Pewarta Nusantara
Menu CV Maker Menu

Religion

Erniyati Khalida Erniyati Khalida
1 tahun yang lalu

Pewartanusantara.com - Puasa Ramadhan merupakan wjib hukumnya bagi umat muslim di seluruh dunia. Dalam perjalanan sejarahnya, puasa ramadhan cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah Puasa bagi umat Islam itu sendiri?.

Beberap pertanyaan mungkin pernah terlintas. Kapankah ibadah Puasa mulai disyariatkan? Bagaimana Sejarah Puasa pada masa nabi? Bagai mana ciri khas umat islam pertama kali? apakah hanya umat Islam saja yang berpuasa? Apa yang membedakan puasa umat islam dengan agama lain? Berikut sedikit ulasan yang mungkin dapat memberikan pencerahan.
Model Puasa Ramadhan yang Pertama Kali Dilakukan Umat Islam
Menahan lapar dan dahaga adalah ciri jhas dari ibadah berpuasa. Pertama kali Rasulullah SAW. melaksanakan puasa, yaitu puasa pada bulan Asyura`.

Puasa tersebut biasa dilakukan masyarakat Quraisy waktu itu. Pada saat nabi hijrah ke madina, Nabi pun memerintahkan berpuasa pada bulan Asyura`.

Ketika turun perintah berpuasa pada bulan Ramadhan, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan puasa bagi siapa saja yang menghendakinya.

Waktu itu, umat muslim boleh berpuasa dan boleh juga tidak sebagai bentuk kelonggaran nabi. Namun, Bagi mereka yang tidak berpuasa diwajibkan untuk membayar fidyah.

Setelah itu, puasa Ramadhan menjadi kewajiban bagi setiap muslim, kecuali bagi mereka yang mempunyai uzur syar’i.
Perbedaan Puasa Ahli kitab dengan Puasa Umat Islam
Puasa yang dilakukakn umat islam berbeda dengan umat yang lain. Perbedaan tersebut di antaranya adalah adanya perintah makan sahur yang dilakukan sebelum terbit fajar.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Ash, Nabi saw bersabda,

“...Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah pada makan sahur..” (HR. Muslim)

Dismping itu, puasa yang dilakukan Umat muslim pada bulan Ramadhan, berlangsung selama satu bulan penuh. Berbeda dengan ahli kitab, mereka melaksanakan puasa di luar bulan Ramadhan.

Sebagai mana dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi saw bersabda,

“..Sungguh, telah datang bulan Ramadhan, bulan yang diberkati. Allah telah memerintahkan kepada kalian untuk berpuasa di dalamnya..” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Sejarah Puasa Sebelum Kelahiran Nabi Muhammad saw
Puasa yang dikerjakan umat islam juga memiliki sedikit kesamaan dengan umat-umat terdahulu. Kesamaan tersebut ada dalam hal kewajiban, bukan pada tata cara.

Puasa sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw lebih bersifat total dan penuh penghayatan.

Berikut sedikit gambaran tentang puasa yang dilakukan umat sebelum umat Islam.

Umat Yahudi juga berpuasa, Puasa yang dilakukan oleh Umat Yahudi tidak sekadar menahan dari makan dan minum dari sore hari sampai waktu sore lagi.

Namun, mereka melakukanibadah Puasa sambil berbaring di atas pasir dan debu, sambil meratap sedih sebagai bentuk penghambaan.

Dahulu, Umat Nasrani diwajibkan juga untuk berpuasa Ramadhan. Namun, mereka menambah 10 hari lagi sampai akhirnya berjumlah 50 hari.

Hal ini dikarenaka, pada waktu bulan Ramadhan cuacanya sangat panas. sehingga waktunya pun diperpendek dan dipindah pada musim semi.

Pada masa Jahiliah, Kaum Quraisy Mekah melakukan puasa pada bulan Asyura. Nabi saw juga melakukannya sebelum kemudian turun perintah berpuasa di bulan Ramadhan.

Akan tetapi, setelah ada perintah puasa di bulan Ramadhan, Nabi pun kemudian berpuasa Ramadhan.
Sejarah Puasa Ramadhan pertama kali di syariatkan
Puasa Ramadhan mulai disyariatkan kepada umat Islam pada tanggal 10 Sya`ban.

Syari'at tersebut turun pada tahun kedua Hijriah atau satu setengah tahun setelah umat islam melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah.

Tahun tersebut juga merupakan tahun setelah umat islam diperintahkan untuk memindahkan kiblatnya dari masjid Al- Aqsa ke Masjidil Haram "Mekah".

