Culture
PEWARTANUSANTARA.COM - Desain Rumah Adat dari Jawa Timur hampir serupa dengan Jawa Tengah yang mana disebut sebagai Rumah Joglo. Akan tetapi rumah joglo di Jawa timur memiliki ciri khas yang berbeda. Di mana mengandung makna filosofis yang mencerminkan masyarakat Jawa Timur.
Rumah adat ini biasa disebut masyarakat sebagai Joglo Situbondo. Mempunyai bentuk limas yang masih banyak bangunannya di wilayah Ponorogo.
Memang dari luar rumah ini tampak sama dengan Rumah Jawa Tengah. Akan tetapi ada ciri khas yang melekat dalam rumah Joglo Situbondo ini. Paling utama ialah kayu jati yang dipakai sebagai bahan dasar.
Kokohnya kayu jati inilah yang banyak di manfaatkan masyarakat dahulu. Mulai dari dinding, tiang bahkan sampai lantai.
Pendopo Rumah Adat Jawa Timur
Uniknya dalam rumah Joglo ini hanya terbagi menjadi dua bagian saja. Pertama adalah ruang pendopo, yang ukuranya luas karena tempat menerima tamu. Selain itu ruangan ini juga merupakan balai pertemuan warga.
Ruang Belakang
Sedangkan satu lagi ialah ruang belakang. Nah, dalam ruangan ini dibagi menjadi dua, kamar dan dapur. Disekat oleh dinding yang terbuat dari kayu.
Selain itu kalau dari luar rumah Joglo ini mempunyai atap yang terbilang sangat tinggi, terutama di bagian tengah. Dengan ditambahkan dekorasi hiasan yang membuat rumah ini menjadi tambah mempesona. Ruangan bagian belakang yang terdiri dari kamar tadi dibagi atas 3 bagian yakni.
Kamar kanan
Kamar ini terletak pada bagian kanan rumah Joglo. Secara adat Jawa timur disebut sebagai sentong tangen.
Kamar tengah
Sedangkan untuk kamar tengah biasa disebut dengan nama lain sentong tengah. Secara khusus tidak ada pembagian kamar berdasarkan status keluarga. Jadi kamar bisa dipakai oleh siapa saja.
Kamar kiri
Sentong kiwa adalah kamar yang letaknya di bagian kiri rumah Joglo Situbondo.
Selain ciri tadi, ada hal yang hanya ditemukan di rumah Joglo Jawa Timur. Dekorasi yang ada pada bagian pintu. Yang mana selalu terdapat ukiran di dalamnya.
Masyarakat Jawa timur, lebih tepatnya pemilik rumah adat Jawa Timur percaya itu bisa melindungi dari bahaya. Sedangkan pada bagian kamar tengah mempunyai keunikan yang mana terdapat cermin dan sisir terbuat dari tanduk.
Dari keunikan tadi membuat rumah adat Joglo Situbondo ini mempunyai ciri yang berbeda dengan rumah adat di provinsi lainnya.
PEWARTANUSANTARA.COM - Rumah adat di Jawa Barat memiliki beragam jenis, dan setiap jenisnya memiliki nilai dan syarat khusus dengan makna yang mendalam.
Rumah adat ini menjadi pegangan dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Sunda, yang merupakan masyarakat asli Jawa Barat.
Desain dari Rumah Adat ini mencerminkan kearifan lokal dan kekayaan budaya masyarakat setempat.
Ada beberapa jenis rumah adat yang memiliki nama-nama yang berbeda di Jawa Barat.
Beberapa di antaranya adalah Jolopong, Badak Heuay, Jubleg Nangkub, Tagong Anjing, dan Perahu Kemureb. Setiap jenis rumah adat memiliki ciri khas dan karakteristik yang membedakannya.
Masing-masing rumah adat ini memiliki sejarah dan nilai-nilai budaya yang menjadi bagian penting dalam identitas masyarakat Jawa Barat.
Melalui pemahaman dan penjagaan terhadap rumah adat ini, kita dapat menghargai dan mempelajari kekayaan budaya serta kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Barat.
Rumah adat ini juga menjadi aset budaya yang berharga dan perlu dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.
Imah Julang Ngapak
Sesuai dengan namanya, rumah ini mempunyai ciri khas dari atapnya. Kalau anda cermati dengan baik, bagian atap seperti kepakan sayap seekor burung. Dengan sisi yang lebar kalau dilihat melalui depan dan dilengkapi cagak gunting.
Rumah Togog Anjing
Desain dari rumah ini bentuknya menyerupai anjing yang sedang duduk. 2 bidang atap yang disatukan serupa dengan bentuk segitiga. Ditambah dengan atap penyambung, biasanya masyarakat Sunda menyebutnya dengan sorondoy.
Rumah Badak Heuay
Bentuknya hampir serupa dengan Tagog Anjing. Akan tetapi, perbedaan terletak pada bagian suhunan. Atapnya dibuat melebihi tepi dari pertemuan dan kalau diperhatikan serupa dengan Mulut Badak. Banyak ditemukan di wilayah Sukabumi.
Rumah Jolopong
Nah, selanjutnya ada rumah adat Jolopong dengan atapnya lurus. Terdapat 2 bagian pada atap bersatu dengan panjang yang serupa. Jadi kalau dilihat, secara garis imaginer dari ujung satu dengan lainnya akan membentuk segitiga dengan kaki yang sama.
