng Jombang) yang berperan besar dalam perumusan Pancasila melalui panitia Sembilan, Presiden Keempat Republik Indonesia; Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang sangat mendunia, hingga cendikiawan nasionalis Nur Cholis Madjid (Pendiri Universitas Paramadina Jakarta).
Dari Shorof Hingga Falaq
Tunggu sebentar, tampaknya ada nama yang kerap terlupa dari berbagai perbincangan tentang ulama yang bernapak tilas di kota santri Jombang. Jika kita pernah belajar tentang ilmu shorof maka tentulah tak asing dengan sebuah kitab kuning bernama Amstilah Tashrifiyyah yang berisikan rumus rujukan mentashrif (merubah struktur kata sesuai kondisi) yang secara garis besar terdiri dari dua macam; Istilakhi (mentashrif secara mendatar berdasarkan bentuk fi’il) dan Lughawi (mentashrif secara menurun berdasarkan padanan dhomir). Bagi kalangan yang teliti dalam mempelajarinya maka tentu akan mengenal pula dengan sosok bernama “Kyai Haji Ma’sum Bin Ali (w 1933 M)” sebagai mushanif (pengarang) kitab shorof legendaris tersebut. Nah, perlu juga diketahui bahwa tokoh tersebut ternyata merupakan salah satu tokoh yang bernapak tilas diJombang, meskipun sebenarnya Kyai Ma’sum Bin Ali lahir di kota Pudak Gresik, hingga pada akhirnya beliau nyantri kepada Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, sebelum akhirnya beliau diberi mandate Sang Guru untuk mendiami daerah Seblak (Utaranya Tebuireng) untuk mengembangkan dan mensyiarkan ajaran agama Islam.
Meskipun nama beliau terbilang popular di kalangan penikmat ilmu shorof melalui salah satu karya besar Amtsilah Tashrifiyyah. Sebenarnya sosok Kyai Ma’sum Bin Ali bukanlah spesialis ilmu gramatikal tata bahasa arab (Shorof, Nahwu, Balaghah, Mantiq, dsb), melainkan beliau merupakan master dari ilmu tentang perbintangan dan perhitungan (Falaq) bahkan tiga karya lainnya merupakan kitab yang bercorak pada ilmu falaq, sebut saja; Fathul Qadir (Berisikan takaran Arab ala Indonesia), Ad Duratus al Falakiyyah (beriskan pedoman falaq seperti logaritma, almanak masehi-hijriyyah, posisi matahari dan hilal, dsb), dan Badi’atul Mitsal (Berisikan teori Geosentris) yang konon ditulis oleh beliau saat mempelajari ilmu falaq alamiyah dari seorang nelayan.
KelihaianKyai Ma’sum Bin Ali ilmu anstronomi dengan cara falaq (Hisab) inilah yang akhirnya kerap kali membuat Pondok Seblak dirian beliau berbeda pandangan dengan Pondok Tebuireng dalam hal menentukan hilal awal Ramadhan mengingat Seblak menggunakan full ilmu Hisab sedang Hadratussyaikh dengan Tebuireng-nya masih mempertimbangkan metode Ru’yat dalam pencarian hilal. Namun perbedaan keduanya bukan menjadi penghalang ketawadhu'an beliau pada sang guru besar.
Sang Sufistik
Disisi lain kemonceran sepak terjang Kyai Ma’sum Bin Ali dengan beberapa kitab warisan retorika ilmu perbintangan (Falaq) dengan tambahan ilmu gramatikal pula (Shorof) ternyata masih cukup banyak pula yang tidak mengenal siapa sebenarnya beliau. Meskipun sebenarnya untuk mencari profil beliau di era peradaban virtual sekarang ini memanglah mudah sekali cukup sekali “klik” di mesin pencari tentu akan mudah mendapatkan informasi pula. Namun hal instan seperti itu haruslah dikroscek kebenarannya pula guna mencari sebuah kebenaran rill dalam peradaban nyata terlepas dari bayang-bayang informasi virtual yang sarat hal-hal instan tanpa rujukan.
Menurutbeberapa literatur online yang memang terbatas dalam membincang siapa sosok Kyai Ma’sum Bin Ali-nya Jawa Timur ini memang dikatakan bahwa beliau merupakan sosok yang sufistik lebih condong menafikan diri seputar godaan dunia yang menurut Al Ghozali dalam Kitabnya digambarkan sebagai “Wadon nini-nini”. Puncaknya bahkan ketika hendak wafat, beliau berwasiat pada keluarganya untuk membakar semua dokumentasi terkait praupan beliau baik foto atau lukisan. wasiat lainnya yaitu agar dimakamkan secara sederhana seperti makam pada umumnya, tanpa asesoris sakral makam seorang tokoh ternama.
Nah, ketika pribadi berkunjung plesiran ke beberapa makam para masyayikh tempo dulu di daerah Jombang. Terlintas pula sejenak untuk mencari makam sosok ahli falak bernama KH. Ma’sum Bin Ali yang merupakan pendiri Pondok Seblak Jombang sekaligus menantu Hadratus Syaikh atas putri pertama beliau; Nyai Hj. Khairiyyah Hasyim. Ternyata diluar dugaan tak banyak masyarakat setempat yang mengenal dimana makam beliau, ntah karena memang benar nama Kyai Ma’sum Ali tak membumi hingga banyak yang tak mengerti atau mungkin pribadi salah memilih objek. Begitu pula saat bertanya pada seorang pengawas makam tebuireng dan beberapa santri disana ternyata jawabannya sama alias tak banyak yang mengetahui dimana makam beliau, beberapa santri bahkan menjawab mungkin dimakamkan di pemakaman keluarga pondok seblak atau mungkin bahkan di daerah komplek makam Kyai Asy’ari di daerah Keras.
Sejenak saat melihat nama-nama masyayikh Tebuireng yang dimakamkan di komplek pemakaman Tebuireng yang tercantum di sebuah batu ukir, ternyata dalam salah satu batu tersebut terdapat nama KH. Ma’sum Bin Ali yang jelas-jelas merupakan tokoh pendiri Pondok Seblak. Saat pribadi kroscek dengan nomor urut masyayikh yang berada di batu ukir ternyata tepat sekali dugaan semula bahwa KH. Ma’sum Bin Ali memang memiliki kesufian yang tinggi. Kondisi makamnya tak sama seperti beberapa makam masyayikh Tebuireng lainnya. Sangat terlihat sederhana hanya berupa gundukan tanah yang terletak di bagian pojok, bahkan dalam batu nisannya sama sekali tak tertulis nama KH. Ma’sum Bin Ali. Dengan kata lain memang Kyai Ma’sum Bin Ali merupakan seorang ‘ulama yang memiliki tingkat sufisme yang tinggi bahkan melewati taraf wajar manusia pada umumnya; ingin dikenang akan sebuah peninggalan. Allahumaghfur lahu..
Wallahu ‘A’lam Bi Showab
Pada suatu hari Rasulullah SAW hendak berpergian lalu beliau bingung untuk memilih siapa isteri beliau yang diajak untuk berpergian. Atas dasar keadilan Rasulullah Muhammad SAW pun memutuskan untuk melakukan pengundian yang pada akhirnya nama yang keluar adalah Sayyidah Aisyah Ra. Pada saat itu adalah masa turunnya ayat tentang Hijab (pemisah antara laki-laki dan perempuan), sebelum turunnya ayat itu laki-laki dan perempuan bebas bersama-sama melakukan sebuah aktifitas. Oleh karena itulah pada saat itu Sayyidah Aisyah Ra pun harus merelakan untuk menempati ruangan rumah-rumahan tertutup yang digotong oleh para sahabat. Saat itu pula bertepatan dengan sebuah perang bernama “Banil Mustaliq” yang mana pada akhirnya Nabi Muhammad SAW, Sayyidah Aisyah Ra, beserta para rombongan berpartisipasi dalam peperangan tersebut.
Setelah perang selesai dengan kemenangan pasukan islam, maka pada malam harinya Rasulullah SAW beserta rombongan termasuk Sayyidah Aisyah Ra pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Ketika dalam perjalanan Sayyidah Aisyah Ra hendak membuang hajat dan memutuskan untuk turun dari rumah-rumahan tersebut (Sekedup). Para sahabat tidak mengetahui bahwa Sayyidah Aisyah Ra turun dari rumah-rumahan tersebut, mereka pun pergi meninggalkan Sayyidah Aisyah yang buang hajat dengan menggotong rumah-rumahan (Sekedup) kosong, karena mereka mengira bahwa Sayyidah Asiyah Ra masih berada didalam ruangan tersebut.
Mendapati bahwa para rombongan meninggalkan beliau, Sayyidah Aisyah Ra pun cemas dan khawatir apalagi ditambah putusnya kalung kesayangan beliau. Sayyidah Aisyah Ra berfikir pasti nantinya rombongan akan mencari beliau tatkala tak mendapatinya dalam sebuah rumah-rumahan (sekedup), beliau pun memutuskan untuk diam di tempat hingga tertidur ditempat tersebut. Suatu ketika salah satu sahabat Nabi bernama “Saffan Ibnu Muwafiq” yang ditugaskan berjaga barisan belakang kaget tatkala menemukan Sayyidah Aisyah Ra yang tertidur sendirian, ia pun mengajak Sayyidah Aisyah Ra bersama-sama pulang menuju Madinah.
***
Tatkala sampai di Madinah terjadilah berita menggemparkan bahwa yang mana Sayyidah Asiyah Ra dituduh berzina dengan Saffan Ibnu Muwafiq. Sebenarnya tuduhan tersebut bermula dari seorang mufasiq bernama Abdullah Bin Ubaid. Saat itu sebenarnya Sayyidah Aisyah Ra belum mengetahui tuduhan tersebut. Beliau baru mengetahuinya dari “Ummu Mitsah” tatkala ketika beliau hendak membuang hajat dengan ditemani Ummu Mitsah, mengingat sesampai di Madinah Sayyidah Asiyah Ra langsung menuju rumah Ayahandanya “Abu Bakar As Shiddiq”. Akan tetapi saat itu Siti Aisyah menanggapi tuduhan tersebut dengan apatis dan cuek.