Perintah puasa pada bulan Ramadhan, didasarkan pada firman Allah di dalam surah Al-Baqarah ayat 183.

Ayat tersebut dapat dipahami bahwa, berpuasa telah dilakukan sebelum masa kerasulan Muhammad saw. Namun, praktiknya tidak seperti yang kita umat Islam lakukan sekarang.

Setelah surah Al-Baqarah ayat 183 turun, ibadah Puasa Ramadhan menjadi kewajiban yang harus dilakukan umat muslim selama satu bulan dengan memenuhi aturan syarat dan dan rukun yang telah di tetapkan.

Baca juga: Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Indonesia

rizal nanda maghfiroh rizal nanda maghfiroh
1 tahun yang lalu

Prolog

Jika kita mendengar istilah “Jombang” tentulah hal pertama kali yang terlintas dibenak kita tiada lain adalah penisbatan “Kota Santri” sebagai jargon utama kota Jombang. Selain efek menjamurnya berbagai Pondok Pesantren di berbagai penjuru kota Jombang, sebutan kota santri juga kerap kali bersinggungan dengan asal usul salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di penjuru dunia; “Nahdlatul ‘Ulama” yang berdirinya juga tak lepas dari kontribusi para ‘Ulama legendaris Jombang sepertihalnya sosok; Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Masyayikh Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Masyayikh Tambakberas), KH. Bisri Syansuri (Masyayikh Denanyar). Ketiga tokoh ini kerap kali dijuluki penikmat opini bebas sebagai Tiga Serangkai Nahdlatul ‘Ulama, karena memang kontribusi ketiganya sangat luar biasa dalam mendirikan, menggerakkan, hingga mengorbitkan organisasi tradisionalis-moderat Nahdlatul ‘Ulama ke kancah Nasional.

Selaintiga tokoh tersebut masih banyak tokoh-tokoh legendaris lintas zaman lainnya yang asal muasal atau napak tilasnya terkait daerah Jombang, diantaranya seperti; Syekh Sayyid Sulaiman (Betek, Mojoagung) yang konon pernah satu angkatan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Gresik), KH. Tamim Irsyad (Pendiri Ponpes Darul ‘Ulum Peterongan Jombang), Pahlawan Nasional KH. Wahid Hasyim (Tebuireng Jombang) yang berperan besar dalam perumusan Pancasila melalui panitia Sembilan, Presiden Keempat Republik Indonesia; Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang sangat mendunia, hingga cendikiawan nasionalis Nur Cholis Madjid (Pendiri Universitas Paramadina Jakarta).

Dari Shorof Hingga Falaq

Tunggu sebentar, tampaknya ada nama yang kerap terlupa dari berbagai perbincangan tentang ulama yang bernapak tilas di kota santri Jombang. Jika kita pernah belajar tentang ilmu shorof maka tentulah tak asing dengan sebuah kitab kuning bernama Amstilah Tashrifiyyah yang berisikan rumus rujukan mentashrif (merubah struktur kata sesuai kondisi) yang secara garis besar terdiri dari dua macam; Istilakhi (mentashrif secara mendatar berdasarkan bentuk fi’il) dan Lughawi (mentashrif secara menurun berdasarkan padanan dhomir). Bagi kalangan yang teliti dalam mempelajarinya maka tentu akan mengenal pula dengan sosok bernama “Kyai Haji Ma’sum Bin Ali (w 1933 M)” sebagai mushanif (pengarang) kitab shorof legendaris tersebut. Nah, perlu juga diketahui bahwa tokoh tersebut ternyata merupakan salah satu tokoh yang bernapak tilas diJombang, meskipun sebenarnya Kyai Ma’sum Bin Ali lahir di kota Pudak Gresik, hingga pada akhirnya beliau nyantri kepada Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, sebelum akhirnya beliau diberi mandate Sang Guru untuk mendiami daerah Seblak (Utaranya Tebuireng) untuk mengembangkan dan mensyiarkan ajaran agama Islam.

Meskipun nama beliau terbilang popular di kalangan penikmat ilmu shorof melalui salah satu karya besar Amtsilah Tashrifiyyah. Sebenarnya sosok Kyai Ma’sum Bin Ali bukanlah spesialis ilmu gramatikal tata bahasa arab (Shorof, Nahwu, Balaghah, Mantiq, dsb), melainkan beliau merupakan master dari ilmu tentang perbintangan dan perhitungan (Falaq) bahkan tiga karya lainnya merupakan kitab yang bercorak pada ilmu falaq, sebut saja; Fathul Qadir (Berisikan takaran Arab ala Indonesia), Ad Duratus al Falakiyyah (beriskan pedoman falaq seperti logaritma, almanak masehi-hijriyyah, posisi matahari dan hilal, dsb), dan Badi’atul Mitsal (Berisikan teori Geosentris) yang konon ditulis oleh beliau saat mempelajari ilmu falaq alamiyah dari seorang nelayan.