Itulah tadi beberapa jenis dari rumah adat Jawa Berat. Dari beberapa rumah yang tadi telah diulas ada salah satu yang dikenal masyarakat Indonesia.
Rumah ini juga banyak dibuat oleh masyarakat sunda lantaran dari cara membuatnya sangat mudah. Bahan yang dipakai tidak terlalu memakan biaya yang mahal.
Kalau melihat, dari namanya, maka Jololong artinya terlukai. Di mana yang menjadi ciri khas terletak pada bagian atap. Seperti yang telah disebutkan tadi. Demikian penjelasan mengenai rumah adat dari Jawa Barat.
Baca Juga: Rumah AdatProvinsi Maluku Utara (Sasadu)
PEWARTANUSANTARA.COM - Rumah Bolon dikenal sebagai ikon Rumah Adat dari provinsi Sumatra Utara. Rumah Bolon sendiri mempunyai banyak desain.
Suku Batak yang merupakan mayoritas penduduk asli Sumatera Utara memiliki banyak sub suku dengan bebagai karakteristik budaya yang berbeda-beda. Hal yang menjadikan Rumah Bolon mempunyai beragam desain.
Kendati mempunyai bebagai desain, terdapat karakteristik umum yang itu memberikan perbedaan dengan rumah adat di provinsi lainnya. Rumah Bolon adalah rumah panggung, yang seluruh bahan pembuatnya berasal dari alam.
Dengan tiang setinggi 1.75 meter, atap daun rumbia, lantai dari papan dan dinding berasal berasal dari anyaman bambu. Semuanya hanya diikat, sama sekali tidak mengunakan perekat seperti paku.
Awalnya rumah Bolon adalah kediaman raja Batak. Kemudian dipakai untuk rumah masyarakat Batak. Rumah adat ini terbagi menjadi beberapa ruangan.
Mulai dari ruangan untuk kepala keluarga (jabu bong), ruang anak perempuan (jabu soding), ruang untuk anak laki-tertua (jabu suhat), ruang tamu (tampar piring), ruang keluarga (Januari ronga rona) dan ruang menyimpan bahan pangan (kalong rumah).
Tak ada batasan dinding secara khusus, hanya ruang luas yang disekat oleh aturan adat.
Ciri Khas Rumah Adat Sumatera Utara Rumah Bolon
Rumah Bolon adalah salah satu rumah adat khas Sumatera Utara yang terdapat di daerah Toba, dan memiliki ciri khas yang unik dan berbeda dari rumah adat lainnya di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa ciri khas dari Rumah Bolon:
Bentuk Rumah Bolon
Rumah Bolon memiliki bentuk yang berbeda dari rumah adat lainnya. Rumah Bolon memiliki atap yang tinggi dan melengkung seperti tanduk kerbau. Atap rumah ini dibuat dari ijuk, sementara dindingnya terbuat dari kayu.
Ukuran Rumah Bolon
Rumah Bolon memiliki ukuran yang besar dan luas. Ukuran rumah ini dapat mencapai 25 x 16 meter dengan ketinggian sekitar 12 meter. Ukurannya yang besar ini karena rumah ini digunakan untuk tempat tinggal keluarga yang besar dan juga sebagai tempat pertemuan adat.
Tata Letak Rumah Bolon
Rumah Bolon memiliki tata letak yang unik dan teratur. Pintu masuk rumah ini hanya terdapat satu, di sisi depan rumah. Di dalam rumah, terdapat ruang tamu atau ruang tengah yang digunakan untuk pertemuan adat dan tempat berkumpul keluarga. Di sekeliling ruang tamu terdapat kamar-kamar yang digunakan untuk tempat tidur keluarga.
Material Pembuatan Rumah Bolon
Material pembuatan Rumah Bolon berasal dari alam sekitar. Kayu yang digunakan untuk pembuatan Rumah Bolon diambil dari hutan sekitar. Atap rumah terbuat dari ijuk dan genteng yang juga berasal dari alam sekitar.
Ornamen Rumah Bolon
Rumah Bolon memiliki ornamen yang khas dan unik. Ornamen tersebut terdapat di bagian atap rumah, pintu, dan jendela. Ornamen-ornamen tersebut biasanya terbuat dari kayu dan memiliki motif-motif khas Sumatera Utara seperti motif naga, burung, dan bunga.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rumah Bolon memiliki ciri khas yang unik dan berbeda dari rumah adat lainnya. Bentuk atap yang tinggi dan melengkung serta ukuran rumah yang besar, menjadikan Rumah Bolon sebagai ikon dari kebudayaan Sumatera Utara.
Material pembuatan dan ornamen yang khas juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih jauh kebudayaan Sumatera Utara.
Rumah Bolon dijadikan sebagai rumah adat dari Sumatera Utara tidak lain karena keunikannya. Dari situlah kemudian menjadi sebuah ciri khas yang bisa membedakannya dengan rumah adat lainnya.
Ciri khas Rumah Bolon diantaranya ;
Bagian atap rumah adat ini bentuknya menyerupai pelana kuda yang sempit dan begitu tinggi.
Bagian dinding rumah ini pendek, tidak dilengkapi plafon, dan diberikan anyaman untuk mempercantik tampilan rumah.
Bagian pintu depan terdapat gorga (lukisan hewan) yang letaknya tepat di atas pintu.
Cicak dan kerbau menjadi gambar yang dipilih. Cicak dianggap sebagai simbul rasa persaudaraan masyarakat Batak. Sedangkan kerbau sebagai bentuk dari ucapan terima kasih.
