Bioagrafi Jean-Paul Sartre, Filsuf dari Perancis

Pewartanusantara.com - Tokoh ini adalaha seorang filsuf kontemporer Perancis bernama Jean-Paul Sartre. Dia merupakan pengikut Eksistensialism, sebuah paham filosofi yang mengagungkan kebebasan dari seorang manusia. Jean-Paul sangat produktif dalam berkarya hingga ia meraih penghargaan Nobel Prize for Literature pada tahun 1964, namun dia menolaknya. Lalu, bagaimana biografi Jean-Paul Sartre? Ini detailnya.
Riwayat Pendidikan
Jean-Paul menjadi yatim pada usia masih sangat belia sehingga dia tinggal bersama kakek dari ibunya, Carl Schweitzer. Dia adalah paman dari misionaris di bidang kesehatan Albert Schweitzer. Carl sendiri seorang profesor di Sorbonne, Jerman.
Jean-Paul kecil mengembara hingga Luxembourg Gardens di Paris merasakan sulitnya mencari teman bermain saat penampilannya mungil dan bermata juling. Pada autobiografinya, ia menyebutkan bahwa dunia yang menolaknya justru membangun keagungan dirinya melalui tulisan.
Jean-Paul kemudian pindah ke Lycee (Sekolah Menengah Atas) Henri IV saat ibunya menikah di La Rochelle. Dari sana dia menuntut ilmu di École Normale Supérieure yang berkelas dan lulus tahun 1929. Saat itu ia membentuk gerakan menolak pernikahan ala borjuis bersama Simone de Beauvoir.
Gerakan ini menggalakkan kembali pernikahan yang paten dalam hidup, tidak bergonta ganti pasangan seperti kaum borjuis. Pada tahun 1931-1945, Jean-Paul mengajar di SMA Le Havre, Laon, dan Paris. Karirnya terhenti dua kali, saat dia belajar di Berlin, dan saat dia dipenjarakan saat Perang Dunia II.
Karya Sang Tokoh
Ketika mengajar di Le Havre, Jean-Paul mulai menerbitkan karya tulisnya yang berjudul La Nausée atau Nausea (1938) yang disebut pada biografi Jean-Paul Sartre. Ini adalah sebuah novel yang ditulis dalam bentuk buku harian dengan cerita yang mengkonfrontasi dunia materi yang berhubungan dengan masyarakat dan kepedulian yang tinggi atas tampilan fisik sebuah objek.
Tokoh utamanya, Roquentin, sedang berada di trem dan dia meletakkan tangannya di kursi. Namun dia menariknya tiba-tiba karena kursi itu memberikan perasaan aneh. Ia melihat sebuah benda dengan potongan kayu, entah dari pohon apa, dibentuk, dipaku, dipoles sehingga disebut kursi sebuah trem.
Roquentin hingga harus mengingatkan diri bahwa objek itu hanya sebuah benda untuk diduduki. Waktu yang cukup singkat itu disebut Jean-paul sebagai "Absurditas Dunia." Absurditas menurut eksistensialis adalah sebuah teknis mencari jawaban dalam dunia yang tanpa jawaban dari alam.
Berangkat dari karya pertamanya, Jean-Paul lantas tertarik pada metode fenomenologi oleh Edmund Husserl tentang paham Eksistensialisme. Menurutnya, eksistensi atas sesuatu lebih penting dari esensi sesuatu. Esensialisme telah berkembang ratusan tahun sejak Plato dan Aristoteles.
Paham Eksistensialisme dan Teori Abundansi Kebebasan Jean-Paul
Jean-Paul di abad ke-20 melanjutkan paham Eksistensialisme dan berprinsip bahwa eksistensi ada mendahului esensi. Maksudnya, manusia terlahir dahulu untuk selanjutnya baru menentukan siapa diri kita. Esensi terbentuk saat manusia mulai membuat pilihan-pilihan dalam hidup. Manusia bahkan tidak ditakdirkan untuk menjadi apa sebelumnya karena tak ada jalur yang pasti untuk mecapai esensi diri kita.
Selain Eksistensialisme, Jean-Paul juga memunculkan teori abundansi kebebasan. Teori ini mengungkapkan bahwa kebebasan adalah hal yang menyeramkan karena justru kebebasan membuat dunia ini tak memiliki tujuan dan makna tertentu. Kebebasan yang berlimpah atau dalam abundansi ini membuat manusia terus mencari makna hidup, dengan sangat bebas, menyakitkan dan mengejutkan.
“It's quite an undertaking to start loving somebody. You have to have energy, generosity, blindness. There is even a moment right at the start where you have to jump across an abyss: if you think about it you don't do it.”
Biografi Jean-Paul Sartre penuh dengan teori kehidupan manusia dan hubungannya dengan eksistensi diri sendiri. Pengetahuan ini bahkan memerdekakan paham ateis dan membuat manusia seperti tidak butuh Tuhan. Pengakuan kehidupan yang tak ada makna tertentu dan tidak terikat takdir tertentu adalah sebuah beban status quo yang dicetuskan Jean-Paul Sartre.
Baca juga: Biografi Edmund Husserl, Seorang Bapak Fenomenologi
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida