Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Moh. Sobakhul Mubarok

Verify Penulis
Di Portal Berita
Pewarta Nusantara
Moh. Sobakhul Mubarok adalah penulis di Pewarta Nusantara
Moh. Sobakhul Mubarok Moh. Sobakhul Mubarok
5 tahun yang lalu

Dunia tengah mengalamai penetrasi yang begitu cepat dan dilahap dengan rakus oleh sisi keserakahan manusia. Sehingga perlu adanya kontrol atas kerusakan lingkungan yang kian mengglobal. Kerusakan lingkungan yang mengglobal antara lain disebabkan karena pemanasan global (gas-gas yang menyerap dan menahan panas dari matahari sehingga  mencegah kembali keruang angkasa), penyusutan ozon, hujan asam (berkaitan dengan pembakaran bahan bakar fosil yang bercampur dengan uap air di awan), sampah padat, dan penyusutan cadangan mineral. Sehingga, fenomena ini memunculkan gerakan-gerakan kepedulian atas kelestarian lingkungan.

Gerakan kepedulian atas lingkungan mulai marak pada tahun 1970-an, hal ini ditandai dengan terbitnya thesis berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis (Lynn White, 1967) dan The Tragedy of The Commons (Garet Hardins, 1968). Thesis ini berangkat dari kegelisahan atas kerusakan alam akibat pola industry dan prilaku konsumtif manusia yang tidak memperhatikan lingkungan. Kegentingan dari situasi ini memuculkan penetapan United Nations Environ­ment Programme (UNEP) dan Hari Lingkungan Sedunia (5 Juni) oleh PBB (15 Desember 1972). Penetapan ini sebagai bentuk respon atas gerakan peduli lingkungan dan upaya mengkampanyekan kesadaran pada masyarakat ditengah populasi yang kian membludak.

Ledakan populasi ini menjadi problem yang secara tidak langsung sangat berpotensi mengesampingkan bahkan merusak tatanan ekologi. Adam Smith dalam Wealth of Nations menyatakan perlu adanya kontrol dari orang – orang sebagai suatu prosedur untuk mewujudkan populasi yang optimal. Mustahil meminimalisir populasi atau dengan kata lain merepresi pertumbuhan populasi menjadi nol. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah mengoptimalkan populasi. bukan pada tataran kuantitas, tetapi kualitas.

Mengoptimalkan populasi di sini, salah satunya adalah dengan memberikan pemahaman mengenai makna kebebasan. Pada umumnya kebebasan diartikan sebagai hak untuk melakukan apa saja sesuka hati. Hal inilah yang turut menjadi pemicu banyaknya eksploitasi berlebihan dan masalah lingkungan yang merugikan berbagai pihak. Dengan kata lain seperti yang ditulis oleh Garrett Hardin dalam thesisnya “Freedom in a commons brings ruin to all”.

Perkembangan sosial ekonomi yang dinikmati masyarakat, tentu melahirkan pola baru dalam hal sosial ekonomi. Masyarakat cenderung konsumtif dan kurang memiliki komitmen untuk menciptakan pola kehidupan ekologis yang tumbuh dari kesadaran atas lingkungan hidup. Secara konkret, kita dihadapkan pada masalah sampah plastik yang telah mengepung lingkungan hidup kita.

Itulah headline halaman pertama di Harian Solopos edisi 5 Maret 2019 dengan tajuk Sehari, Sejuta Kresek Beredar di Solo. Headline ini seolah menjadi tamparan keras, bahwa dampak dari pertumbuhan sosial ekonomi, nampaknya masih belum didukung oleh kesadaran untuk menciptakan lingkungan hidup yang asri dan ramah huni.