Baca juga: Rumah Adat Sumatera Barat (Rumah Gadang)
Demikian tadi sebagai singkat pemaparan mengenai Rumah Bolon, rumah adat provinsi Sumatera Utara.
Mengenal budaya masyarakat Batak bisa dimulai dari melihat rumah adatnya. Rumah Bolon menggambarkan sejarah, karakteristik dan nilai filosofis dari suku Batak di Sumatera Utara.
PEWARTANUSANTARA.COM - Rumah Gadang adalah Rumah Adat yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Orang Minangkabau atau suku asli dari provinsi ini umumnya bertempat tinggal di rumah tersebut.
Berdirinya Rumah Gadang ini tidak lepas dari yang namanya sejarah, dengan berbagai gaya yang berbeda. Belum lagi masalah struktur dan karakteristik dari rumah adat ini sangat mengandung unsur nilai filosofisnya.
Berbicara mengenai struktur dari rumah adat Minangkabau ini. Secara umum merupakan rumah dengan model panggung. Hampir keseluruhan bahan yang dipakai dalam membuat rumah Gadang berbahan dari lingkungan alam.
Walaupun demikian, rumah ini tetap mempunyai desain kuat, bahkan bisa tahan terhadap goncangan gempa sekalipun.
Ciri-ciri Rumah Adat Sumatera Barat (Rumah Gadang)
Ciri utamanya terletak pada tiang penyangga rumah Gadang ini. Di mana tiang bertumou pada tanah yang datar dan banyak bebatuan. Alhasil getaran kuat berupa gempa besar tidak bisa menggoyahkan kekuatan desain dari rumah adat Sumatera Barat ini.
Rumah adat Sumatera Barat adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri. Berikut adalah beberapa ciri-ciri rumah adat Sumatera Barat:
- Bentuk Bangunan: Rumah adat Sumatera Barat memiliki bentuk bangunan yang khas yaitu berbentuk limas atau segitiga sama kaki. Bentuk limas ini melambangkan filosofi kehidupan masyarakat Minangkabau yang berlandaskan pada adat merantau.
- Bahan Bangunan: Rumah adat Sumatera Barat umumnya dibangun dari kayu yang diukir dengan motif khas Minangkabau. Selain itu, bahan lain yang digunakan adalah bambu, daun kelapa, dan ijuk.
- Atap: Atap rumah adat Sumatera Barat berbentuk limas dengan atap yang menjulang ke atas, terdiri dari tiga lapis yang berbeda. Lapisan pertama dari ijuk, lapisan kedua dari bambu, dan lapisan terakhir dari daun kelapa.
- Ruangan: Rumah adat Sumatera Barat umumnya memiliki tiga ruangan, yaitu serambi (pendopo), tengah (ruangan keluarga), dan belakang (ruangan tidur). Bagian tengah biasanya terdiri dari beberapa bilik untuk masing-masing keluarga yang tinggal di dalamnya.
- Hiasan: Rumah adat Sumatera Barat dihiasi dengan ukiran kayu dan motif khas Minangkabau yang terkesan elegan dan indah. Motif yang umum digunakan adalah motif sulaman benang emas, motif teratai, dan motif semanggi.
- Fungsi: Rumah adat Sumatera Barat digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai tempat berkumpul dan beribadah. Serambi (pendopo) umumnya digunakan sebagai tempat menerima tamu atau tempat berkumpul keluarga.
- Lokasi: Rumah adat Sumatera Barat umumnya dibangun di pinggir sawah atau di atas bukit agar terhindar dari banjir dan juga dapat menikmati pemandangan alam yang indah.
Itulah beberapa ciri-ciri rumah adat Sumatera Barat yang membuatnya menjadi salah satu rumah adat yang unik dan kaya akan filosofi.
Baca juga: Rumah adat Bubungan Lima, Bengkulu
Bagian dan Fungsi Rumah Adat Sumatera Barat (Rumah Gadang)
Rumah Gadang, yang merupakan rumah adat tradisional masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, memiliki beberapa bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Berikut adalah penjelasan mengenai bagian dan fungsi dari Rumah Gadang:
1. Pagar Gadang
Pagar Gadang merupakan bagian pertama dari Rumah Gadang yang berfungsi sebagai pembatas antara ruang publik dan ruang privat. Pagar ini umumnya terbuat dari kayu yang diukir dengan motif-motif tradisional.
2. Anjuang
Anjuang adalah teras yang terletak di bagian depan rumah dan menjadi tempat beristirahat. Biasanya terdapat bangku panjang dan beberapa kursi kecil di sini, di mana penghuni rumah bisa bersantai sambil menikmati pemandangan.
3. Balairung
Balairung adalah ruang tamu utama yang terletak di tengah-tengah rumah dan berfungsi sebagai tempat untuk menyambut tamu. Ruang ini biasanya dihiasi dengan ornamen tradisional seperti ukiran kayu, sulaman, dan kain songket.
4. Sopo
Sopo adalah ruang keluarga yang terletak di sebelah kiri dan kanan Balairung. Ruangan ini biasanya dipisahkan oleh pintu geser atau tirai. Sopo seringkali digunakan sebagai tempat berkumpul keluarga, tempat bermain anak-anak, atau tempat istirahat.
5. Rumah Tua
Rumah Tua adalah ruangan yang terletak di belakang Balairung dan berfungsi sebagai tempat tinggal orang tua. Di sini, biasanya terdapat tempat tidur, almari, dan peralatan masak. Rumah Tua juga berfungsi sebagai tempat untuk merawat dan mengasuh cucu-cucu.
6. Bale Banua
Bale Banua adalah ruangan yang terletak di bagian belakang rumah dan berfungsi sebagai ruang keluarga terpisah untuk anggota keluarga tertentu, seperti anak laki-laki yang sudah menikah. Bale Banua memiliki akses langsung ke dapur dan toilet.
7. Dapur
Dapur adalah tempat memasak yang terletak di bagian belakang rumah dan berfungsi sebagai pusat kegiatan rumah tangga. Dapur di Rumah Gadang biasanya terdiri dari tiga atau empat tungku dengan pipa asap yang keluar melalui atap rumah.
8. Lubang Panjuang
Lubang Panjuang adalah lorong yang terletak di bawah atap rumah dan berfungsi sebagai saluran udara. Lubang ini memungkinkan sirkulasi udara yang lancar di dalam rumah dan menjaga kelembapan udara yang seimbang.
Demikianlah penjelasan mengenai bagian dan fungsi dari Rumah Gadang, rumah adat tradisional masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Dengan keunikan arsitektur dan filosofi yang terkandung di dalamnya, Rumah Gadang menjadi salah satu ikon budaya Indonesia yang kaya dan menarik untuk dipelajari.
Rumah ini memang salah satu ikon budaya masyarakat Sumatera Barat. Namun, dahulu ini hanya dijadikan sebagai sebuah tempat tinggal bagi keluarga Minang. Di mana desainnya dibuat sesuai dengan aturan adat yang diberlakukan. Beberapa aturan adat itu disesuaikan dengan fungsi atau kegunaan. Sebagaimana pembahasan berikut ini ;
Semua bagian dalamnya merupakan ruang lepas, terkecuali ruang tidurnya.
Kamar yang ada di dalamnya jumlahnya sesuai dengan jumlah perempuan yang mendiami rumah tersebut.
Pada halaman yang terdapat di depan rumah, ada 2 Rangkiang. Ini merupakan bangunan dengan fungsi sebagai tempat penyimpanan bahan pangan seperti padi.
Di bagian kiri dan kanan rumah Gadang, terdapat anjung. Tempat untuk bersanding pengantin atau pemilihan kepala adat.
Dalam sebuah kompleks terdapat satu surau yang merupakan tempat untuk beribadah, belajar atau bahkan tempat tinggal bagi lelaki bujang.
Demikian tadi secara umum informasi mengenai Rumah Gadang. Banyak kandungan filosofis yang bisa ditemukan dari rumah ini. Perbedaan jelas bisa dilihat dari desain atap.
Seluruh rumah Gadang selalu mempunyai atap serupa dengan tanduk kerbau. Hal tersebut mengandung arti kemenangan. Selain itu, dari hiasan ukiran yang terdapat di rumah ini. Sebuah ciri khas yang tidak bisa ditemukan di rumah adat lainnya.
PEWARTANUSANTARA.COM - Selaso Jatuh Kembar merupakan Rumah Adat yang berasal dari provinsi Riau. Tidak jauh berbeda dengan rumah adat di pulau Sumatera. Rumah adat Riau ini bentuknya ialah rumah panggung dengan ukuran yang besar dan mempunyai selaso atau selasar.
Dimana posisinya lebih rendah dibandingkan dibagian ruang tengah. Bila mana anda melihat rumah adat ini secara keseluruhan, terbuat dari bahan alam. Mulai dari atap, dinding bahkan sampai dengan lantainya.
Semuanya terbuat dari bahan alami yang kualitasnya sangat bagus.
Ciri-ciri Rumah Adat Riau Selaso Jatuh Kembar
Rumah adat Riau merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Riau. Berikut adalah beberapa ciri-ciri rumah adat Riau:
- Bentuk rumah: Rumah adat Riau memiliki bentuk yang tinggi dengan atap yang melengkung ke atas (limas). Bagian ujung atap dihias dengan ukiran yang khas, biasanya menggambarkan hewan seperti burung, ikan, atau naga.
- Bahan bangunan: Bahan yang digunakan untuk membangun rumah adat Riau adalah kayu ulin yang kuat dan tahan lama. Selain itu, bagian atap dibuat dari daun nipah atau ijuk yang dipilin dan diikat erat.
- Penempatan ruangan: Rumah adat Riau terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruangan paling depan biasanya berfungsi sebagai ruang tamu atau ruang keluarga, sedangkan ruangan di belakang biasanya digunakan sebagai kamar tidur.
- Ukiran dan hiasan: Rumah adat Riau dihiasi dengan berbagai ukiran dan hiasan yang khas. Ukiran tersebut biasanya menggambarkan motif-motif flora dan fauna yang diambil dari alam sekitar.
- Ketinggian rumah: Rumah adat Riau dibangun dengan ketinggian yang tinggi, hal ini untuk mencegah banjir pada saat musim hujan.
- Ventilasi: Rumah adat Riau memiliki ventilasi yang baik. Bagian-bagian pada dinding rumah dibiarkan terbuka, sehingga udara bisa masuk dan keluar dengan lancar.
- Sistem konstruksi: Rumah adat Riau dibangun dengan sistem konstruksi kuda-kuda yang kuat dan tahan lama. Kuda-kuda tersebut dibuat dari kayu ulin dan diikat dengan anyaman rotan yang kuat.
