Op-ed
Hari Pahlawan? Masih ingatkah kalian dengan hari pahlawan? Adakah sejarah yang tersirat di dalamnya? Yuk, kita ulas tentang Hari Pahlawan.
Pahlawan? Tahukah anda apakah pahlawan itu? Ya, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Palawan tak pernah mengenal rasa takut dalam menghadapi musuh, senantiasa membela kebenaran dan tidak akan membiarkan kebohongan, kedustaan, kemunafikan mengikis bangsa kita. Pahlawan rela berkorban demi mewujudkan apa yang menjadi hak bangsa kita. Dengan gigihnya, ia tak pernah mengenal kata menyerah. Baginya, menyerah sama dengan kalah sebelum berperang.
Sampai di sini adakah pandangan mengenai hari pahlawan di pikiran kalian? Apa, ya? Baiklah, marilah kita flash back menuju peristiwa bersejarah sekaligus menegangkan 72 tahun silam tepatnya di Kota Pahlawan, Surabaya.
Hari Pahlawan biasanya kita peringati setiap tanggal 10 November, karena tepat pada tanggal tersebut terjadi pertempuran yang cukup besar. Pertempuran 10 November adalah pertempuran pertama kali setelah dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno Hatta, bapak proklamator kita.
Apa yang menyebabkan terjadinya Pertempuran 10 November 1945, padahal bangsa kita sudah merdeka pada saat itu?
Penyebab Pertempuran 10 November 1945
Latar belakang terjadinya peristiwa 10 November adalah karena insiden yang terjadi di Hotel Yamato Surabaya, tepatnya pada tanggal 18 September 1945. Pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Mr. Ploegman dengan sengaja mengibarkan bendera Belanda di atas Hotel Yamato. Hal tersebut memicu rasa jengkel dan kemarahan arek-arek Suroboyo. Arek-arek Suroboyo merasa dihina atas kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan keberanian yang menggelora, para pemuda menaiki Hotel Yamato kemudian dengan cepat menyobek warna biru pada bendera Belanda sehingga hanya tersisa warna merah dan putih. Melihat perlakuan tersebut, meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia dengan tentara Inggris pada tanggal 27 Oktober 1945.
Paparan Pertempuran 10 November 1945
Pertempuran – pertempuran kecil itu ternyata kian hari semakin membahayakan Kota Surabaya. Serangan umum sangat cepat berkobar yang hampir membinasakan seluruh tentara Inggris jika Jendral D.C Hawthorn tidak meminta bantuan Jendral Soekarno untuk meredakan situasi panas tersebut.
Pertempuran sempat mereda sampai ditandatangani gencatan senjata antara pihak Indonesia dengan tentara Inggris pada tanggal 29 Oktober 1945. Meskipun demikian, beberapa pertempuran kecil masih saja tak terhentikan di beberapa tempat hingga puncaknya pada peristiwa terbunuhnya Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby yang lebih dikenal dengan Brigadir Jendral Mallaby, yaitu pimpinan tentara Inggris untuk wilayah Jawa Timur.
Terbunuhnya Jendral Mallaby dikarenakan Mobil Buick yang dikendarainya berpapasan dengan milisi Indonesia ketika melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman pun tak terhindari hingga akhirnya Jendral Mallaby tewas tertembak milisi Indonesia. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan di hati tentara Inggris. Jabatan Jendral Mallaby pun segera digantikan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh dengan mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 yang meminta pihak Indonesia untuk segera menyerahkan persenjataan dan menghentikan serangan terhadap tentara AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan administrasi NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Semangat Bangsa Indonesia yang pantang menyerah berujung pada penyerangan oleh tentara Inggris pada tanggal 10 November 1945 di waktu subuh. Aksi yang disebut “Ricklef” atau “pembersihan darah” di seluruh sudut Kota Surabaya dibuktikan dengan pertahanan rakyat Surabaya yang tak pernah runtuh meskipun dengan jelas maut akan menyambut. Mereka tidak meninggalkan Kota Surabaya. Semangat kemenangan yang tinggi meyakinkan mereka untuk tetap mempertahankan Kota Pahlawan itu.
Dalam waktu tiga hari, tentara Inggris mampu menaklukkan seluruh sudut Kota Surabaya yang menewaskan sekitar 6000-16.000 rakyat Indonesia. Mereka yang selamat memilih meninggalkan kota setelah selama tiga minggu pertempuran benar-benar selesai. Banyaknya korban yang tewas menggambarkan gigihnya perjuangan rakyat Indonesia. Rasa cinta tanah air yang tak dapat dibayar dengan apapun menghasilkan kehidupan yang kita rasakan saat ini. Hembusan udara kemerdekaan di setiap pagi adalah hasil perjuangan dengan tumpahan darah yang begitu menegangkan.
Itulah mengapa tanggal 10 November disebut sebagai hari pahlawan. Tengoklah ke belakang! Bangsa ini ada karena diperjuangkan. Memperjuangkan bangsa ini agar berdiri kokoh tak semudah kita membalikkan telapak tangan. Banyak yang telah dikorbankan hingga nyawa para pejuang melayang. Mereka yang hanya bermodal bambu runcing tak gentar dengan ledakan bom super modern milik musuh. Dengan semangat juang tinggi dan keyakinan untuk tercapainya cita-cita kemerdekaan, para pejuang tetap maju tanpa ragu.
Bambu runcing? Ya, dengan bambu runcing kita lawan para penjajah saat itu. Meskipun panjajah meremehkan kita, meskipun penjajah terus menenggelamkan semangat kita, meskipun penjajah terus menghancurkan bangsa kita. Tapi tidak dengan gelora semangat para pahlawan Indonesia yang selalu membara ditengah gentingnya keadaan. Tekad yang bulat menghasilkan satu kata yang begitu besar, satu kata yang begitu membahagiakan, memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia, MERDEKA.
Sebagai generasi muda, kita telah menikmati hasil dari perjuangan para pahlawan. Kita telah menghirup segarnya udara kemerdekaan tanpa harus berlelah-lelah berjuang ,bertaruh nyawa dan mengorbankan seluruh jiwa raga. Apa yang harus kita lakukan saat ini? Haruskah kita juga berjuang melawan para penjajah? Menyodorkan bambu runcing ke hadapan para penjajah yang tak berhati nurani? Tak memiliki rasa belas kasih dan rasa toleransi.
Tidak! Kita hanya perlu menjaga bangsa ini agar namanya terus harum di seluruh muka bumi. Menunjukkan betapa kuatnya bangsa kita ini. Membuktikan bahwa kita bisa membawa nama Indonesia ke puncak tertingi dunia. Melalui pendidikan, kita harus berjuang menembus jendela pembatas menuju dunia luar. Kita perlu mengubah pola pikir menjadi lebih kreatif dan inovatif. Tak pernah lengah memanfaatkan peluang yang ada demi terciptanya Indonesia jaya. Bertindak lebih cepat dari biasanya dan senantiasa menjunjung jiwa nasionalisme. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya dan jangan sekali – kali melupakan sejarah, JAS MERAH!
"Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberikan akal dan pikiran untuk memandu kehidupannya di dunia. Kalau manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir, apa bedanya dengan binatang? Jika saya tidak memutar otak, dari mana saya bisa memberi makan keluarga? Memang semuanya itu dari Allah, sayangnya Allah tidak datang kesini menenteng bahan makanan, tapi kita yang harus aktif jemput bola. Bahkan jika tidak ada peluang, kita harus bisa menciptakannya."
Itu adalah wejangan ayah yang selalu saya ingat. Kalau ayah sudah bicara, omongannya memang suka ngelantur kemana-mana. Apa hubungannya bahan makanan dengan bola? Untungnya beliau punya anak yang... yah, you know what i Mean lah... Sehingga esensinya tetap bisa saya terima dengan selamat tanpa kurang suatu apapun.
Pemikiran ayah yang sedikit meterialis, saya terapkan pada proses penaklukan hati sijelita penyuka warna merah, pemilik hidung panjang seruncing ujung pedang, dambaan para lelaki, Putri binti Kasturi.
Meskipun saya percaya, Tuhan telah mencatat nama saya dan Putri di lauhil mahfud, saya tetap harus menyingkirkan sendiri kutu-kutu yang menempel pada perjalanan cinta saya dan putri, Seperti Yogi dan para pengemis cinta lainnya. Point pentingnya, saya harus terus berada di dekat Putri. Jika tidak ada peluang sekalipun, maka saya harus menciptakannya sendiri.
Karena hari Minggu tidak bisa bertemu dengan putri di sekolah, Untuk itu saya harus ikut mengaji di pak kiyai Jarkoni setiap Minggu pagi. Ini akan menjadi moment perjumpaan yang berbeda dan sekaligus nilai lebih Dimata putri.
Minggu pagi tanpa mandi menjadi hari penting, karena pagi ini adalah pertama kalinya saya mengaji pada kiyai Jarkoni. Jelas itu bukan urusan spirituil, melainkan salah satu upaya strategis dalam penaklukan hati anak bapak kasturi.
Rumah kiyai Jarkoni tidak jauh, hanya berjarak 10 menit dari rumah saya. Namun, sekalipun saya tidak pernah mengusik ketenangan feodalis berkedok agama itu, keluarga Cendana yang hartanya tidak habis dimakan 7 turunan, diktator kaum proletar yang di tuhankan para santrinya, kiyai Fajar Abdul Ghoni.
Sesampainya di aula tempat pengajian, ternyata sudah dipadati para santri berpakaian putih yang berjumlah ratusan. Saya duduk di depan berharap putri tau kalau saya juga mengaji.
Tidak lama saya duduk pak kiyai datang. Beliau membuka pengajian dengan bacaan yang saya tidak pernah dengar, tapi semua santri hafal bacaan tersebut.
Seketika itu saya merasa salah di hadapan Tuhan, keimananku seolah kurang sempurna karena tidak hafal bacaan mereka, dan di dalam hati saya bertanya pada Tuhan "ya Tuhan, saya percaya kepadaMu. Dengan kepercayaan itu, saya merasa menjadi hambaMu. Melihat santri begitu antusias membaca bacaan ini yang saya baru pertama kali mendengarnya, apakah selama ini saya adalah orang yang sekular ya Tuhan? Apakah saya ini benar-benar hambaMu ya Tuhan?" Kataku sambil bengong melihat pak kiyai yang terus menatap kebengongnku.
Dalam pengajian, pak kiyai berkata "Sebagai umat Islam kita wajib hukumnya menuntut ilmu, jika tidak tau, maka bertanya kepada yang tau. Bagai mana kita bisa shalat jika kita tidak tau cara shalat?" Kata pak kiyai sambil memandangku dengan pandangan sinis seolah menebak saya adalah santri baru yang tidak datang kerumahnya membawa gula teh dan kawan-kawannya.
Kemudian beliau menunjuk saya dan menanyakan nama. "Siapa nama kamu mas? Iya, kamu yang pake peci hitam karatan." Seluruh ruangan menjadi gaduh oleh tawa santri. Mereka menganggap peci hitam kakek yang saya pakai ini lucu. "Dasar oportunis" kataku dalam hati.
"Siapa mas?" Tanya pak kiyai lagi. Entah kenapa yang saya ingat adalah ketika Putri memaki dengan sebutan "kupret" karena sampannya saya tabrak waktu itu.
Dengan tergesa-gesa dan sedikit grogi, saya jawab "Kupret pak kiyai !!" Suasana tiba-tiba hening, para santri menganggap saya memaki pak kiyai. "Oh, nama kamu kupret" kata pak kiyai. Santri kembali tertawa terbahak-bahak menertawakan nama saya yang tidak lazim.
Pak kiyai kembali bertanya "pret, kamu pernah shalat di masjid?" "Pernah pak kiyai" jawab saya sambil melirik putri yang duduk di barisan sebelah kanan khusus santriwati. "Bagus.. lalu kamu tau tidak, bagaimana hukumnya, jika kamu sedang shalat tiba-tiba ada seekor anjing masuk, anjing tersebut kemudian menjilat kaki waktu kamu shalat, shalat kamu sah atau tidak pret?"
Sebelum pertanyaan diucapkan, saya sempat berpikir "ini jelas pertanyaan jebakan. Saya harus bisa menjawab ini secara detail agar putri tau betapa calon imamnya sangat faham keilmuan agama" Yang saya pikirkan adalah moment ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk mendapat perhatian Putri.
Sebelum pak kiyai selesai bertanya, saya menyela dengan jawaban yang lantang "Shalat harus dalam keadaan suci pak kiyai. Suci yang dimaksud adalah terbebas dari hadas kecil maupun besar. Sedangkan air liur anjing adalah najis mugholadhoh, najis besar pak kiyai!!, membersihkannya harus dibasuh tujuh kali, dan yang terakhir menggunakan pasir. Jika shalat dalam keadaan najis menempel di kaki, maka hukumnya haram dan tidak sah!!" Jawabku dengan tegas.
Suasana kembali hening setelah saya selesai menjawab. Pak kiyai kemudian berkata "ini adalah salah satu contoh anak yang harus terus mengaji, karena pemahamannya ternyata sangat dangkal" para santri kembali menertawai saya karena statement pak kiyai yang menyudutkan.
"Bagai mana mungkin shalat bisa sah kalau kakinya dijilat anjing pak kiyai!!, Pak kiyai jangan mengajarkan kesesatan pada santri!!" Saya mencoba menjelaskan kembali, dengan nada lantang penuh emosi.
"Shalat kamu tetap sah kupret.., karena yang dijilat anjing adalah kakinya sendiri". Seketika itu ruangan pecah dengan tawa santri yang terbahak-bahak. Saya benar-benar melakukan blunder fatal, terlihat dungu dan jelas saya belum pernah mengaji ala santri kiyai Fajar Abdul Ghoni. "Dasar Jarkoni"
#KupretPart2
Beberapa orang datang bergantian memadati sela di belakang punggungku. Sudah pukul sembilan malam, hanya pemilik foto kopian ini yang masih menyalakan lampunya. Foto kopian terdekat, dengan tarif murah perlembarnya, seratus lima puluh rupiah saja.
Urusanku dengan tukang foto kopi sudah sebelas menit lalu selesai. Tapi enggan aku beranjak menuju pulang. Udara malam berisik di telingaku, menari-nari, mengarang melodi, hingga disampaikannya sesuatu; jangan pulang dulu.
Nikmati kami, nikmati kami.
Tapi tidak ada boks rokok di kantung kemejaku, hanya materai enam ribu.
Kukeluarkan dia itu dari saku yang baru berpindah tangan dari sang penjual kepada pembeli yang belum mapan. Secara hangat, baik-baik, dan bersahabat. Pecahan uangku pas, sehingga dia tidak perlu repot-repot mengambil kembalian dan mendapatkan kesenangan kecil karena bisa lebih cepat tiga detik melayani pelanggan baru.
Seorang bapak-bapak tambun mengisi ruang di belakang punggungku. Aku maju sedikit dengan tumit bawah yang kugeser kecil-kecil.
Materai enam ribu itu sekarang di tanganku. Kumiliki untuk keperluan administrasi yang merepotkan sekali. Angka 6000-nya yang dibuat dari bahan berbeda dengan permukaan lainnya berkilauan disorot cahaya lampu jalanan, yang kalau kutatap ia, cahayanya mau beradu sengit dengan kacamataku.
Kutangkupkan dia, si materai enam ribu di tangan. Rasanya seperti menjebak seekor kupu-kupu dengan sayapnya yang rapuh.
“Hei, apa yang kau tunggu?”
Seorang anak muda, sebayaku, terlihat bicara dengan mulutnya yang dipenuhi segala macam ide tentang dia dan caranya menghabisi malam –mungkin setelah pergi dari sini. Dia terlihat melotot ke arahku, atau matanya memang begitu. Membuat jeda antara pertanyaannya dan jawabanku yang selain itu juga disekat oleh udara.
Aku belum kepikiran tentang apa yang kujawab padanya. Apakah berkas yang masih difoto kopi, file yang di-print, atau recehan kembalian. Jadi aku hanya menunjuk etalase yang kelihatannya dari sini sang tukang foto kopi tengah memeluknya. Atau menguncinya dengan tangan yang bertumpukan di atas etalase kaca itu.
“Bisa geser sedikit?” Katanya mencoba beramah tamah.
Kugoyangkan lagi tumitku. Rasanya tidak terlalu nyaman, tapi ini yang harus kubayar karena aku-Ingin-tetap-di-sini.
Angka 6000 itu masih berkilat. Menyadarkanku, bahwa di carik sekecil itu ada konsekuensi mahal yang hidup dan siap menerkam manusia dan segala urusannya, kapan saja.
Ingatanku terguncang ketika anak tadi barusan tidak sengaja menyenggol tengkuk-ku dengan betisnya yang kulitku rasai kenyal, seolah hanya terdiri dari air dan sekelumit daging saja.
Aku pernah berpikir untuk menyalin obrolanku dengan seseorang pada sebuah kertas bermaterai, sehingga akan kupaksa ia membubuhkan tanda tangan, setelah milikku, karena tentunya aku yang akan menggores duluan
Tujuannya waktu itu, ya hanya agar omong kosong aku dan dirinya yang ketinggian, harapanku yang diam-diam diselipkan di tiap rencananya yang digelontor tanpa beban…
…kesampaian.
“Iya, kamu nanti buat lirik lagu, biar aku yang mengirimu bernyanyi.”
Ingin kusalin kata-katanya selalu.
Tentang karya yang ingin kami selesaikan. Yang bahkan waktu itu belum dimulai.
Aku bermimpi sejuta kali tentang sesuatu yang bisa mengabadikan kami dalam sebuah ide yang direalisasi. Rasa, cita, persembahan kami yang barangkali bisa dikecup di permukaan sebuah batu. Pikiran kami yang segar, yang meskipun usang akan tetap kami sayang. Kalau kami beruntung, orang-orang juga akan menikmatinya, kan?
Malamnya, setelah ia bilang begitu, menerbangkan mimpiku mengenai hal-hal yang tidak perlu kami tiru –karena kami bisa menciptakannya. Aku memikirkan lirik lagu. Kucungkil pemikiran terdalam, yang jarang, yang kuharap siapapun tidak terluka ketika mendengarnya. Karena itu menyinggung rahasia. Aku mempertaruhkan kerahasiaan suatu hal. Dalam lirik lagu itu. Dalam sajak-sajakku yang rencanya akan temanku lagukan.
Aku benci omong kosong bernama rencana.
“Aku udah buat sebait liriknya…” Kataku di obrolan santai kami, jam dua siang.
“Udah? Selesai?”
Aku mengangguk. Kumantap-mantapkan anggukan itu.
“Nanti ya aku liat.”
“Ini lho kertasnya, nggak jauh-jauh.” Aku menyodorkan pemikiranku, yang kuharap akan ia bungkus rapih-rapih dengan instrumennya.
“Wah, bagus. Tapi aku nggak begitu ngerti sih maksud liriknya apa hahahaha.”
“Nggak penting ngerti apa nggak.” Sangat penting baginya mengenai maksud. Dia eksekutornya. Semua ini di tangannya.
“Sok, tancep.”
“Aku nggak bawa gitar nih. Nanti ya, lagian baru makan siang.”
“Oke.”
Tidak. Harus sekarang dilakukan. Makan siang kami sudah tertinggal satu jam yang lalu. Acara ini (kalau memang pantas dibilang acara), harus secepatnya diselesaikan. Mimpiku menggantung di sana, rahasiaku mengendap di dasarnya.
Akan kuambilkan gitarmu.
Jangan, kesannya aku terlalu buru-buru.
Gimana kalau sekarang saja? Besok aku nggak bisa.
Bukan begitu, alasannya terlalu dibuat-buat.
“Aku punya ide.”
“Apa?” Katanya mendongak malas, mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang kupikir kontrasnya terlalu terang.
“Rencana ini akan kutulis di kertas. Keinginan kita membuat lagu akan kelihatan. Tanda tanganku, tanda tanganmu, di atas materai enam ribu. Biar kesampaian. Biar riil kedengaran ke telinga orang-orang. Iya, kan?”
“Brilliant.” Katanya tanpa menatapku.
“Aku serius.”
Dia menoleh, tertawa. Lama.
“Hey.”
“Tapi ini nggak seserius itu. Jangan terlalu mengikat, Andrea. Rencana bisa tertiup angin kapan saja. Kadang-kadang kita butuh obrolan tentang masa depan sebagai selingan.” Dia menyentuh mulutnya seperti mengelap sisa tawa yang baru saja tumpah.
“Apa?”
“Iya, maksudku nggak begitu. Materai? Memang ini apa, perjanjian yuridis, bersifat hukum? Kenapa nggak dibawa santai aja, sih, Andrea?”
Aku terlalu sering membawanya jauh melewati santai-santai yang kamu maksud. Tapi hal yang kusadari setelahnya adalah impian yang hilangnya tanpa bekas.
“Begitu, ya?”
Dia tidak menjawab lagi. Earphone yang menggeliat nyaman di kantung celananya dia paksa keluar, mengalihkan kegiatannya yang sedang tiduran agar buru-buru menyumpal telinga. Jelas, temanku butuh setembang lagu.
__
Baru sekarang kupegang materai setelah terakhir kali ide itu menggelitik kepalaku.
Ketidaksetujuannya dan tawanya yang tidak penuh –karena hanya terisi heran mengapa aku bisa begitu bersungguh-sungguh.
Tawa itu memenuhi akhir pekanku, mendesakku untuk segera melakukan praktek kontemplasi, hingga suatu hari aku mendapat kesimpulan; dia memang terbiasa membangun harapan.
Kuingat-ingat bagaimana harapan ditumbuhkan di banyak tempat, kemudian dia yang tidak pernah menuai. Lucu ya, kubayangkan seorang petani wortel menebar bibit banyak sekali tapi ia tidak pernah mau memanennya.
Hingga pagi.
Hingga pagi esoknya lagi.
Hingga aku berpikir begini, di sebuah tempat foto kopi.
Mesin foto kopi berderit-derit, rupanya masih ada yang menginginkan berkasnya diperbanyak. Kutebak, mesin foto kopi itu pasti mulai menghukum dirinya sendiri kenapa ia mau-maunya ditakdirkan jadi demikian.
Sekian tahun berlalu. Ideku tentang materai itu hanya angin lalu, tapi pikiran kadang bisa menguarkan apa saja. Seperti sekarang. Dan kudapati materai enam ribu itu mengambang di udara. Mendengung malu. Menjauh. Menanggalkan ikatan-ikatan tak kasat mata yang selama ini tumbuh dalam dirinya.
Terbang terus dia. Lebih tinggi di atas lampu jalan.
Memperjauh jaraknya denganku. Hingga aku beranjak pulang dengan ingatan yang berserakan.
Oleh : Ahmad Ali Adhim
Kehidupan tidak melulu tentang kesuksesan dan keberhasilan, ada kalanya dalam menjalani hidup ini manusia terpaksa harus terseret kepada dua arus, arus yang pertama adalah arus kebahagiaan, sedangkan arus yang kedua adalah arus kesedihan atau kegelisahan. Martin Seligman seorang Pakar Psikologi yang terkenal dengan nama “Father Of Positive Psychology” dalam karyanya yang berjudul learned optimism, what your change and what your cant, the optimistic child dan authenthic happiness menjelaskan, kebahagiaan merupakan konsep mendasar, mengacu pada emosi positif manusia serta aktifitas positif yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali.
Sigmund Freud seorang pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi berpendapat bahwa kegelisahan berasal dari kata gelisah, yang berarti tidak tenteram hatinya, selalu merasa khawatir, tidak tenang, tidak sabar, dan cemas. Sehingga kegelisahan merupakan hal yang menggambarkan seseorang yang tidak tenteram hati maupun perbuatan, merasa khawatir, tidak tenang dalam tingkah lakunya, tidak sabar ataupun dalam kecemasan.
Seperti itulah kedua gambaran tentang kebahagiaan dan kegelisahan yang seringkali datang begitu saja, juga terkadang pergi begitu saja dalam kehidupan manusia. Keduanya tidak pernah pilih-pilih dalam menjalani tugasnya sebagai hamba Allah yang diamanahi untuk mewarnai kehidupan manusia. Seseorang yang terlihat sukses dalam dunia bisnis pun bisa saja mengalami kegelisahan ketika bisnisnya mengalami kerugian. Begitupun dengan seseorang yang hidup serba pas-pasan, bisa saja ia selalu bahagia karena setiap hari hati dan fikirannya selalu sibuk mengingat Allah, selalu bersyukur atas pemberian Allah. Tidak menutup kemungkinan, bisa saja seorang jomblo, mempunyai hak untuk tersenyum lepas dalam menjalani hidupnya, padahal ia hidup seorang diri, tanpa ada yang perhatian dan peduli dengan kesehatan batinnya.
Rasa-rasanya hidup ini penuh misteri, sesuatu yang biasa dianggap kebahagiaan, ternyata justru mendatangkan kegelisahan. Begitupun sebaliknya. Lalu di manakah letak keberkahan hidup? Apakah segala sesuatu yang tidak berkah akan mendatangkan kegelisahan? Dalam kitab Mu’jam Maqaayisil Lughah disebutkan kata berkah memiliki satu makna asal, yaitu tetapnya sesuatu. Dalam kitab al-Mufradat, karya ar-Raghib al-Ashfahani disebutkan lafadz berkah berarti makna menetap di suatu tempat. Sedangkan dalam perspektif yang lain kata berkah bisa juga diartikan berkembang, Az-Ziyadah atau bertambah hal itu telah tertulis jelas dalam kitab Mu’jam Maqaasyisil Lughah Jilid 1 Halaman 230 disebutkan, Al-Khalil berkata Berkah artinya bertambah dan berkembang.
Kembali kepada pertanyaan di atas tadi, apakah keberkahan bisa mendatangkan kebahagiaan? Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Manzhur bin Marwan al-Aslami ad-Dailami al-Kufi al-Farra seorang ulama’ Ahli bahasa Arab di Bagdad dalam karyanya Ma’anil Qur’an beliau berkomentar mengenai penggalan Surat Hud yang artinya seperti ini “…(itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-keberkahan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait….” (QS. Hud: 73). Al-Farra berkata “Keberkahan (dalam ayat ini) artinya kebahagiaan.”
Setelah menerangkan pendapat ini kepada para muridnya, Abu Manshur al-Azhari mengatakan dalam karyanya yang berjudul Tahzibul Lughah, Al-Azhari “Demikian pula dengan ucapan beliau dalam tahiyyat, Assalamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, karena siapa saja yang diberi kebahagiaan oleh Allah dengan sesuatu yang Allah membahagiakan Nabi dengannya, maka dia telah memperoleh kebahagiaan yang diberkahi dan langgeng.”
Sedangkan makna sa’adah (kebahagiaan) adalah mendapatkan taufik untuk melakukan kebaikan. Dalam kitab lisanul ‘arab Jilid 3 Halaman 214 disebutkan “Jika ada yang mengatakan Allah telah membahagiakan seorang hamba, maka maksudnya adalah Allah telah memberinya taufik untuk melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, sehingga karenanya dia memperoleh kebahagiaan.”
Adapun makna berkah secara istilah adalah tetap dan langgengnya kebaikan. Makna ini sesuai dengan definisi pertama secara bahasa, yaitu tetap dan selalu melekat. Ar-Raghib Al-Ashfahani mengatakan dalam kitabnya Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, “Al-Barakah adalah tetapnya kebaikan Ilahi pada sesuatu.
Setelah mengkaji beberapa hakikat tentang keberkahan dan kebahagiaan di atas apakah kita masih secara buru-buru menganggap bahwa keberkahan atau kebahagiaan yang sejati bisa dilihat? Atau bisa diibaratkan sebuah benda? Tidak memungkiri kenyataan bahwa keberkahan hidup adalah keadaan yang dikehendaki oleh mayoritas hamba Allah yang beriman, karena itu orang bakal memperoleh limpahan kebaikan dalam kehidupannya. Berkah tidaklah bermakna pada kata cukup dan memenuhi kebutuhan saja, akan tetapi berkah adalah rasa syukur dan kelapangan hati kita dengan semua kondisi yang ada, baik pada situasi berlimpah ataupun pada situasi sebaliknya.
Hidup yang berkah tidak cuma sehat, namun terkadang sakit justru mendatangkan keberkahan sebagaimana Nabi Ayyub, sakitnya membuatnya semakin taat kepada Allah. Berkah itu tidak senantiasa panjang usia, ada yang umurnya pendek namun semakin dahsyat ketaatnya seperti Musab Ibn Umair. Tanah yang berkah bukanlah lantaran subur dan panoramanya yang indah, tanah tandus seperti Makkah yang miliki keutamaan di hadapan Allah tidak ada yang menandingi keberkahannya. Makanan berkah bukanlah makanan yang memiliki komposisi gizi komplit, namun makanan itu dapat mendorong dan memberi energi orang yang mengkonsumsi sehingga ia berubah menjadi lebih patuh sesudah makan. Ilmu yang berkah bukanlah ilmu banyak kisah dan catatan kakinya, bukanlah predikat dan angka yang tinggi, namun ilmu yang berkah adalah ilmu yang dapat menjadikan seseorang meneteskan keringat dan darahnya untuk beramal dan berjuang demi agama Allah. Penghasilan berkah juga tidak melulu soal upah yang besar dan menjadi bertambah semakin banyak, namun sejauh mana penghasilan itu menjadi jalan rizqi untuk yang lain dan makin banyak orang yang terbantu dengan penghasilan itu. Anak-anak yang berkah tidaklah anak yang banyak, waktu kecil mereka lucu serta imut kemudian sesudah dewasa mereka berhasil meraih bergelar dan memiliki pekerjaan, jabatan tinggi. Namun anak yang berkah adalah yang selalu patuh pada Tuhan-Nya dan nantinya diantara mereka ada yang lebih shalih, tidak henti-hentinya mendo'akan kedua Orang tuanya.
Wallahu a’lam, begitulah keberkahan hidup, ia adalah sistem yang harus terinstal dalam hati dan fikiran kita, ia merupakan software, bukan benda, bukan hardware.! Setelah sistem itu terinstal dalam hidup kita, masih adakah ruang kegelisahan yang patut kita sikapi dengan hati yang sempit? Jika konsep keberkahan ini kita letakkan kepada konteks nasib seorang jomblo, menurut Anda bagaimanakah konsep keberkahan jomblo yang paling tepat?
Happy Weekend, Selamat berbahagia Mblo 🙂
‘’ Atas Berkat Rohmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kita sering mendengar kalimat diatas pada saat upacara bendera, khususnya pada saat pembacaan pembukaan undang-undang dasar. Hal ini sudah diperdengarkan sejak kecil, ditujukan agar generasi bangsa memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Potongan pembukaan undang-undang dasar tersebut merupakan sebgaian dari cita- cita bangsa Indonesia.
Namun seiring berjalanya waktu, cita-cita ini mulai pudar di kalangan pemuda karena begitu banyak budaya luar yang masuk dan tidak sesuai dengan bangsa Indonesia yang diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari dan membuat rasa cinta tanah air mulai memudar. Hal ini merupakan kemunduran bagi bangsa, yang hakikatnya pemuda adalah ujung tombak dan tulangpunggung bagi keberlanjutan masa depan bangsa Indonesia. Suatu bangsa yang besar dan dapat bertahan secara berkelanjutan karena ada pemuda yang menggerakkan perubahan dan melakukan tindakan yang positif dan kreatif untuk kemajuan bangsa Kurangnya rasa kebangsaan membuat pemuda bersikap apatis terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, baik lingkungan rumah maupun terhadap kinerja pemerintah Indonesia. Pemudalah yang akan melanjutkan jenjang birokrasi bangsa Indonesia ini.
Untuk itu, sangat penting untuk membangkitkan jiwa- jiwa nasionalisme pada pemuda dengan pemaparan tentang para pahlawan yang dulunya terdiri atas pemuda bangsa dan berjuang hingga titik penghabisan untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan – tangan para penjajah. Pemuda haruslah mengetahui dasar- dasar yang mempersatukan bangsa kebhinekaan bangsa Indonesia yang hingga kini tetap berada dibawah nauangan Pancasila. Selain pengetahuan akan bangsa Indonesia, jiwa nasionalisme dapat ditingkatkan dengan memancing para pemuda untuk melakukan hal-hal positif yang tentunya berkaitan dengan Kebangsaan Indonesia.
Pada hari pahlawan tepatnya tanggal 10 November, merupakan suatu moment yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dengan adanya perwadahan yang akan mewadahi para pemuda untuk mengembangkan dirinya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah Pewarta Nusantara yang dapat mewadahi pemuda dan masyarakat Indonesia untuk lebih mengenal bangsa Indonesia yang dalam rangka memperingati hari jadinya tepat pada hari pahlawan mengadakan lomba menulis dengan tema Kebangsaan.
Jika ditarik kebelakang berdasarkan historitas kronologis sejarah yang telah diakui oleh para sejarawan dan telah di bingkai resmi menjadi sejarah ke-Indonesiaan, dikatakan bahwa daerah Lamongan bagian selatan berkaitan erat dengan historis napak tilas Prabu Airlangga, meskipun sebenarnya kerajaan besar jawa timur lain seperti Majapahit dan Singosari juga wilayah kekuasaannya meliputi daerah-daerah pesisir Jawa Timur tak terkecuali Lamongan Selatan. Akan tetapi Jika dilihat dari warisan berbagai kerajaan tersebut, Napak Tilas Prabu Airlangga mempunyai urgensi historitas tersendiri terhadap berbagai daerah di Lamongan Selatan, hal ini dikarenakan banyaknya napak tilas yang tersebar di Lamongan selatan berkenaan dengan perjuangan Prabu Airlangga mendirikan dan memperjuangkan estafet mandataris Kerajaan Medang (mataram lama) dirian Prabu Sanjaya (752 M), yang hancur lebur pada masa Dharmawangsa Teguh (1006 M) efek serangan Raja Wurawari dari Pasukan Lwaram (cepu: sekarang) dengan aliansi Kerajaan Budha Sriwijaya.
Dalam catatan yang terangkum pada sejarah Ke-Indonesiaan dikatakan bahwa peristiwa hancur luluhnya Kerajaan Medang tersebut dikenal dengan nama “Mahapralaya” yang menewaskan hampir tokoh-tokoh ternama Kerajaan Medang termasuk Raja Dharmawangsa Teguh dan istri Airlangga muda sendiri. Sedangkan Airlangga muda berhasil lolos dari tragedi maut atas bantuan dari pengasuhnya Mpu Narotama. Bersama sedikit pengikutnya yang berhasil lolos dari tragedy pralaya, Prabu Airlangga menjelajah daerah Jawa Timur bagian utara (+ Jombang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, dan sekitarnya), konon Sendang Made di Kudu Jombang merupakan salah satu tempat pertapaan dalam proses pelarian Prabu Airlangga. Melalui pertapaan disitulah konon Prabu Airlangga mendapat wangsit untuk meneruskan perjuangan keraajaan Medang (Mataram lama) hingga berhasilnya mendirikan kerajaan Kahuripan dengan Prabu Airlangga sendiri sebagai raja pertamanya.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, kerajaan Kahuripan kerap berpindah pusat pemerintahannya guna melindungi diri dari serangan musuh yang terbilang kuat apalagi Kerajaan Sriwijaya meruapakan ancaman nyata, karena saat itu posisi Kerajaan Kahuripan masih terbilang lemah dukungan. Alasan ini pula yang juga menyebabkan Raja Airlangga memutuskan untuk berpindah-pindah ibukota guna sekaligus berusaha mengambil hati dan dukungan daerah baru yang ditempati. Banyak versi sejarah tentang daerah mana saja yang pernah dijadikan Ibukota pemerintahan Kahuripan, beberapa pengamat sejarah menyebut daerah sekitar lereng gunung penanggungan bagian utara (Ngoro, Mojokerto) merupakan ibukota keraton awal (Wwtan Mas) dalam awal tonggak perjuangan Kerajaan Kahuripan Airlangga, anggapan ini merujuk pada fakta peninggalan deretan candi di kaki gunung penanggungan beserta kolam pemandian Jalatunda yang disebut sebagai warisan Kerajaan Kahuripan Airlangga.
Namun dalam versi anggapan sejarah lain justru dikatakan bahwa Raja Airlangga justru memulai berpindah-pindah Ibu kota pemerintahan Kahuripan ke daerah utara (Lamongan), hal ini dikuatkan dengan ditemukannya berbagai peninggalan kuno kerajaan kahuripan di daerah Lamongan bagian selatan seperti berbagai prasasti (Pamwatan, Cani, Pataan, Pucangan, dan lain sebagainya) hingga terakhir ditemukannya bangunan candi besar yang tertimbun tanah di persawahan Dusun Montor Desa Pataan Kecamatan Sambeng. Dugaan ini dikuatkan pula dengan adanya sebuah daerah di Lamongan Selatan bernama Dusun Wotan (Desa Slaharwotan, Kecamatan Ngimbang) yang digadang-gadang sebagai Wwtan mas yang merupakan pusat ibukota keraton pertama Kerajaan Kahuripan Airlangga, apalagi disekitar daerah tersebut terdapat sebuah prasasti bercorak hindu yang diindikasi ada kaitannya dengan Wwtan Mas Kahuripan, meski sebenarnya anggapan tersebut belum teruji jelas kebenarannya karena tak ada tindak lanjut penelitian berbasis sejarah dan arkeolog seputar sepak terjang Pemerintahan Raja Airlangga di Lamongan bagian selatan.
Prasasti Pamwatan dan Prasasti Lain Sebagai Penguat
Salah satu peninggalan Airlangga di Lamongan selatan tiada lain adalah prasasti Pamwatan (Sekitar: 965 Saka/ 1043 M/ Sejarawan LC Damais: 10 November 1042) yang ditemukan di Desa Pamotan Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Akan tetapi sangat disayangkan sekitar awal 2000-an pasca semakin terkenalnya Prasasti Pamwatan sebagai warisan Airlangga, prasasti tersebut hilang dicuri oleh pihak yang tak bertanggungjawab dan hanya menyisahkan bekas alas tempat dudukan prasasti (Yoni). Minimnya kepedulian dan pengamanan dari masyarakat setempat menjadi salah satu penyebab utama raibnya prasasti legendaris Raja Airlangga tersebut. Dikatakan legendaris sebab prasasti yang berbahasa Jawa Kuno tersebut memuat pemaparan tentang ibukota keraton baru Kerajaan Kahuripan Airlangga yang melalui prasasti tersebut diperkirakan adalah daerah yang disebut Dahanapura (Daha), dengan kata lain prasasti Pamwatan sedikit banyak berkaitan erat dengan peristiwa menjelang turun tahtanya Raja Airlangga, namun tak ketahui jelas tentang dimanakah letak daerah yang disebut Dahanapura (Daha) tersebut, karena tulisan bagian bawah prasasti Pamwatan tidak nampak jelas, beberapa kalangan menganggap bahwa daerah yang disebut Dahanapura (Daha) adalah Pamotan sendiri, adapula pihak yang mengaitkan dengan daerah “Daha” di Kediri, mengacu pada realita bahwa Raja Airlangga menjelang turun tahta membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan; Jenggala dan Panjalu (Kadiri).
Selain prasasti Pamwatan, ditemukan pula prasasti warisan Airlangga lain sebagai penguat napak tilas di Lamongan selatan yang juga banyak disinggung pemerhati sejarah, seperti Prasasti Cani (943 Saka /1021 M) yang berisikan tentang penganugerahan gelar “Sima” kepada penduduk daerah Cani (Candisari) yang membantu dan mengabdi pada Raja Airangga melindungi benteng kekuasaan wilayah kerajaan bagian barat. Prasasti ini kini disimpan di museum nasional Jakarta dan hanya menyisahkan bekas lahan temuan yang kini diberi papan tanda petunjuk berisikan catatan seputar isi prasasti. Selain Cane warga daerah Pataan juga pernah diberi gelar “sima” oleh Raja Airlangga atas kesediaanya menerima kehadiran Raja Airlangga dan pengikutnya yang mengusi dari keraton Wwtan Mas akhibat serangan pasukan Wurawari. Peristiwa ini dicatat dalam prasasti Patakan (1042 M) yang kini juga disimpan di Museum Nasional Jakarta, prasasti ini juga merujuk pada sebuah bangunan suci persembahan Raja Airlangga pada pemuka agama setempat bernama Sang Hyang Patahunan yang kabar terakhir kerap dikait-kaitkan dengan ditemukannya bangunan seperti candi di persawahan Dusun Montor Desa Pataan Kecamatan Sambeng.
Jejak Raja Airlangga di Lamongan selatan semakin diperkuat dengan ditemukannya Prasasti Pucangan di lereng gunung penanggungan pada masa pendudukan Gubernur Raffles asal Inggris di Nusantara sehingga prasasti tersebut kini disimpan di Museum Calluta India, kala itu India juga merupakan pusat jajahan dari kerajaan Inggris. Adapun yang disinggung dalam prasasti ini salah satunya adalah tentang pemaparan adanya pertapaan di daerah Pucangan (Ngusikan Jombang) yang diindikasi merupakan tempat “uzlah” Raja Airlangga pasca turun tahta dan pembagian wilayah. Hal ini dikuatkan pula dengan ditemukannya makam petilasan putrid pertama Raja Airlangga Sanggramawijaya Tunggadewi atau dikenal dengan Dewi Kili Sucididaerah Pucangan (Gunung Pucangan) yang konon menolak pemberian tahta dari ayahanda dan justru memilih untuk menjadi petapa untuk menjauhi kepentingan duniawi. Selain petilasan Dewi Kili Suci di Gunung Pucangan juga didapati petilsan beberapa pengikut setia Dewi Kili Suci yang salah satunya adalah tokoh pemuda berjuluk “Maling Cluring”, karena kebiasaannya mencuri harta kaum bangsawan yang tamak dan membagikan harta tersebut pada kalangan yang membutuhkan. Empat prasasti Airlangga diatas merupakan prasasti utama yang kerap disinggung para sejarawan berkenaan dengan napak tilas Kerajaan Kahuripan Raja Airlangga di Lamongan Selatan Sebenarnya masih banyak lagi temuan prasasti di Lamongan Selatan yang kerap dikaitkan beragai pihak dengan Airlangga namun jarang disinggung para sejarawan karena minimnya penelitian, seperti; Prasasti Sumbersari I dan II, Prasasti Lawan, Prasasti Nogojatisari, Prasasti Garung, Prasasti Wotan, Prasasti Sendangrejo, dan lain sebagainya.
Sumber : Wikipedia dan Pengamatan Langsung di Situs-Situs Sambeng-Ngimbang Lamongan
Pagi ini langit terlihat cerah, biru pekat bernoda bintang-bintang yang enggan memejamkan sinarnya. awan putih selembut kapas tampak di atas perbukitan sisi selatan belakang rumahku, di mana angin perlahan menyapunya ke arah Utara. Aku tak pernah bosan melihat semesta yang begitu cantik di setiap pagi bulan Agustus.
Tanah yang kuinjak ini terasa masih dingin dan basah berembun. Entah apa yang membuatku keluar rumah, berjalan tanpa alas kaki, Menginjak tanah yang membelah rerumputan menjadi jalan menuju tepi danau. Di tengah perjalanan sempat terdiam sejenak, berfikir, kemudian menengok ke belakang dan melihat rumah dari kejauhan. Dari situ aku mulai sadar, bahwa ada satu hal penting yang terlupakan "untuk apa aku kesini? Apa yang sedang aku lakukan?" Monolog bodoh pun aku mainkan. Yah, Aku lupa tujuan keluar rumah.
Di tengah kelupaan tentang tujuan-pun sempat mencoba mengingat kembali "aku?" "hwwh nama...nama" "siapa namaku?". Ini jelas pertanyaan yang begitu bodoh, karena lupa dengan namake sendiri. Entah apa yang dipikirkan aku justru terpancing untuk menjawabnya dari perspektif yang lebih substansial. Tentu saja otak yang tidak berdaya ini semakin terintimidasi.
Diriku yang seolah dalam kondisi setengah hidup-pun semakin redup bersama pagi yang enggan memanggil matahari. Betapa tidak, sekarang benar-benar tidak tahu dan tidak bisa menjawab semua itu, bahkan nama sendiri pun tidak ingat. Ada apa dengan pagi ini, selimut indah alam inikah yang membuat sebagian memori dalam otakku tertutup? Sambil menoleh kekanan dan kiri, tak ada seorangpun dsekitar, hanya suara jangkrik beradu dengan gemericik air danau yang terlipat angin.
Dalam kebungungan, aku termenung beberapa saat untuk memikirkan dua pertanyaan itu, semakin dalam mengingatnya semakin sukar untuk mendapatkan jawabannya. Aku tidak lagi peduli dengan pertanyaan "siapa namaku?", sekarang yang membuatku sangat kesal adalah karena tidak dapat mengingat tujuan keluar rumah, karena tenagaku menjadi sia-sia.
Di tengah kebingungan yang rumit, tanpa sengaja pandanganku tertuju pada warna merah yang berada di tepi jalan menuju danau di antara rumput hijau yang menari tertiup angin. "benda ini bukan benda baru, bukan juga benda yang tak pernah ku lihat tapi ribuan bahkan jutaan kali atau lebih, dan juga benda ini pernah begitu berarti dalam hidupku, tapi apa ini?"
Kegoblogkan pun terulang, kelupaanku benar-benar menjadi benang kusut melilit dalam rumitnya pertanyaan yang belum terjawab. Menyimpulkan bentuk dari warna merah yang kulihat-pun tak bisa. Semakin lama menatap semakin enggan ku palingkan, aku terhipnotis benda ini, tertantang untuk menyebutkan siapa dirinya.
Ku dekati ia dan ku tatap lebih dekat lagi, dari benda ini aroma harum yang terbawa bersama dengan angin pagi tercium dan menyadarkanku bahwa yang kulihat ini adalah mawar merah ditengah tumbuhan hijau yang terhampar. "Iya benar, ini adalah mawar merah", kataku dalam hati meyakinkan pandangan kosong pada sicantik yang merona.
Penglihatan ku tidaklah kabur, mata yang tertuju pada seonggok warna merah ini pun sangat jelas bahkan mampu merinci bentuk dan lekukannya. Namun entah kenapa mataku tidak dapat mentransfer hasil pandangannya menjadi satu kesimpulan bahwa yang ia lihat adalah bunga bernama mawar.
"Tentu saja kamu adalah mawar. bagai mana mungkin aku tidak mengenalimu." Sapaku dengan senyuman pada si merah cantik nan anggun.
Mawarlah yang selalu memberikan senyuman dari luar jendela kamar setiap pagi, mawarlah tumbuhan yang ku tanam di sudut terbaik halaman rumah, mawarlah yang mengingatkan ku pada sosok cantik putri dan mawarlah yang suatu saat harus aku berikan pada Putri agar ia tau dan merasakan betapa harum kasih sayangku padanya. "Ingatkan aku lagi jika dirimu mulai terlupakan".
Misteri warna merah ditengah perjalanan menuju danau berhasil kutemukan jawabannya. Adalah mawar merah yang kembali mengajak pikiranku memeluk segala imajinasi tentang Putri sijelita anggun pujaanku. Orang-orang menyebut Putri kembang desa, tapi aku meng-imani lebih dari itu. Bagiku, kecantikan Putri tak terbatas teritori bahkan waktu, baik dulu, kini dan esok Putri adalah kembang semesta di hatiku. Aku tidak mungkin melupakan Putri dan mawar-lah yang pagi ini mengingatkanku untuk tidak melupakannya.
Berbincang dengan mawar membuatku nyaman, kekusutan pikiranku terurai bersama harum mawar dan imajinasi tentang Putri. Kini semburat matahari dari timur benar-benar nyata membawa cahaya menyinari embun yang masih dingin dan riak air danau menjadi kerlip sinar kecil disetiap titik. Begitu juga dengan otakku yang sedari tadi entah apa yang dilakukannya, membeku tak satupun pertanyaan bodoh bisa ia jawab, sampai aroma mawar memaki hidungku dengan keharuman-nya yang khas, barulah kerlip cahaya terpantul di otakku pada ingatan tentang mawar dan wajah cantik Putri.
Aku petik mawar itu, kubawa bersama dengan kenangan tentang Putri menuju tepi danau, agar manisnya kerinduan tak berhenti sampai di sini. Sesampainya ditepi danau pandanganku tertuju pada sampan yang melaju pelan dari arah timur kebarat. Tak perlu meminta otakku bekerja untuk menyimpulkan bahwa gadis cantik di atas sampan adalah putri binti kasturi. Sekarang semuanya menjadi terang. Aku ingat, setiap Minggu pagi kamu pergi kerumah pak kyai untuk mengaji, dan Minggu kemarin aku disuruh menjala udang oleh ayahku sehingga aku berpapasan sampan bahkan sempat menyerempet sisi kiri sampanmu, sehingga kamu memanggilku "kupret!" aku tidak mau menjawab panggilanmu, karena kasih sayangku bukan cangkokan, aku tidak mau cinta kita prematur, biarkan semesta yang menuntun takdir kita, biarkan langit yang menyirami benih cinta kita dengan hujan kerinduan, meskipun aku yakin dengan lebih dulu memanggilku kamu sangat ingin berbincang bersama cinta dan kerinduanku.
Sampan berjarak seratus meter itu begitu pelan, seolah menunggu mataku benar-benar puas memandang-nya. Atau waktu yang memang melambat, mempersilahkan kerinduanku tertuang pada pemiliknya. Bukan sampan kecil yang ku perhatikan, tapi wajah yang sedikit tertutup kerudung merah panjang. Barkali-kali ia selipkan kerudungnya dibelakang telinga kiri. Betapa ia ingin mendengarku memanggil namanya.
Bukan tidak mau memanggil namanya, aku tidak mau merusak selimut indah semesta karena teriakanku. Kuhirup dalam-dalam aroma mawar di tangan hingga menyatu dengan nafas, barulah aku titipkan panggilan kepadanya bersama aroma harum mawar merah. Sekarang aku hanya berharap angin berada di pihaku, menyampaikan dengan lembut panggilan kerinduanku dari jarak seratus meter.
PAHLAWAN TANPA NYATA
Kehidupan adalah sebuah pilihan, dimana seseorang bisa menentukan takdir ditangannya dengan melihat, mempertimbangkan dan memutuskan yang terbaik untuk masa depannya. Dalam pilihan ada tantangan dan rintangan, sehingga string motivation dari luar sangat diperlukan untuk memperkuat keputusannya.
Pengetahuan merupakan pondasi menganalisis meminimalisir kesalalahan yang akan diperbuat manusia. Dan pengetahuan yang cukup adalah dalang utama penentuan takdir. Di era moderniasi, akses pengetahuan dimudahkan oleh teknologi, sehingga keterampilan manusia menjadi peranan utama kejahatan dunia. Kejahatan tidak terlepas dengan nilai budaya manusia oleh karenanya perjuangan membela jati diri bangsa adalah gerakan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan gerakan sosial adalah tindakan terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.
Pada tahun 2016 di Indonesia muncul gerakan social yang berdiri untuk memberikan pengetahuan kebhinekaan Indonesia dengan menuliskan berbagai artikel tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia yang bernama “pewartanusatara.com”. sebuah blog yang peduli terhadap generasi muda penerus bangsa Indonesia. (lihat : http:pewartanusantara.com) Generasi muda merupakan tabungan, karena maju atau mundur suatu bangsa ada di tangan pemuda. Seperti perjuangan para pahlawan kita yang gugur di medan perang untuk kemerdekaan Indonesia yang sejatinya berperang untuk generasi muda.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia terlahir menjadi Negara merdeka, kemerdekaan direbut oleh pahlawan yang setia mengorbankan jiwa dan raganya untuk Indonesia. merdeka berarti bebas dari kolonialis dan imperialis, sehingga benih-benih yang akan menimbulkan malapetaka harus dimusnahkan. Peristiwa pemusnahan terjadi pada 10 November 1945 di Hotel Yamako Surabaya.
Peristiwa heroic penurunan bendera Belanda dari atas gedung Yamako merupakan bentuk cinta masyarakat terhadap tanah air Indonesia. Sifat nasionalisme dan patriotisme mengalir dalam peristiwa tersebut. Saluran cinta yang mendarah daging (internalized) salah satu unsur untuk mencapai sebuah kekuasaan. (Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”. Hal. 233). Menurut Talcott Parsons kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu system organisasi kolektif. (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 63)
Kewajiban yang mengikat pada masyarakat yang berjuang itu karena darah, dan untuk perjuangannya selalu dikenang dan diamalkan oleh pemuda, Indonesia memperingatinya dalam moment ‘Hari Pahlawan’ yang jatuh pada setiap 10 November. Pengamalan karakter bangsa yang tidak putus atas jasa pahlawan, pewartanusantara.com hadir di tengah-tengah rakyat untuk berjuang mempertahankan ikatan darah sebagai anak Indonesia yang ingin melanjutkan perjuangan untuk pembangunan Indonesia walapun tanpa wujud yang nyata, karena pewarta adalah pahlawan tanpa nyata.
#AnniversaryPewarta
#Lombamenulis
#contest
Tepat menjelang senja menyapa, petang malam beriringan rembulan belum tampak juga. Pula disudut kedai kopi lesehan tampak tujuh sekawan yang tak asing lagi di dunia pewayangan, empat punakawan; Kyai Semar dengan ketiga murid terpercaya; Ki Bagong, Ki Petruk, dan Ki Nala Gareng, sedang tiga lainnya adalah bangsa wanara kiskenda; Hanoman si tetua kera, resi sugriwa, dan Anggada. Ketujuh tokoh besar tersebut berkumpul dalam satu majlis dalam rangka hari jadi Pewarta Nusantara Pertama, guna membincang dan berdialek mesra tentang penyikapan wacana prahara pralaya di Nusantara Hastina.
Sang mahaguru Semar mengawali dialog, “Salam atas kalian semua semoga senantiasa mendapat rahmat dan keberkahan dari Sang Hyang tertunggal. Selamat sore para tokoh-tokoh gila yang rela mencurahkan pemikirannya demi satu bangsa dan negara tanpa pembeda. Saya sebagai moderator akan memimpin jalannya sidang komisi ini, meskipun nyatanya sidang ini tak seperti sidang-sidang para pejabat dewan wakil rakyat di istana yang penuh gemerlap permadi permadani. Tapi toh bukan menjadi masalah karena kita memang telah terbiasa berdialek di alas lesehan dengan camilan ringan pasaran rakyat. Lalu yang tak kalah penting silakan di sruput kopinya”.
Nampaknya hanya hanoman yang tak meneguk kopi hitam didepannya, wajar saja karena memang dirinya hanya doyan air putih sesuai dengan fitrah dirinya si kera putih. Tiba-tiba Anggada menyahut pembicaraan dengan lantang, “Maaf, Bukankah kita bertiga bangsa wanara, mengapa kita harus diikutkan menanggung derita prahara di hastinapura ?”
“Anggada, bukankah Sang Hyang Tunggal menciptakan mahluk dengan satu kesatuan laksana simpulan tali berbentuk bulatan lingkaran yang kedua ujungnya saling terikat erat satu sama lain ?, Lalu bukankah bangsa kiskenda sejak kala juga telah ikrar dibawah Nusantara Ayodya yang bermetamorfsis menjadi Hastina ?, Lantas apa alasan untuk tidak berkontribusi pada negara kesatuan ini ?” Kata Sugriwa menayahut perkataan dari sepupunya sendiri.
Alhasil putra resi sakti Subali tersebut terdiam usai mendengar pamannya Resi Sugriwa. Disisi lain Ki Bagong dengan nada ceplas-ceplos, “Sudah hentikan perdebatan ini, Anggada jika engkau tidak berkenan untuk ikut persidangan maka Walk Out saja sana, toh engkau sudah mendapati keinginanmu yaitu kopi gratis kan”
Ketegangan suasana tercairkan gegara candaan dari Bagong, wajar karena memang Bagong dikenal mempunyai nuansa selera humor yang kerap mampu mengocok perut pendengar, apalagi dengan fisik gendutnya semakin menambah humoritas Bagong, karena memang Bagong tercipta dari bayangan gurunya- Kyai Lurah Smarasanta titisan Cahya Batara Ismaya. Sebab itu pula Bagong kerap menjadi yang terdepan dari dua punokawan lainnya (Ki Petruk dan Ki Gareng) dalam mendapatkan kepercayaan dari Gurunya Kyai Semar. Ketiganya juga kerap berlomba-lomba menujukkan abdinya pada Kyai Semar seperti saat berlomba-lomba merapikan sandal sang guru tartkala bersembahyang atau ketika membantu menyiapkan hidangan kopi panas dalam pertemuan.
Kembali ke persidangan komisi tujuh wayang, kembali Kyai Semar beropini tentang cakrawala pengetahuannya menyikapi fenomena, “ Semua khalayak mengetahui bahwa Jimat Jamus Kalimasada merupakan senjata yang tak terkalahkan dan popular di kalangan para tetua, rara-raja, hingga ksatria se jagat lil alamin. Barangsiapa yang memiliki Kalimasada maka dia akan menjadi seorang raja, inilah rahasia dibalik kekuatan Kalimasada yang kerap membuat para tetua dan ksatria sakti mandraguna mencoba mengkudeta Prabu Puntadewa dari kasta istana demi merebut Jamus Kalimasada. Sebelum akhirnya mustika ini pernah raip dicuri oleh Dewi Ning Mustakaweni dari kerajaan Imantaka dan direbut oleh Raja Welgeduwelbeh melalui siasat guraunya, bukankah demikian Ki Petruk ?”. Celoteh Kyai Semar menoleh kehadapan putra angkat sekaligus abdiya Ki Petruk.
Memang dulu Petruk pernah menjadi seorang raja Lojitengara pasca berhasil memanfaatkan kekacauan perebutan Kalimasada di negeri Imantaka dan mengambil secara Siri Kalimasada milik Prabu Puntadewa, Alhasil ia pun menjadi seorang raja Lojitengara dengan julukan Prabu Welgeduwelbeh sebelum akhirnya dikudeta tanpa darah oleh saudara seperguruan Ki Lurah Bagong hingga pada akhirnya pusaka Jamus Kalimasada dipulangkan kembali ke Prabu Puntadewa sang pemilik asli jimat sakti tersebut.
“Hahaha, dasar raja Welgeduwelbeh hobinya selalu mencuri barang hasil curian berdalih menegakkan keadilan, meski nyatanya ia menikmati barang haram bukan haknya itu pula”. Ungkap Ki Petruk membincang dirinya sendiri.
“Efeknya tahta yang diraihnya diambil lagi oleh Sang Hyang Maha Tunggal karena memang media Kalimasada yang ia gunakan bukanlah haknya alias berstempel curian”. Sahut Ki Bagong menyindir Ki Petruk, yang sebenarnya ia merupakan tokoh utama yang membuka kedok Ki Petruk dari singgasana Lojitengara kala.
“Sudah-sudah, kembali ke pembahasan utama. Kalian tahu mengapa para tetua negara Imantaka atau bahkan Prabu Welgeduwelbeh yang luhur bertahta tak lama tak seperti Prabu Puntadewa, walaupun mereka telah memiliki mustika Jamus Kalimasada yang memiliki keistimewaan bahwa penjaga mustika tersebut akan menjadi seorang raja atas sebuah tahta ?” Papar Kyai Smarasanta.
Semua tokoh pewayangan yang hadir di persidangan tersebut geleng-geleng kepala, termasuk Ki Petruk dengan wajah memerah efek sindiran bertubi-tubi dari Punakawan lainnya.
Kyai Lurah Semar kembali berwejang panjang; “Sebenarnya ada tiga pihak yang mengetahui rahasia Prabu Puntadewa terkait kesuksesannya memerintah Nusantara hingga ia mokhsa, meski ia telah kehilangan mustika Kalimasada yang telah dicuri oleh Ning Mustakaweni. Hal ini karena darma Kalimasada telah merasuk dalam qolbu Puntadewa, selain itu Prabu Puntadewa juga mempunyai mustika sakral sebagai penyempurna Kalimasada, selain Sang Prabu hanya daku dan Resi Kresna yang mengetahui rahasia ini, karena memang kita berdua merupakan dewan pertimbanan presiden Hastina dimasa kepemimpinan Prabu Puntadewa. Mustika tersebut bernama “Garda Panca Sirah” yang mempuyai keistimewaan sebagai pelengkap Kalimasada. Barang siapa yang mempunyai dua mustika sakti tersebut ; Kalimasada dan Garda Panca Sirah dan mengamalkan amalan darma dari mustika tersebut maka ia akan menjadi titisan Sang Hyang Tunggal sebagai Khalifah Fil Ardh. Raden Prabu Puntadewa contohnya, beliau menjadi pemimpin yang luhur dan senantiasa dihormati rakyatnya hingga mokhsa di masa senja. Sedang Raja Welgeduwelbeh meskipun ia juga punya pondasil luhur tapi ia tidak cukup mumpuni mengamalkan darma Kalimasada, karena jimat mustika tersebut didapat tanpa restu pemilik aslinya, selain alasan bahwa ia juga tidak memiliki Mustika Garda Panca Sirah. Selain itu agar khasiat mustika Garda Panca Sirah keluar ketajiannya maka pemiliknya terlebih dahulu harus tirakat mengamalkan Panca Dharma sebagai syarat mutlak agar keistimewaan mustika tersebut keluar, ini letak kesulitan dari Garda Panca Sirah yang bukan hanya sebagai pusaka individu atau pun pusaka kemanusiaan melainkan juga berposisi sebagai pusaka kenegaraan.”