Di negeri dengan tingkat kesadaran ekologis dan kontrol sosial yang kuat, semua elemen perdagangan diharuskan mengurangi penggunaan kemasan plastik dengan cara menganjurkan, bahkan mewajibkan, masyarakat atau konsumen membawa tas belanja. Hal ini sebagai bentuk tanggungjawab dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan

Kebebasan yang tidak bertanggungjawab seringkali mengakibatkan penderitaan bagi banyak pihak. Garrett Hardindalam thesisnya menyampaikan bahawa, dampak hebatnya memang tidak terjadi di awal, tetapi ketika jumlah populasi meningkat dan keseimbangan alam mulai terganggu, maka permasalahan akan terus membengkak. Sehingga, dibutuhkan semacam pemaksaan berbentuk aturan atau hukum tertulis, sanksi, dan atural non formal yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat serta stakeholders. Edukasi atas pentingnya kelestarian lingkungan hidup juga sangat diperlukan untuk membentuk kesadaran akan kebebasan yang tidak merusak alam.

Moh. Sobakhul Mubarok Moh. Sobakhul Mubarok
5 tahun yang lalu

Mengatasnamakan pemanfaatan lingkungan seringkali menjadi legitimasi utama dari pola  antroposentris. Kiris ekologi di Indonesia misalnya, sampai pada tahap Orde paling baru seperti sekarang-pun, pemerintah belum berani tampil sebagai pahlawan atas persoalan ini. Terbukti dalam debat capres, tidak tajamnya pembahasan isu ekologi dalam debat semakin menunjukkan rendahnya komitmen masing-masing kandidat terhadap pelestarian lingkungan hidup.

Seperti halnya laju deforestasi yang tinggi, tata kelola kehutanan tampaknya tak kunjung membaik. Empat penyebab tidak langsung dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah: (a) perencanaan tata ruang yang tidak efektif, (b) masalah-masalah terkait dengan tenurial, (c) pengelolaan hutan yang tidak efisien dan efektif, dan (d) penegakan hukum yang lemah serta maraknya korupsi di sektor kehutanan dan lahan (UNDP, 2013).

Forest Watch Indonesia memaparkan laporannya dalam sebuah buku berjudul: Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 1996-2000 dan Periode 2009-2013. Laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta hektare per tahun. Pada rentang 10 tahun berikutnya, laju deforestasi mencapai 1,5 juta hektare per tahun (FWI, 2011).

Mulai dari dekade 1960 sampai dekade 1980-an, sumberdaya hutan alam Indonesia pernah menjadi primadona ekonomi penghasil devisa Negara.  Namun faktanya, kejayaan ini mulai meredup pada dekade 1990-an dan terus menurun hingga dekade sekarang. Kekhawatiran mendasar dari kondisi ini memunculkan  pertanyaan “apakah kita sedang menapaki jalan yang salah dalam mengelola sumberdaya alam di Indonesia?”.

Politik kehutanan Orde Baru, secara fundamental telah merubah hak penguasaan sumberdaya kehutanan dari traditional customary property rights menjadi state property rights. Politik kehutanan ini tidak hanya berdampak bagi ekosistem hutan, tetapi juga bagi harkat hidup masyarakat setempat yang kehidupannya hanya bertumpu pada stabilitas hutan.

Warisan paradigma Orde baru masih menjadi bottleneck dalam tata kelola kehutanan. Namun demikian, tampaknya upaya pembenahan tata kelola kehutanan dan lingkungan di Indonesia terus dilakukan secara serius, tampaknya demikian.

Persoalan lingkungan hidup di Indonesia tak berhenti di isu kehutanan saja. Konflik agraria, reklamasi, privatisasi air, pertambangan dan perkebunan, begitupun di lingkungan perkotaan seperti persoalan sanitasi, akses air bersih, permukiman kumuh, banjir, dan polusi yang senantiasa menggerus ekosistem. Selain itu, persoalan eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil juga tak bisa dianggap remeh. Justru semakin intensifnya aktivitas pemanfaatan lahan untuk kegiatan investasi ekstraktif, mengakibatkan fungsi-fungsi dasar ekosistem pulau-pulau kecil mengalami instabilitas.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global mencatat bahwa dalam kawasan MIFEE tidak berlaku moratorium. Pembangunan mega agro-industrial MIFEE seolah bertolak belakang dengan kebijakan moratorium hutan. Klausul revisi kebijakan tersebut adalah turut mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan melalui program 12,7 hektar, Namun faktanya nihil (mongabay.co.id, 27/5). Fakta ini menunjukkan bahwa, telah terjadi pemiskinan struktural, perampasan ruang hidup dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat.