Ketika Sayyidah Aisyah Ra bermaksud bertemu Rasulullah SAW dirumah beliau dan menjumpai beliau disana. Siti Aisyah dibuat heran dengan perilaku Rasulullah SAW yang tak seperti biasanya, dimana Nabi Muhammad hanya berkata tentang ucapan salam dan bertanya tentang bagaimana kabar Aisyah. Merasa bahwa ada yang aneh dari geliat Nabi Muhammad SAW maka Siti Aisyah Ra pun minta izin kepada Nabi untuk pulang kembali ke rumah Ayahnya Abu Bakar, dimana Siti Aisyah bermaksud hendak menayakan kebenaran terkait tuduhan zina bersama Saffan yang menimpa padanya.
Sesampainya dirumah Ayahnya Abu Bakar, Siti Aisyah pun menanyakan pada beliau terkait kebenaran adanya kabar terkait tuduhan tersebut. Sayyidina Abu Bakar Ra pun menjelaskan pada Siti Aisyah selengkap-lengkapnya terkait kabar tuduhan tersebut. Mendengar cerita dari ayahanda Siti Aisyah pun menangis dan meneteskan air mata.
***
Disisi lain Nabi Muhammad SAW meminta pertimbangan pada dua sahabat beliau “Ali Bin Abi Thalib Ra” dan “Usama Bin Zaid” terkait keputusan untuk menceraikan Siti Aisyah atas dasar kabar perzinaannya dengan Saffan. Hal ini dikarenakan sejak munculnya kabar berita perzinaan Siti Aisyah, wahyu tidak lagi turun kepada Nabi Muhammad SAW tak seperti biasanya. Usama Bin Zaid pun mengebalikan keputusan tersebut kepada Nabi untuk menceraikan atau tetap mempertahankan ikatan, “terserah engkau wahai Rasul” Kata Usama, sedangkan Ali Bin Abi Thalib memberikan pertimbangan “Semoga memang baik-baik saja, Wanita bukan hanya Siti Aisyah wahai Rasulullah” (Ucapan Ali Bin Abi Thalib inilah yang pada akhirnya berdampak pada sedikit rusaknya keharmonisan antara beliau dengan Siti Aisyah yang pada puncaknya terjadinya Perang Jamal pada masa kepemimpinan beliau sebagai Khalifah).
Kemudian Usama Bin Zaid dan Ali Bin Abi Thalib pun memberi usulan agar Nabi Muhammad SAW menjumpai Balirah guna memberikan pertimbangan lain terkait penyikapan berita tersebut. Balirah pun berkata “Tidak mungkin wahai Nabi bahwa Siti Aisyah melakukan perbuatan perzinaan mengingat sifat Siti Aisyah sendiri masih kekanak-kanakan”. Mendengan perkataan Balirah, Nabi Muhammad SAW pun mempercayai bahwa Siti Aisyah memang tak bersalah dan hanya semata-mata dituduh oleh seseorang.
Nabi pun memutuskan untuk mengumpulkan para pemuka kabilah dan suku guna menanyai terkait siapa yang telah menyebar berita bohong tersebut. Tiba-tiba muncul Saad Bin Ubaid (pemimpin Suku Khasraj) berkata “Barang siapa yang memang memfitnah yang mana jika berasal dari suku Aus maka akan ku potong lehernya dan jika berasal dari suku ku (Khasraj) maka akan aku serakan kepada engkau wahai Nabi”. Sontak perkataan dari Saad Bin Ubaid tersebut mendapat bantahan keras dari pihak suku Aus, “Tidak bisa engkau memutuskan hal itu” kata Uzaid Bin Khudair selaku pemimpin Suku Aus. Perdebatan dua suku tersebut hampir saja memicu pengulangan terjadinya peperangan antar dua suku terbesar di Madinah tersebut.
***
Ketika Rasulullah menemui Siti Aisyah dirumah Ayahandanya Abu Bakar beliau mendapati Aisyah menangis pilu, lalu Rasul pun berkata kepada Aisyah; “Wahai Aisyah, apabila engkau tidak berzina maka tentulah Allah SWT akan memberi kemudahan, namun jika engkau memang melakukan hal tersebut maka bertaubatlah”. Mendengar perkataan dari Rasul, Aisyah pun berhenti menangis lalu berkata “Aku ini wanita muda, aku ini juga belum hafal Al-Qur’an. Demi Allah, jika aku memang mengatahakan tidak terkait hal tersebut engkau tentu tetap tidak akan mempercayainya wahai Rasul karena berita tersebut memang sudah seakan menjadi kebenaran. Namun apabila aku mengatakan ucapan Ya terkait kejadian tersebut tentulah aku membohongi Allah SWT”.
Setelah kejadian itu maka turunlah wahyu Allah kepada Nabi sampai Nabi Muhammad mengeluarkan keringat walau saat itu suasana Madinah sangat dingin. Nabi pun tersenyum dan berkata “ Wahai Aisyah, engkau telah dibebaskan dari kebohongan oleh Allah SWT”. Mendengar perkataan Nabi maka Ibu Aisyah pun berkata “Aisyah bersyukur dan berterima kasihlah kepada Nabi”. Sontak Aisyah pun berkata “Aku tidak akan bersyukur kepada Nabi tetapi aku akan bersyukur kepada Allah SWT”
Disisi lain Abu Bakar pun marah setelah mengetahui kebenaran dari peristiwa tersebut, “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi pada Mistah (Mistah adalah orang yang bersama Abdullah Bin Ubaid memfitnah Aisyah)”. Tiba-tiba kembali turun wahyu kepada Nabi yang berisi larangan mengucapkan sumpah atas nama Allah dalam hal keduniawian. Mendengar penjelasan Nabi maka Abu Bakar pun mencabut sumpahnya dan berkata “Demi Allah Aku menyukai Allah SWT yang Maha Pemaaf”. Semenjak kejadian tersebut Siti Aisyah pun senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Dalam waktu lain Nabi Muhammad SAW bertanya kepada isteri beliau Zainab “Wahai Zainab, bagaimana pandanganmu tentang Aisyah ?”. Zainab menjawab “Aku tidak melihat apa-apa dan aku tidak mendengar apa-apa, Aisyah adalah wanita yang selalu terjaga kesuciannya”.
Rizal Nanda Maghfiroh
Sumber:
Dikutip dari dawuh KH. Mohammad Djamaluddin Ahmad (Majlis Pengasuh Ponpes Bahrul ‘Ulum Tambakberas) dalam pengajian Al Hikam 4 Januari 2010.
Jika ditarik kebelakang berdasarkan historitas kronologis sejarah yang telah diakui oleh para sejarawan dan telah di bingkai resmi menjadi sejarah ke-Indonesiaan, dikatakan bahwa daerah Lamongan bagian selatan berkaitan erat dengan historis napak tilas Prabu Airlangga, meskipun sebenarnya kerajaan besar jawa timur lain seperti Majapahit dan Singosari juga wilayah kekuasaannya meliputi daerah-daerah pesisir Jawa Timur tak terkecuali Lamongan Selatan. Akan tetapi Jika dilihat dari warisan berbagai kerajaan tersebut, Napak Tilas Prabu Airlangga mempunyai urgensi historitas tersendiri terhadap berbagai daerah di Lamongan Selatan, hal ini dikarenakan banyaknya napak tilas yang tersebar di Lamongan selatan berkenaan dengan perjuangan Prabu Airlangga mendirikan dan memperjuangkan estafet mandataris Kerajaan Medang (mataram lama) dirian Prabu Sanjaya (752 M), yang hancur lebur pada masa Dharmawangsa Teguh (1006 M) efek serangan Raja Wurawari dari Pasukan Lwaram (cepu: sekarang) dengan aliansi Kerajaan Budha Sriwijaya.
Dalam catatan yang terangkum pada sejarah Ke-Indonesiaan dikatakan bahwa peristiwa hancur luluhnya Kerajaan Medang tersebut dikenal dengan nama “Mahapralaya” yang menewaskan hampir tokoh-tokoh ternama Kerajaan Medang termasuk Raja Dharmawangsa Teguh dan istri Airlangga muda sendiri. Sedangkan Airlangga muda berhasil lolos dari tragedi maut atas bantuan dari pengasuhnya Mpu Narotama. Bersama sedikit pengikutnya yang berhasil lolos dari tragedy pralaya, Prabu Airlangga menjelajah daerah Jawa Timur bagian utara (+ Jombang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, dan sekitarnya), konon Sendang Made di Kudu Jombang merupakan salah satu tempat pertapaan dalam proses pelarian Prabu Airlangga. Melalui pertapaan disitulah konon Prabu Airlangga mendapat wangsit untuk meneruskan perjuangan keraajaan Medang (Mataram lama) hingga berhasilnya mendirikan kerajaan Kahuripan dengan Prabu Airlangga sendiri sebagai raja pertamanya.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, kerajaan Kahuripan kerap berpindah pusat pemerintahannya guna melindungi diri dari serangan musuh yang terbilang kuat apalagi Kerajaan Sriwijaya meruapakan ancaman nyata, karena saat itu posisi Kerajaan Kahuripan masih terbilang lemah dukungan. Alasan ini pula yang juga menyebabkan Raja Airlangga memutuskan untuk berpindah-pindah ibukota guna sekaligus berusaha mengambil hati dan dukungan daerah baru yang ditempati. Banyak versi sejarah tentang daerah mana saja yang pernah dijadikan Ibukota pemerintahan Kahuripan, beberapa pengamat sejarah menyebut daerah sekitar lereng gunung penanggungan bagian utara (Ngoro, Mojokerto) merupakan ibukota keraton awal (Wwtan Mas) dalam awal tonggak perjuangan Kerajaan Kahuripan Airlangga, anggapan ini merujuk pada fakta peninggalan deretan candi di kaki gunung penanggungan beserta kolam pemandian Jalatunda yang disebut sebagai warisan Kerajaan Kahuripan Airlangga.
Namun dalam versi anggapan sejarah lain justru dikatakan bahwa Raja Airlangga justru memulai berpindah-pindah Ibu kota pemerintahan Kahuripan ke daerah utara (Lamongan), hal ini dikuatkan dengan ditemukannya berbagai peninggalan kuno kerajaan kahuripan di daerah Lamongan bagian selatan seperti berbagai prasasti (Pamwatan, Cani, Pataan, Pucangan, dan lain sebagainya) hingga terakhir ditemukannya bangunan candi besar yang tertimbun tanah di persawahan Dusun Montor Desa Pataan Kecamatan Sambeng. Dugaan ini dikuatkan pula dengan adanya sebuah daerah di Lamongan Selatan bernama Dusun Wotan (Desa Slaharwotan, Kecamatan Ngimbang) yang digadang-gadang sebagai Wwtan mas yang merupakan pusat ibukota keraton pertama Kerajaan Kahuripan Airlangga, apalagi disekitar daerah tersebut terdapat sebuah prasasti bercorak hindu yang diindikasi ada kaitannya dengan Wwtan Mas Kahuripan, meski sebenarnya anggapan tersebut belum teruji jelas kebenarannya karena tak ada tindak lanjut penelitian berbasis sejarah dan arkeolog seputar sepak terjang Pemerintahan Raja Airlangga di Lamongan bagian selatan.
Prasasti Pamwatan dan Prasasti Lain Sebagai Penguat
Salah satu peninggalan Airlangga di Lamongan selatan tiada lain adalah prasasti Pamwatan (Sekitar: 965 Saka/ 1043 M/ Sejarawan LC Damais: 10 November 1042) yang ditemukan di Desa Pamotan Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Akan tetapi sangat disayangkan sekitar awal 2000-an pasca semakin terkenalnya Prasasti Pamwatan sebagai warisan Airlangga, prasasti tersebut hilang dicuri oleh pihak yang tak bertanggungjawab dan hanya menyisahkan bekas alas tempat dudukan prasasti (Yoni). Minimnya kepedulian dan pengamanan dari masyarakat setempat menjadi salah satu penyebab utama raibnya prasasti legendaris Raja Airlangga tersebut. Dikatakan legendaris sebab prasasti yang berbahasa Jawa Kuno tersebut memuat pemaparan tentang ibukota keraton baru Kerajaan Kahuripan Airlangga yang melalui prasasti tersebut diperkirakan adalah daerah yang disebut Dahanapura (Daha), dengan kata lain prasasti Pamwatan sedikit banyak berkaitan erat dengan peristiwa menjelang turun tahtanya Raja Airlangga, namun tak ketahui jelas tentang dimanakah letak daerah yang disebut Dahanapura (Daha) tersebut, karena tulisan bagian bawah prasasti Pamwatan tidak nampak jelas, beberapa kalangan menganggap bahwa daerah yang disebut Dahanapura (Daha) adalah Pamotan sendiri, adapula pihak yang mengaitkan dengan daerah “Daha” di Kediri, mengacu pada realita bahwa Raja Airlangga menjelang turun tahta membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan; Jenggala dan Panjalu (Kadiri).
Selain prasasti Pamwatan, ditemukan pula prasasti warisan Airlangga lain sebagai penguat napak tilas di Lamongan selatan yang juga banyak disinggung pemerhati sejarah, seperti Prasasti Cani (943 Saka /1021 M) yang berisikan tentang penganugerahan gelar “Sima” kepada penduduk daerah Cani (Candisari) yang membantu dan mengabdi pada Raja Airangga melindungi benteng kekuasaan wilayah kerajaan bagian barat. Prasasti ini kini disimpan di museum nasional Jakarta dan hanya menyisahkan bekas lahan temuan yang kini diberi papan tanda petunjuk berisikan catatan seputar isi prasasti. Selain Cane warga daerah Pataan juga pernah diberi gelar “sima” oleh Raja Airlangga atas kesediaanya menerima kehadiran Raja Airlangga dan pengikutnya yang mengusi dari keraton Wwtan Mas akhibat serangan pasukan Wurawari. Peristiwa ini dicatat dalam prasasti Patakan (1042 M) yang kini juga disimpan di Museum Nasional Jakarta, prasasti ini juga merujuk pada sebuah bangunan suci persembahan Raja Airlangga pada pemuka agama setempat bernama Sang Hyang Patahunan yang kabar terakhir kerap dikait-kaitkan dengan ditemukannya bangunan seperti candi di persawahan Dusun Montor Desa Pataan Kecamatan Sambeng.
Jejak Raja Airlangga di Lamongan selatan semakin diperkuat dengan ditemukannya Prasasti Pucangan di lereng gunung penanggungan pada masa pendudukan Gubernur Raffles asal Inggris di Nusantara sehingga prasasti tersebut kini disimpan di Museum Calluta India, kala itu India juga merupakan pusat jajahan dari kerajaan Inggris. Adapun yang disinggung dalam prasasti ini salah satunya adalah tentang pemaparan adanya pertapaan di daerah Pucangan (Ngusikan Jombang) yang diindikasi merupakan tempat “uzlah” Raja Airlangga pasca turun tahta dan pembagian wilayah. Hal ini dikuatkan pula dengan ditemukannya makam petilasan putrid pertama Raja Airlangga Sanggramawijaya Tunggadewi atau dikenal dengan Dewi Kili Sucididaerah Pucangan (Gunung Pucangan) yang konon menolak pemberian tahta dari ayahanda dan justru memilih untuk menjadi petapa untuk menjauhi kepentingan duniawi. Selain petilasan Dewi Kili Suci di Gunung Pucangan juga didapati petilsan beberapa pengikut setia Dewi Kili Suci yang salah satunya adalah tokoh pemuda berjuluk “Maling Cluring”, karena kebiasaannya mencuri harta kaum bangsawan yang tamak dan membagikan harta tersebut pada kalangan yang membutuhkan. Empat prasasti Airlangga diatas merupakan prasasti utama yang kerap disinggung para sejarawan berkenaan dengan napak tilas Kerajaan Kahuripan Raja Airlangga di Lamongan Selatan Sebenarnya masih banyak lagi temuan prasasti di Lamongan Selatan yang kerap dikaitkan beragai pihak dengan Airlangga namun jarang disinggung para sejarawan karena minimnya penelitian, seperti; Prasasti Sumbersari I dan II, Prasasti Lawan, Prasasti Nogojatisari, Prasasti Garung, Prasasti Wotan, Prasasti Sendangrejo, dan lain sebagainya.
Sumber : Wikipedia dan Pengamatan Langsung di Situs-Situs Sambeng-Ngimbang Lamongan
Tepat menjelang senja menyapa, petang malam beriringan rembulan belum tampak juga. Pula disudut kedai kopi lesehan tampak tujuh sekawan yang tak asing lagi di dunia pewayangan, empat punakawan; Kyai Semar dengan ketiga murid terpercaya; Ki Bagong, Ki Petruk, dan Ki Nala Gareng, sedang tiga lainnya adalah bangsa wanara kiskenda; Hanoman si tetua kera, resi sugriwa, dan Anggada. Ketujuh tokoh besar tersebut berkumpul dalam satu majlis dalam rangka hari jadi Pewarta Nusantara Pertama, guna membincang dan berdialek mesra tentang penyikapan wacana prahara pralaya di Nusantara Hastina.
Sang mahaguru Semar mengawali dialog, “Salam atas kalian semua semoga senantiasa mendapat rahmat dan keberkahan dari Sang Hyang tertunggal. Selamat sore para tokoh-tokoh gila yang rela mencurahkan pemikirannya demi satu bangsa dan negara tanpa pembeda. Saya sebagai moderator akan memimpin jalannya sidang komisi ini, meskipun nyatanya sidang ini tak seperti sidang-sidang para pejabat dewan wakil rakyat di istana yang penuh gemerlap permadi permadani. Tapi toh bukan menjadi masalah karena kita memang telah terbiasa berdialek di alas lesehan dengan camilan ringan pasaran rakyat. Lalu yang tak kalah penting silakan di sruput kopinya”.
Nampaknya hanya hanoman yang tak meneguk kopi hitam didepannya, wajar saja karena memang dirinya hanya doyan air putih sesuai dengan fitrah dirinya si kera putih. Tiba-tiba Anggada menyahut pembicaraan dengan lantang, “Maaf, Bukankah kita bertiga bangsa wanara, mengapa kita harus diikutkan menanggung derita prahara di hastinapura ?”
“Anggada, bukankah Sang Hyang Tunggal menciptakan mahluk dengan satu kesatuan laksana simpulan tali berbentuk bulatan lingkaran yang kedua ujungnya saling terikat erat satu sama lain ?, Lalu bukankah bangsa kiskenda sejak kala juga telah ikrar dibawah Nusantara Ayodya yang bermetamorfsis menjadi Hastina ?, Lantas apa alasan untuk tidak berkontribusi pada negara kesatuan ini ?” Kata Sugriwa menayahut perkataan dari sepupunya sendiri.
Alhasil putra resi sakti Subali tersebut terdiam usai mendengar pamannya Resi Sugriwa. Disisi lain Ki Bagong dengan nada ceplas-ceplos, “Sudah hentikan perdebatan ini, Anggada jika engkau tidak berkenan untuk ikut persidangan maka Walk Out saja sana, toh engkau sudah mendapati keinginanmu yaitu kopi gratis kan”
Ketegangan suasana tercairkan gegara candaan dari Bagong, wajar karena memang Bagong dikenal mempunyai nuansa selera humor yang kerap mampu mengocok perut pendengar, apalagi dengan fisik gendutnya semakin menambah humoritas Bagong, karena memang Bagong tercipta dari bayangan gurunya- Kyai Lurah Smarasanta titisan Cahya Batara Ismaya. Sebab itu pula Bagong kerap menjadi yang terdepan dari dua punokawan lainnya (Ki Petruk dan Ki Gareng) dalam mendapatkan kepercayaan dari Gurunya Kyai Semar. Ketiganya juga kerap berlomba-lomba menujukkan abdinya pada Kyai Semar seperti saat berlomba-lomba merapikan sandal sang guru tartkala bersembahyang atau ketika membantu menyiapkan hidangan kopi panas dalam pertemuan.
Kembali ke persidangan komisi tujuh wayang, kembali Kyai Semar beropini tentang cakrawala pengetahuannya menyikapi fenomena, “ Semua khalayak mengetahui bahwa Jimat Jamus Kalimasada merupakan senjata yang tak terkalahkan dan popular di kalangan para tetua, rara-raja, hingga ksatria se jagat lil alamin. Barangsiapa yang memiliki Kalimasada maka dia akan menjadi seorang raja, inilah rahasia dibalik kekuatan Kalimasada yang kerap membuat para tetua dan ksatria sakti mandraguna mencoba mengkudeta Prabu Puntadewa dari kasta istana demi merebut Jamus Kalimasada. Sebelum akhirnya mustika ini pernah raip dicuri oleh Dewi Ning Mustakaweni dari kerajaan Imantaka dan direbut oleh Raja Welgeduwelbeh melalui siasat guraunya, bukankah demikian Ki Petruk ?”. Celoteh Kyai Semar menoleh kehadapan putra angkat sekaligus abdiya Ki Petruk.
Memang dulu Petruk pernah menjadi seorang raja Lojitengara pasca berhasil memanfaatkan kekacauan perebutan Kalimasada di negeri Imantaka dan mengambil secara Siri Kalimasada milik Prabu Puntadewa, Alhasil ia pun menjadi seorang raja Lojitengara dengan julukan Prabu Welgeduwelbeh sebelum akhirnya dikudeta tanpa darah oleh saudara seperguruan Ki Lurah Bagong hingga pada akhirnya pusaka Jamus Kalimasada dipulangkan kembali ke Prabu Puntadewa sang pemilik asli jimat sakti tersebut.
“Hahaha, dasar raja Welgeduwelbeh hobinya selalu mencuri barang hasil curian berdalih menegakkan keadilan, meski nyatanya ia menikmati barang haram bukan haknya itu pula”. Ungkap Ki Petruk membincang dirinya sendiri.
“Efeknya tahta yang diraihnya diambil lagi oleh Sang Hyang Maha Tunggal karena memang media Kalimasada yang ia gunakan bukanlah haknya alias berstempel curian”. Sahut Ki Bagong menyindir Ki Petruk, yang sebenarnya ia merupakan tokoh utama yang membuka kedok Ki Petruk dari singgasana Lojitengara kala.
“Sudah-sudah, kembali ke pembahasan utama. Kalian tahu mengapa para tetua negara Imantaka atau bahkan Prabu Welgeduwelbeh yang luhur bertahta tak lama tak seperti Prabu Puntadewa, walaupun mereka telah memiliki mustika Jamus Kalimasada yang memiliki keistimewaan bahwa penjaga mustika tersebut akan menjadi seorang raja atas sebuah tahta ?” Papar Kyai Smarasanta.
Semua tokoh pewayangan yang hadir di persidangan tersebut geleng-geleng kepala, termasuk Ki Petruk dengan wajah memerah efek sindiran bertubi-tubi dari Punakawan lainnya.