Rumah Selaso Jatuh Kembar ini awalnya merupakan balai yang digunakan untuk pertemuan adat. Meskipun rumah ini pada awalnya tidak dipakai sebagai tempat tinggal.
Akan tetapi dalam susunannya terbagi menjadi beberapa ruang. Fungsi dari masing-masing ruang berbeda-beda. Ada yang dipakai tempat musyawarah adat. Ada pula ruang penyimpaman alat adat adat serta dilengkapi ruang dapur.
Tidak hanya berukuran besar saja. Rumah Selaso Jatuh Kembar ini mempunyai tingkatan yang menjadi karakteristik dari rumah adat ini.
Dari situlah kemudian rumah adat Riau mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan jenis rumah adat lainnya. Diantaranya; Rumah ini mempunyai Sukobayung. Ini adalah Silangan yang terdapat di ujung atap. Sebuah simbol tentang religiusitas yang dimiliki oleh penduduk Melayu Riau.
Ada dua tingkatan loreng yang mana terdapat lubang angin dengan ukuran yang besar. Pada bagian depan terdapat hiasan berupa ukiran khas etnik Melayu.
Motifnya bisa berupa tumbuhan atau hewan. Di mana sebagai tanda bahwa masyarakat Riau sangat bepengaruh dengan adanya hutan.
Dominasi warna dari ukiran yang disebutkan tadi ialah kuning dan merah. Dengan motif yang beragam, seperti selembayung, bergayut, atau pucuk rebung.
Rumah adat ini kebanyakan menghadap tepat ke sungai. Tanda bahwa masyarakat sangat bergantung akan kehadiran sungai. Membuat mereka bisa berpindah-pindah tempat.
Baca juga: Rumah Adat Sumatera Barat (Rumah Gadang)
Itulah beberapa ciri yang melekat pada rumah adat provinsi Riau. Semuanya ciri khas tadi membuat rumah ini berbeda dengan rumah Melayu lainnya. Adanya informasi ini, bisa menambah khasanah pengetahuan untuk mengenal rumah adat di provinsi Riau.
Festival Kora-kora menampilkan beraneka ragam kebudayaan Maluku Utara mulai dari keseniannya yaitu seni tari, musik, hingga sajian kuliner. Festival yang idengtik denga dayung prahu secara bersama-sama menggunakan perahu kecil ini juga diisi dengan berbagai aktivitas bahari atau aktivitas yang berkaitan dengan kelautan. Berbeda dengan budaya timba laor yang juga dari maluku, Festival kora-kora diisi dengan perlombaan. Ada lomba perahu tradisional Kora-kora yang menjadi daya tarik pengunjung wisatawan, lomba memancing, lomba foto bawah laut, lomba dayung perahu Kora-kora, hingga lomba pawai perahu hias.
Perlombaan yang paling memacu adrenalin dalam Festival Kora-kora adalah saat dilakukan lomba dayung Kora-okra. Semangat para pendayung mengingatkan kembali masyarakat pesisir maluku pada perlawanan pejuang Banda terhadap kolonial, dimana waktu itu kolonial belanda hendak memonopoli pala yang merupakan hasil alam di daerah tersebut. Awal abad ke-17-an, kora-kora menjadi perahu perang yang dilengkapi dengan meriam kecil. Fungsi utama Kora-kora pada masa itu adalah untuk menghancurkan kapal-kapal tentara Belanda. Kora-kora berbentuk sempit namun panjang, Kelebihannya adalah mampu meluncur cepat. Kekurangan perahu ini yaitu sangat rawan terbalik.
Sebagai perahu perang, Perahu Kora-kora telah menuntaskan tugas utama. Namun, semangat atas kora-kora masih menjadi kebanggaan di hati masyarakat Banda. Terbukti bahwa, setiap kali perlombaan dayung digelar selalu memberikan kemeriahan dan memukau ribuan pengunjung yang menyaksikannya. Bahkan, setiap kampung adat di Kepulauan Banda, memiliki perahu kora-kora lengkap dengan ”pasukan” dayung masing-masing. Upacara ritual dalam pembuatan perahu hingga persiapan turun ke laut juga masih dipegang teguh masyarakat di kepulauan banda.
Festival Kora-kora adalah warisan budaya bahari. kini, warisan tersebut telah berevolusi menjadi atraksi wisata di Banda. Hal ini melengkapi keindahan alam bawah lautnya yang mempesna. Bagi wisatawan, perlombaan kora-kora menjadi hiburan yang selalu menarik untuk disaksikan. Namun, bagi masyarakat kepulauan Banda kemenangan mereka dalam balapan kora-kora adalah kebanggaan luar biasa. Kemenangan yang mereka peroleh jauh lebih berharga dibandingkan dengan nilai hadiah perlombaan dayung perahu tersebut. Hal ini karena, Festival Kora-kora berangkat dari akar budaya bahari masyarakat kepulauan banda Banda. Kini, tradisi yang diwariskan turun temurun itu telah menjadi kegiatan tahunan yang dikemas dalam Festival Kora-kora.
Festival Reog Ponorogo adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan Setiap menjelang Bulan Suro atau Bulan Muharam sama sepert Festiva Tabuik di Pariaman, yakni saat menyambut tahun baru Islam, masyarakat Ponorogo Jawa Timur selalu menggelar Festival Reog Nasional di Alun-Alun Ponorogo dalam rangka Grebeg Suro. Reog lahir di ponorogo dan kini kesenian tersebut telah dikenal oleh dunia. Festival ini diikuti oleh berbagai peserta dari seluruh Indonesia. Diantaranya ada dari Jogja, Gunungkidul, Madiun, Malang, Kediri, Surabaya dan daerah lainnya.
(Baca Juga: Festival Tabuik)
Kabupaten Ponorogo kerap dijuluki sebagai Kota Reog atau Bumi Reog. hal ini dikarenakan, di daerah ponorogo lahir kesenian Reog yang kini telah mendunia. Kesenian Reog menjadi ikon kebanggaan masyarakat Ponorogo dan hingga kini masih terus dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Menjelang Bulan Suro, masyarakat Ponorogo Jawa Timur rutin menggelar Festival Reog Nasional di Alun-alun Ponorogo dalam rangka pesta rakyat Grebeg Suro. Biasanya, perayaan tersebut dilangsungkan setiap tahun. dan tahun ini kemungkinan akan dihelat pada di bulan Oktober. Festival Reog ini diikuti oleh berbagai peserta dari seluruh wilayah di Indonesia. Ada yang berasal dari Madiun, Kediri, Yogyakarta, Gunung Kidul, Jember, Wonogiri, Surabaya dan Malang.
Lebih dari 21 kelompok seni Tari Reog unjuk kebolehan dalam keterampilan yang disertai dengan belasan seniman Reog dari berbagai pelosok tanah air. Dengan Festival ini, selain bersilaturahim, mereka juga diharapkan untuk bisa saling bertukar ilmu dan pengalaman masing-masing. Pementasan Tari Reog dibawakan bergantian sesuai urutan acak selama lima hari dalam serangkaian kegiatan kebudayaan tersebut. Penilaian pada setiap penampilan pesertanya, didasarkan pada keterampilan menari Reog, koreografi yang menarik, dan kekompakan. Festival di Ponorogo ini menjadi lebih meriah sejak para pesertanya bersaing untuk memperebutkan Piala Presiden.
Sebagaimana pada malam puncak pagelaran Festival Reog Nasional di tahun-tahun sebelumnya, dimana perhelatannya begitu megah bak konser kelas dunia. Tahun ini pun penataan panggung, tempat duduk penonton, serta puluhan fotografer dan wartawan yang meliput kegiatan ini, semuanya dikemas secara profesional. Sekarang ini, Festival Reog Ponorogo telah merambah menuju kancah Internasional. Terlebih, setelah UNESCO telah mengakui Kesenian Reog sebagai salah satu warisan budaya dunia yang patut untuk dilestarikan bersama.
PEWARTA NUSANTARA - Festival Tabuik adalah tradisi tahunan masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Pesta Tabuik dirayakan sebagai wujud syukur datangnya bulan Muharram. Ketika masuk bulan Muharram (penanggalan Islam), masyarakat Pariaman membuat tabuik atau semacam perwujudan dari makhluk legenda bernama Buraq. Buraq tersebut digambarkan membawa peti jenazah di punggungnya. Tabuik yang dibuat mmiliki tinggi sekitar 15 meter, dan dibagi ke dalam dua bagian. Festival ini diselenggarakan pada tanggal 10-15 Muharram.
(baca juga : Festival Adat di Tidore)
Festival Tabuik menjadi salah satu tradisi tahunan masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Festival ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu, diperkirakan sejak abad ke-19 masehi. Festival tabuik menjadi upacara adat dalam memperingati hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussein bin Ali yang tepatnya pada tanggal 10 Muharram (penanggalan Islam). Sejarah mencatat, Hussein beserta keluarganya wafat dalam peperangan di padang Karbala.
Festival Tabuik berasal dari kata Tabuik diambil dari bahasa arab "tabut" yang memiliki arti peti kayu. Nama Tabuik mengacu pada sebuah legenda tentang kemunculan makhluk yang berwujud kuda dan bersayap dengan memiliki kepala manusia yang disebut sebagai buraq. Legenda ini mengisahkan bahwa setelah wafatnya cucu Nabi yakni Hassan dan Hussein, kotak kayu yang berisi sebuah potongan jenazah Hussein diterbangkan ke langit oleh makhluk yang disebut dengan buraq. Berangkat dari legenda ini, setiap tahunnya masyarakat Pariaman membuat tiruan dari buraq yang sedang membawa tabut di punggungnya.
Legenda yang diterima masyarakat Pariaman secara turun temurun, budaya ini diperkirakan sudah ada di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 M. Upacara Tabuik pada masa itu masih sanagt kental dengan pengaruh budaya dari timur tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Islam Syiah. Tahun 1910, kemudian muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan Upacara Tabuik dengan adat dari Minangkabau. Sehingga, berkembang Festival Tabuik ini menjadi seperti yang ada sekarang.
Tabuik dalam Festival Tabuik yang dibuat Masyarakat Pariaman terdiri dari dua bagian. Pertama, Tabuik Pasa. Dan kedua, Tabuik Subarang. Kedua Tabuik berasal dari dua wilayah yang berbeda di Kota Pariaman.
Tabuik Pasa (pasar) adalah wilayah yang berada di sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut. Panjangnya samapi ke tepian Pantai Gandoriah. Pasa dianggap sebagai daerah asal muasal tradisi tabuik.
Tabuik subarang berasal dari daerah subarang (seberang). Wilayah ini berada di sisi utara dari sungai atau wilayah yang disebut sebagai Kampung Jawa.
Mulanya, Festival Tabuik hanya ada satu Tabuik, yaitu tabuik pasa (pasar). Pada tahun 1915-an, atas permintaan sebagian golongan masyarakat, untuk dibuatkan sebuah tabuik yang lain. Kemudian para tetua nagari sepakat, bahwa tabuik ini harus dibuat di daerah seberang Sungai Pariaman yakni daerah subarang (seberang).
Tabuik yang kedua ini kemudian diberi nama tabuik subarang. Sesepuh masyarakat meriwayatkan bahwa kejadian tersebut diperkirakan terjadi sekitar tahun 1916, tetapi ada pula riwayat yang menyatakan penetapan Tabuik yang kedua terjadi sekitar tahun 1930. Pembuatan tabuik subarang (Tabuik yang kedua) tersebut tetap mengikuti tata cara yang sebelumnya telah berlaku di wilayah Pasa (pasar) dalam rangkaian Festival Tabuik.
Sejak tahun 1982, Festival Tabuik dijadikan sebagai kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Sehingga, terjadi berbagai penyesuaian. Penyesuaian tersebut salah satunya dalam hal waktu penyelenggaraan acara puncak dari rangkaian ritual tabuik tersebut. Sehingga, meskipun Festival Tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, namun pelaksanaan acara puncak ritualnya dari tahun ke tahun selalu berubah, tidak lagi selalu tepat pada tanggal 10 Muharram.
Rangkaian Festival tradisi tabuik di Pariaman terdiri dari tujuh tahapan ritual tabuik, yaitu mengambil tanah, lalu menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari bersama-sama, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan terakhir membuang tabuik tersebut ke laut sebagai penutup Festival Tabuik.
Pengambilan tanah dilakukan pada tanggal 1 Muharram. kemudian Menebang batang pisang dilakukan pada hari ke-5 bulan Muharram. Mataam pada hari ke-7, kemudian dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada malam harinya. Dan keesokan harinya dilangsungkan ritual mangarak saroban oleh masyarakat Pariaman.
Puncak Festival Tabuik, dilakukan ritual tabuik naik pangkek. Kemudian, dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Perayaan puncak ini dulunya selalu jatuh tepat pada tanggal 10 Muharram. Namun, saat ini setiap tahunnya berubah-ubah antara 10-15 Muharram. biasanya akan disesuaikan dengan akhir pekan. Menjelang maghrib, tabuik diarak menuju pantai dan dilarung ke laut sebagai ritual penutup Festival Tabuik.
Setiap tahunnya, puncak acara tabuik hampir selalu dihadiri oleh puluhan ribu pengunjung yang datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat, . Tidak hanya masyarakat lokal, festival Tabuik ini pun mendapat perhatian dari banyak turis asing yang membuatnya menjadi perhelatan besar dan selalu ditunggu-tunggu setiap tahunnya.
Puncak acara Festival Tabuik yang berada di Pantai Gandoriah, menjadi titik pusat perhatian. Setiap tahunnya selalu menjadi lautan manusia, khususnya menjelang prosesi tabuik diarak menuju pantai.
Festival Bromo ataun Yadnya Kesodo adalah ritual tahunan terbesar suku asli Tengger di Bromo. Pemeluk Hindu suku Tengger akan melempar sesaji ke kawah Gunung Bromo. Sesaji Mulai dari sayur mayur, buah-buahan, hewan ternak, hingga uang untuk dijadikan persembahan kepada Sang Hyang Widhi. Yadnya Kasada, dihelat pada hari ke-14 bulan Kasada.
Obyek Wisata Bromo, terletak di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Provinsi Jawa Timur. wisata bromo adalah salah satu di antara obyek wisata favorit dunia. Disamping memiliki keunikan pesona alam yang memukau dan mengagumkan, seperti lautan pasir gunung Bromo, padang savana yang menghampar luas, semburan asap putih yang keluar dari kawah Bromo dan masih banyak lagi yang membuat minat wisatawan untuk mengunjungi tempat ini. Masyarakat Gunung Bromo juga memiliki kebudayaan luhur dari Suku Tengger. Suku tengger berada di kawasan sekitar Gunung Bromo. Salah satu upacara adat terbesarnya adalah upacara Kasada/Yadya Kasada Ceremony dan sekarang dikemas menjadi Festival Bromo.
Budaya tersebut hingga saat ini dilestarikan oleh suku Tengger menjadi sebuah festival Bromo tahunan. Masyarakat sekitar gunung Bromo kerap menyebutnya dengan Festival Bromo Kasodoan atau upacara Kasodo atau kasada.
Festival Bromo atau Budaya suku tengger ini (Hari Raya Yadnya Kasada) atau Kasodo, merupakan suatu upacara adat suku Tengger yang dilakukan setiap tahun sekali (penanggalan agama Hindu Tengger). Perayaan tersebut tepatnya ketika sudah memasuki bulan Kasada dan yaitu pada hari ke 14. Perayaan Yadnya Kasada didisi dengan ritual pemberian sesajen untuk sesembahan yaitu para leluhur suku Tengger ( Dewi Roro Anteng dan Joko Seger) dan Sang Hyang Widhi. Tempat upacara adat suku Tengger ini biasanya digelar di Pura Luhur Poten atau tepat di lautan pasir gunung Bromo dan dekat dengan kaki Gunung.
Sejarah Festival Bromo
Sejarah Festival Bromo (ritual Yadnya Kasada) adalah legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Meski sudah bertahun-tahun menikah, mereka berdua tidak kunjung dikaruniai anak. Setelah mereka bertapa sekian lama di puncak Gunung Bromo, akhirnya harapan mereka dikabulkan oleh Sang Hyang Widhi.
Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger akhirnya dikaruniai 24 anak sekaligus. Tetapi, semua itu memiliki syarat yaitu anak mereka yang ke-25 harus dilempar ke kawah Bromo sebagai bentuk persembahan dan syaratnya. Roro Anteng dan Joko Seger tidak mau memenuhi syarat tersebut dan membuat Sang Hyang Widhi marah kepada mereka.
Setela itu kemudian langitpun menjadi gelap dan kawah Gunung Bromo pun mengeluarkan api. Oleh sebab itu, agar kehidupan di Bromo kembali aman dan sejahtera, warga setempat harus memberi sesaji setiap hari ke-14 bulan Kasodo. Ritual ini pun terus dilestarikan turun temurun sebagai wujud janji umat Hindu Tengger terhadap Gunung Bromo dan Sang Hyang Widhi.
Sebelum perayaan, masyarakat Tengger akan sembahyang terlebih dahulu di Pura Luhur Poten yang berada di lautan pasir kaki Gunung Bromo. Ritual ini berlangsung pada dini hari. Selepas itu, kemudian masyarakat mendaki Gunung Bromo untuk melempar sesajinya sebagai bentuk persembahan dari suku tengger.
Perayaan Adat Yadnya Kasada Suku Tengger atau Hari raya kasada, dilakukan pada tengah malam dan akan selesai pada dini hari. kegiatan adat suku Tengger ini bertujuan untuk mengangkat tabib atau dukun yang ada di setiap desa di wilayah Gunung Bromo. Dalam rangkaian Festival Bromo, Masyrakat suku Tengger akan melemparkan sesajen berupa persembahan-persembahan. Yadnya Kasada ini merupakan upacara adat yang hanya dimiliki oleh suku Tengger Bromo. Meskipun di Flores juga memiliki pesta adat Reba, namun tetap berbeda. Atau perayaan yang hampir serupa di Bali tapi upacaranya berbeda. ada pun nama lain Yadnya Kasada adalah Upacara Kasodo Bromo, Hari Raya Yadya Kasada, Festival Bromo.
Jadwal Festival Bromo 2017
Upacara Adat Kasada atau Festival Bromo 2017 akan diselenggarakan pada tanggal 9-10 2017. Ribuan wisatawan baik lokal maupun manca negara akan menyaksikan uniknya budaya suku Tengger. Sebab, Festival Kasodo menjadi salah satu daya tarik sendiri saat liburan ke Gunung Bromo.
PEWARTA NUSANTARA - JIka di Dieng memiliki perayaan di dataran tinggi yang di sebut dengan Dieng Culture Festival, Indonesia timur Juga memiliki Festival Kebudayaan di Danau Sentani. Danau Sentani adalah danau terbesar sekaligus terindah di Papua. Di danau tersebut setiap tahunnya rutin diadakan acara adat besar yang disebut dengan Festival Danau Sentani (FDS).
Festival Danau Sentani merupakan pesta yang melibatkan 16 suku yang ada di Papua. adat di danau sentani ini telah menjadi sebuah tradisi adat di Papua mulai dari tahun 2007. Acara diadakan selama lima hari berturut-turut di kawasan wisata Khalkhote, Sentani Timur.
Rangkaian kegiatannya antara lain, suguhan pertunjukan adat, panampilan seni dan kebudayaan dari berbagai suku asli Papua. mengunjungi Festival Danau ini juga bisa melihat dan membeli berbagai produk warga setempat yang diantaranya kerajinan kulit kayu, batik khas Papua, produk olahan seperti sokelat, sagu, kopi, buah merah, dan sebagainya. Festival Danau Sentani biasanya diselenggarakan tanggal 19-23 Juni.
Festival Danau Sentani (FDS) kembali digelar pada 19 hingga 23 Juni 2017. FDS 2017 juga akan diramaikan dengan industri kreatif Papua yang dapat menjadi buah tangan wisatawan. Dinas Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Papua akan menyuguhkan produk kerajinan dari warga setempat berupa kulit kayu, produk olahan cokelat, batik Papua, sagu, kopi dan buah merah.
Festival kebudayaan ini akan diisi dengan tarian-tarian perang khas Papua, Isolo. Masyarakat Papua hingga tetap menjaga dan melestarikan tarian tersebut. Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang, dan harga diri sebuah suku.
Dalam rangkaian kegiatannya, diadakan pula upacara adat penobatan ondoafi. Masyarakat asli Sentani dalam satu kampung memiliki satu Ondoafi atau Ondofolo dan lima Kose (kepala suku).
Ondofolo dalam kebudayaan sentani memiliki makna pimpinan tertinggi dalam satu kampung. Ondofolo ini memimpin atau memiliki lima Kepala Suku yang ada dalam naungannya. Status Ondofolo lebih tinggi dibanding dengan Kepala Suku.
Kegiatan ini juga memberikan kesempatan pada Paguyuban / kumpulan warga suku dari Indonesia seperti dari Sumatera Utara, Maluku, NTT, Sulawesi, Jawa, hingga Bali. Selain tari kolosal yang dipentaskan, ada juga tarian yang merupakan persembahan Suku Kamoro dari Kabupaten Mimika, wilayah selatan Papua.