Belum lama ini, Kasus Rembang, Pati, dan tentu saja kasus lumpur Lapindo adalah sebuah milestone persoalan krisis ekologi di Indonesia. Kasus yang juga masih hangat di telinga, penolakan tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu warga Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur, dicemari tuduhan menyebarkan komunisme. Sangkaan itu bermula ketika dua spanduk penolakan tambang, terdapat logo palu-arit. Para pegiat lingkungan di Jawa Timur, meyakini penersangkaan ini hanyalah cara licik untuk menyurutkan perjuangan warga dalam penolakan tambang, (Tribunnews.com 03/01/2018). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih dihadapkan dengan berkelindannya masalah ekologi. Pembangunan berkelanjutan sebagai agenda Millenium Development Goals (MDGs) dan realisasi agenda Post-2015, harusnya berpangkal pada political will yang kuat atau bisa disebut juga sebagai komitmen politik lingkungan dari pemerintah.

Langkah yang paling strategis, pemerintah harus benar-benar menegakkan law enforcement di bidang tata kelola ekologi, misalnya mencabut izin bagi perusahaan yang nakal dan memberlakukan regulasi yang sesuai dengan visi pembangunan berkelanjutan. Selain itu, peran aktif masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mengawal visi pembangunan berkelanjutan. Sehingga Commitment to Sustainability dari masing-masing pihak entah pemerintah, korporasi dan lembaga-lembaga bukan hanya lip service belaka, yang tak lebih dari retorika sumir tentang komitmen berkelanjutan.

Agro-Maritim 4.0 memandang darat, laut, dan udara sebagai satu kesatuan sistem sosial, ekonomi, dan ekologi kompleks yang harus dikelola dengan pendekatan transdisiplin, terpadu, dan transformatif yang diarahkan pada karakteristik agroindustry 4.0. Sehingga, memungkinkan terciptanya keterhubungan dan keterpaduan, real-time, beracuan data dan informasi, frontier technology. Artinya semua aspek harus terhubung dan bekerja secara sinergis. Rantai pertanian hulu ke hilir terkoneksi terpadu dan terintegrasi.

Moh. Sobakhul Mubarok Moh. Sobakhul Mubarok
5 tahun yang lalu

Hazanah keilmuan nusantara kembali diwarnai dengan hadirnya sebuah buku berjudul Ethiosophia karya Fawaid Abrari. Istilah Ethiosophia ketika saya menjelajahi google, kata-kata tersebut masih dalam revisi, atau tidak ditemukan dalam kamus google. Berulangkali saya memasukkan istilah tersebut, google tetap tidak memberi jawaban apapun atas rasa penasaran saya. Artinya, istilah tersebut adalah sesuatu yang baru. Istilah ethiosophia membuat saya harus mengercitkan dahi, sebuah ekspresi aneh disatu sisi, sekaligus rasa penasaran disisi lain. Apa yang dimaksud dengan istilah Ethiosophia? Sempat Saya menduga-duga, istilah Ethiosophia ini mirip-mirip dengan istilah yang kerap digunakan dalam tradisi filsafat.

Saya pun melakukan upaya untuk memuaskan rasa penasaran itu, akhirnya saya menghubungi belibisbook.com sebagai penerbit yang merilis buku ethiosophia itu. Ternyata, buku tersebut masih baru open PO. Saya pun memesan buku tersebut. Namun, rasa penasaran saya tidak bisa menunggu terlalu lama. Karena Usaha ini tidak memberikan hasil apa-apa, akhirnya saya harus mencari cara lain bagaimana kegelisahan ini menemukan jawabannya.