Kyai Lurah Semar kembali berwejang panjang; “Sebenarnya ada tiga pihak yang mengetahui rahasia Prabu Puntadewa terkait kesuksesannya memerintah Nusantara hingga ia mokhsa, meski ia telah kehilangan mustika Kalimasada yang telah dicuri oleh Ning Mustakaweni. Hal ini karena darma Kalimasada telah merasuk dalam qolbu Puntadewa, selain itu Prabu Puntadewa juga mempunyai mustika sakral sebagai penyempurna Kalimasada, selain Sang Prabu hanya daku dan Resi Kresna yang mengetahui rahasia ini, karena memang kita berdua merupakan dewan pertimbanan presiden Hastina dimasa kepemimpinan Prabu Puntadewa. Mustika tersebut bernama “Garda Panca Sirah” yang mempuyai keistimewaan sebagai pelengkap Kalimasada. Barang siapa yang mempunyai dua mustika sakti tersebut ; Kalimasada dan Garda Panca Sirah dan mengamalkan amalan darma dari mustika tersebut maka ia akan menjadi titisan Sang Hyang Tunggal sebagai Khalifah Fil Ardh. Raden Prabu Puntadewa contohnya, beliau menjadi pemimpin yang luhur dan senantiasa dihormati rakyatnya hingga mokhsa di masa senja. Sedang Raja Welgeduwelbeh meskipun ia juga punya pondasil luhur tapi ia tidak cukup mumpuni mengamalkan darma Kalimasada, karena jimat mustika tersebut didapat tanpa restu pemilik aslinya, selain alasan bahwa ia juga tidak memiliki Mustika Garda Panca Sirah. Selain itu agar khasiat mustika Garda Panca Sirah keluar ketajiannya maka pemiliknya terlebih dahulu harus tirakat mengamalkan Panca Dharma sebagai syarat mutlak agar keistimewaan mustika tersebut keluar, ini letak kesulitan dari Garda Panca Sirah yang bukan hanya sebagai pusaka individu atau pun pusaka kemanusiaan melainkan juga berposisi sebagai pusaka kenegaraan.”
“Setelah wafatnya Prabu Puntadewa mustika tersebut raip entah kemana, menyisahkan Jimat Kalimasada yang juga tak lagi bertaji, imbas jimat tersebut hanya dipandang secara fisik saja tanpa darma pengamalan tersirat dari jimat jamus kalimasada. Tak adanya Garda Panca Sirah juga semakin membuat tuah Kalimasada semakin tak bertaji laksana pisau berkarat tanpa media asahan. Selain itu untuk menekan gejolak kemanusiaan hastina akhibat efek negatif senjata globalisasi yang sudah menjamur maka kita membutuhkan mustika Garda Panca Sirah sebagai penyempurna jamus Kalimasada”
“Lantas bagaimana kita harus menemukan mustika Garda Panca Sirah wahai Maha Guru Smarasanta ?, tanya Hanoman dengan penuh keseriusan.
“Browsing saja di Search Engine Google Hanoman Si Wanara Putih !!!”, Sahut Ki Gareng dengan menyodorkan tablet miliknya kearah Hanoman.
Disisi lain Kyai Semar tertawa ketika mengetahui bahwa Ki Gareng gagal menemukan dimana Mustika Garda Panca Sirah berada meski dirinya telah menggunakan berbagai aplikasi mulai Hostpot Shild hingga menjelajah Deep Net, namun dirinya tetap tak menemukan petunjuk dimana Mustika Garda Panaca Sirah itu berada. “Hahahaha, Gareng muridku engkau mencari di situs mana saja tentu engkau pasti tak akan menemukan petunjuk dimana Garda Panca Sirah berada, karena memang mustika itu bukan mustika biasa yang dapat digapai dengan cara instan melainkan tentu membutuhkan sebuah tahapan proses keseriusan dalam pencarian.”
“Menurut hipotesis penelitian disertasiku terkait mustika Garda Panca Sirah bahwasahnya daku hanya menemukan pemaparan bahwa burung Garuda-lah yang mengetahui dimana Prabu Puntadewa menyimpan mustika kenegaraan tersebut, hipotesis ini dikuatkan dengan fakta bahwa burung Garuda dijadikan maskot kenegaraan hastina”. Papar Kyai Semar sekali lagi.
“Garuda yah, sekali lagi Garuda menjadi pahlawan utama cerita karmapala. Dulu Garuda yang memberikan sandi pada Prabu Sri Rama tentang peristiwa penculikan Ayunda Dewi Sinta oleh Rahwana si Angkara murka. Garuda pula yang membantu pasukan aliansi Kiskenda – Ayodya dari serangan ular berbisa dari panah sakti Naga Saka kepunyaa Prabu Indrajit. Pantas jika Garuda mendapat amanat kepercayaan Prabu Puntadewa sebagai kunci utama mendapatkan informasi dimana mustika Garda Panca Sira berada.” Kata Wanara tua Resi Sugriwa yang memang merupakan salah satu ksatria yang pernah mengenal dekat dengan salah satu dari Garuda bernama Jatayu yang mokhsa akhibat bertempur melawan prabu Rahwana kala.
“Sidang para pewayangan ditutup dengan sebuah naskah baru “mencari garuda”, guna mencari kejelasan dimana mustika Garda Panca Sirah berada. Mustika kenegaraan yang diharapkan mampu mengatasi prahara kemanusiaan yang menerjang Hastina akhibat dampak negatif senjata bernama Globalisasi yang kerap membawa virus provokasi tanpa rasionalisasi.” Tutur Ki Gareng mengutip simpulan Mahaguru Kyai Lurah Semar dalam sebuah caption di akun instagram miliknya disertai dengan sebuah foto Gunungan yang menandai akhir sebuah sandiwara.
Oleh: Rizal Nanda Maghfiroh