“Setelah wafatnya Prabu Puntadewa mustika tersebut raip entah kemana, menyisahkan Jimat Kalimasada yang juga tak lagi bertaji, imbas jimat tersebut hanya dipandang secara fisik saja tanpa darma pengamalan tersirat dari jimat jamus kalimasada. Tak adanya Garda Panca Sirah juga semakin membuat tuah Kalimasada semakin tak bertaji laksana pisau berkarat tanpa media asahan. Selain itu untuk menekan gejolak kemanusiaan hastina akhibat efek negatif senjata globalisasi yang sudah menjamur maka kita membutuhkan mustika Garda Panca Sirah sebagai penyempurna jamus Kalimasada”
“Lantas bagaimana kita harus menemukan mustika Garda Panca Sirah wahai Maha Guru Smarasanta ?, tanya Hanoman dengan penuh keseriusan.
“Browsing saja di Search Engine Google Hanoman Si Wanara Putih !!!”, Sahut Ki Gareng dengan menyodorkan tablet miliknya kearah Hanoman.
Disisi lain Kyai Semar tertawa ketika mengetahui bahwa Ki Gareng gagal menemukan dimana Mustika Garda Panca Sirah berada meski dirinya telah menggunakan berbagai aplikasi mulai Hostpot Shild hingga menjelajah Deep Net, namun dirinya tetap tak menemukan petunjuk dimana Mustika Garda Panaca Sirah itu berada. “Hahahaha, Gareng muridku engkau mencari di situs mana saja tentu engkau pasti tak akan menemukan petunjuk dimana Garda Panca Sirah berada, karena memang mustika itu bukan mustika biasa yang dapat digapai dengan cara instan melainkan tentu membutuhkan sebuah tahapan proses keseriusan dalam pencarian.”
“Menurut hipotesis penelitian disertasiku terkait mustika Garda Panca Sirah bahwasahnya daku hanya menemukan pemaparan bahwa burung Garuda-lah yang mengetahui dimana Prabu Puntadewa menyimpan mustika kenegaraan tersebut, hipotesis ini dikuatkan dengan fakta bahwa burung Garuda dijadikan maskot kenegaraan hastina”. Papar Kyai Semar sekali lagi.
“Garuda yah, sekali lagi Garuda menjadi pahlawan utama cerita karmapala. Dulu Garuda yang memberikan sandi pada Prabu Sri Rama tentang peristiwa penculikan Ayunda Dewi Sinta oleh Rahwana si Angkara murka. Garuda pula yang membantu pasukan aliansi Kiskenda – Ayodya dari serangan ular berbisa dari panah sakti Naga Saka kepunyaa Prabu Indrajit. Pantas jika Garuda mendapat amanat kepercayaan Prabu Puntadewa sebagai kunci utama mendapatkan informasi dimana mustika Garda Panca Sira berada.” Kata Wanara tua Resi Sugriwa yang memang merupakan salah satu ksatria yang pernah mengenal dekat dengan salah satu dari Garuda bernama Jatayu yang mokhsa akhibat bertempur melawan prabu Rahwana kala.
“Sidang para pewayangan ditutup dengan sebuah naskah baru “mencari garuda”, guna mencari kejelasan dimana mustika Garda Panca Sirah berada. Mustika kenegaraan yang diharapkan mampu mengatasi prahara kemanusiaan yang menerjang Hastina akhibat dampak negatif senjata bernama Globalisasi yang kerap membawa virus provokasi tanpa rasionalisasi.” Tutur Ki Gareng mengutip simpulan Mahaguru Kyai Lurah Semar dalam sebuah caption di akun instagram miliknya disertai dengan sebuah foto Gunungan yang menandai akhir sebuah sandiwara.
Oleh: Rizal Nanda Maghfiroh
Pembentukan karakter kebangsaan erat kaitannya dengan peranan sejarah. Figur-figur sejarah telah memainkan peran penting dalam menumbuhkan karakter kebangsaan. Salah satu figur sejarah yang patut menjadi teladan adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang juga dikenal sebagai Bapak TNI. Sosoknya yang semangat, pantang menyerah, tanpa pamrih, totalitas dalam memperjuangakan kemerdekaan, disiplin, berani namun tetap sederhana dan teguh dalam keimanan menjadikan Soedirman sebagai figur sejarah yang layak untuk diteladani. Pada sebuah kesempatan Soedirman berpidato di hadapan prajuritnya dan menyampaikan amanat yang berbunyi,
“
Kamu semua harus ingat,
Tidak ada kemenangan, kalau tidak ada kekuatan
Tidak akan ada kekuatan, kalau tidak ada persatuan,
Tidak akan ada persatuan, kalau tidak ada keutamaan
Tidak akan ada keutamaan,kalau tidak ada ajaran kejiwaan
yang mentasbihkan semua usaha kita kepada Tuhan
“
Kutipan amanat tersebut membuat kita bisa merasakan bagaimana sederhananya sosok seorang Jenderal Besar yang sangat disegani prajuritnya. Sifat rendah hati menunjukkan tingkat kesalehan yang di milikinya. Kemenangan yang ingin di raih semata-mata karena usaha bersama, terikat dalam persatuan yang menguatkan, menjadikan kepasrahan pada Tuhan sebagai landasan utama dalam perjuangan.
Amanat yang diucapkan kurang lebih 71 tahun yang lalu nyatanya masih relevan dengan keadaan bangsa saat ini, entah karena memang negeri ini masih belum sepenuhnya menerima kemenangan atau memang karena kesaktian ucapan Sang Jenderal dalam meramal masa depan. Amanat Soedirman menjadi semacam nasehat, khususnya bagi generasi milenial yang sedang bersiap melangkah menerima tampuk kepemimpinan.
Milenial menghadapi berbagai permasalahan mulai tembok kemenangan yang retak, dan perlahan-lahan runtuh karena isu SARA tumbuh subur layaknya lumut yang menggerogoti batuan. Tapi bukan hanya itu, gempa yang mengguncang “Yang Mulia”, membuat rakyat semakin khatam bahwa kekuatan hanya berpihak pada pemangku jabatan. Lantas bagaimana bisa ada persatuan jika kekuatan memenangkan kepentingan perorangan? Kaum milenial pula yang menjadi kuncinya.
Kaum milenial sedang menghadapi puncak kemenangan, bonus demografi melambungkan eksistensi mereka dalam era baru yang sedang mereka ciptakan. Memadamkan isu SARA demi menjaga persatuan Nusantara, menjadi tugas utama. Bukan hal yang mudah memang, akan tetapi bukankah Sang Jenderal berpesan,”Kejahatan akan menang bilang orang benar tidak akan melakukan apa-apa.” Kaum milenial memiliki kekuatan yang disebut sosial media, yang dapat menjadi senjata penumpas informasi hoax akan SARA, tapi akan menjadi bencana yang menyalakan api kebencian dan menghanguskan persatuan apabila tidak bijak menggunakannya. Jika dahulu Gajah Mada menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa, rasanya memang sudah waktunya bagi kaum milenial menuangkan karya dalam berbagai tulisan di sosial media yang menyadarkan bahwa bangsa kita sedang sekarat. Mengembangkan minat masyarakat Indonesia dalam bidang literasi, merupakan salah satu bentuk dari penumpasan isu SARA untuk itulah Pewarta Nusantara hadir menjadi wadah pemersatu pemikiran-pemikiran milenial yang ingin menumpas isu peruntuh bangsa. Tugas yang berat, karena milenial bertaruh akan lebih tangguh daripada seorang Gajah Mada yang saat itu tak mengenal sosial media.
Penumpasan isu SARA, bukanlah satu-satunya tugas dari Sang Jenderal bagi kaum milenial, karena persatuan saja tidak akan cukup menggulingkan kekuatan untuk meraih kemenangan. Ada kekuatan lebih besar yang harus disadarkan pada jiwa setiap insan, tentang keutamaan melibatkan Tuhan dalam setiap langkah perjuangan. Menyadarkan makna sila pertama Pancasila, yang menjunjung tinggi arti Esa. Kekuatan tunggal yang menjadi penentu kemenangan di medan perang melawan kebatilan sang penguasa.
Pada akhirnya karakter kebangsaan bagi Soedirman bukan hanya serta merta berjuang melawan penjajahan ataupun sebatas mengisi kemerdekaan, melainkan lebih kepada mengutamakan Tuhan dalam menjalin persatuan, demi menggalang kekuatan untuk meraih kemenangan bagi Nusantara.
Amanat Jenderal Besar yang seharusnya kita laksanakan, karena jika bukan Tuhan yang kita utamakan, siapa lagi yang bisa menyatukan jiwa-jiwa yang saling berjauhan untuk dapat menghimpun kekuatan demi memenangkan sebuah harapan kemerdekaan dari kebatilan.