Era millenial, era sosmed, era teknologi, semua menjadi ringkas dan mudah. Melacak nama penulis melalui akun-akun sosmed yang senama dengan nama tersebut bukan hal yang sulit. Singkat cerita, setelah melalu beberapa tahap, saya berhasil menemuinya, yang ternyata penulis tersebut selalu saya lihat ketika saya ngopi di Belandongan – tongkrongan tempat mahasiswa-mahasiswa yogyakarta menghabiskan usianya dihadapan secangkir kopi. Tanpa ragu saya menemuinya, saya berbicara dengannya, bisa disebut semi wawancara. Disini saya merasa akan menemukan jawaban atas rasa penasaran terhadap buku Ethiosophia.

Tanpa basa-basi, pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut saya, apa sih Ethiosophia? Dengan senyum ramah, mas Fawaid Abrari penulis buku itu memberi jawaban teka-teki. Ia mengajukan pertanyaan, “anda beriman?” Saya jawab iya. “Anda bermoral?” Iya. Nah itulah Ethiosophia. Dengan rasa tidak menemukan jawaban, saya mengangguk seolah mengerti. Kembali saya menduga, barangkali inilah yang dalam ulasannya bahwa dalam buku ini, pembaca akan menemukan pelik-pelik argumentasi mengenai iman.

Berawal dari obrolan hangat di warung kopi, akhirnya jawaban yang saya tunggu pun tiba. Ia mulai angkat bicara mengenai Ethiosophia. Seperti yang sayaduga, ternyata benar Ethiosophia memang bahasa serapan dari istilah-istilah dalam tradisi filsafat yunani. Yakni Ethos dan sophia. Akhirnya, saya merasa tidak asing dengan istilah tersebut. Ethos bermakna etika dan sophia bermakna kebijaksanaan. Apa anggle nya? Apa kaitannya dengan iman.? Tanya saya. Jawaban Fawaid Abrari itu memberi sedikit gambaran secara garis besar bahwa, Ethiosophia mencoba merumuskan kehendak dalam jiwa sebagai sumber moral di satu pihak, dan iman sebagai kondisi terdalam bagi hati masing-masing manusia di lain pihak, menunjukkan bahwa iman dan moral memiliki keterkaitan, sebelum akhirnya ia lahir sebagai sikap moral (moralitas) yang bijaksana dalam realitas sosial.

Apa maksud dengan menembus batas rasionalitas? Lanjut saya. Rupanya, menembus batas rasionalitas adalah upaya kongkrit agar iman tak hanya bermakna percaya, semacam omong kosong untuk legetimasi absurditas metafisik, dan agar agama tak sekedar dokrin an sich, maka mendefinisikan keduanya menjadi sesuatu yang rasional, adalah keharusan bagi makhluk notabene menjunjung tinggi rasionalitas. Ethiosophia dengan segala upaya menembus absurditas menjadi sesuai yang secara rasional bisa bertahan dihadapan nalar manusia. Sehingga, iman menjadi satu-satunya sumber kehendak bagi lahirnya segala kebikjasanaan dalam moralitas manusia. Saya megangguk-ngangguk sambil berfikir dalam hati, bahwa ini adalah suatu warna kajian epistemologi yang relatif baru bagi hazanah keilmuan nusantara.

Saya mencoba menggali lebih dalam untuk menghasilkan kesimpulan dalam ulasan ini. Namun belum sempat dilanjutkan, ia berujar dalam buku Ethiosophia nanti anda akan menjumpai berbagai hal yang sebelumnya tidak sempat anda pikirkan bahkan anda bayangkan mengenai dimensi iman dan agama. Kalimat tersebut menjadi pemungkas dalam perbincangan kami di warung kopi. Akhirnya, dengan diskusi ini, saya merasa tidak rugi memesan buku tersebut untuk saya mengobrak-abrik isinya dan kajian epistemologinya. Dan saya tergugah, ketika sang penulis bilang, bahwa jika anda merasa sebagai makhluk rasional maka membaca buku ini adalah sebentuk kaharusan untuk menjawab absurditas Tuhan dalam imanmu. Semoga anda semua berniat sama untuk membantu saya mengobrak-abrik isi dari buku Ethiosophia ini.