KelihaianKyai Ma’sum Bin Ali ilmu anstronomi dengan cara falaq (Hisab) inilah yang akhirnya kerap kali membuat Pondok Seblak dirian beliau berbeda pandangan dengan Pondok Tebuireng dalam hal menentukan hilal awal Ramadhan mengingat Seblak menggunakan full ilmu Hisab sedang Hadratussyaikh dengan Tebuireng-nya masih mempertimbangkan metode Ru’yat dalam pencarian hilal. Namun perbedaan keduanya bukan menjadi penghalang ketawadhu'an beliau pada sang guru besar.

Sang Sufistik

Disisi lain kemonceran sepak terjang Kyai Ma’sum Bin Ali dengan beberapa kitab warisan retorika ilmu perbintangan (Falaq) dengan tambahan ilmu gramatikal pula (Shorof) ternyata masih cukup banyak pula yang tidak mengenal siapa sebenarnya beliau. Meskipun sebenarnya untuk mencari profil beliau di era peradaban virtual sekarang ini memanglah mudah sekali cukup sekali “klik” di mesin pencari tentu akan mudah mendapatkan informasi pula. Namun hal instan seperti itu haruslah dikroscek kebenarannya pula guna mencari sebuah kebenaran rill dalam peradaban nyata terlepas dari bayang-bayang informasi virtual yang sarat hal-hal instan tanpa rujukan.

Menurutbeberapa literatur online yang memang terbatas dalam membincang siapa sosok Kyai Ma’sum Bin Ali-nya Jawa Timur ini memang dikatakan bahwa beliau merupakan sosok yang sufistik lebih condong menafikan diri seputar godaan dunia yang menurut Al Ghozali dalam Kitabnya digambarkan sebagai “Wadon nini-nini”. Puncaknya bahkan ketika hendak wafat, beliau berwasiat pada keluarganya untuk membakar semua dokumentasi terkait praupan beliau baik foto atau lukisan. wasiat lainnya yaitu agar dimakamkan secara sederhana seperti makam pada umumnya, tanpa asesoris sakral makam seorang tokoh ternama.

Nah, ketika pribadi berkunjung plesiran ke beberapa makam para masyayikh tempo dulu di daerah Jombang. Terlintas pula sejenak untuk mencari makam sosok ahli falak bernama KH. Ma’sum Bin Ali yang merupakan pendiri Pondok Seblak Jombang sekaligus menantu Hadratus Syaikh atas putri pertama beliau; Nyai Hj. Khairiyyah Hasyim. Ternyata diluar dugaan tak banyak masyarakat setempat yang mengenal dimana makam beliau, ntah karena memang benar nama Kyai Ma’sum Ali tak membumi hingga banyak yang tak mengerti atau mungkin pribadi salah memilih objek. Begitu pula saat bertanya pada seorang pengawas makam tebuireng dan beberapa santri disana ternyata jawabannya sama alias tak banyak yang mengetahui dimana makam beliau, beberapa santri bahkan menjawab mungkin dimakamkan di pemakaman keluarga pondok seblak atau mungkin bahkan di daerah komplek makam Kyai Asy’ari di daerah Keras.

Sejenak saat melihat nama-nama masyayikh Tebuireng yang dimakamkan di komplek pemakaman Tebuireng yang tercantum di sebuah batu ukir, ternyata dalam salah satu batu tersebut terdapat nama KH. Ma’sum Bin Ali yang jelas-jelas merupakan tokoh pendiri Pondok Seblak. Saat pribadi kroscek dengan nomor urut masyayikh yang berada di batu ukir ternyata tepat sekali dugaan semula bahwa KH. Ma’sum Bin Ali memang memiliki kesufian yang tinggi. Kondisi makamnya tak sama seperti beberapa makam masyayikh Tebuireng lainnya. Sangat terlihat sederhana hanya berupa gundukan tanah yang terletak di bagian pojok, bahkan dalam batu nisannya sama sekali tak tertulis nama KH. Ma’sum Bin Ali. Dengan kata lain memang Kyai Ma’sum Bin Ali merupakan seorang ‘ulama yang memiliki tingkat sufisme yang tinggi bahkan melewati taraf wajar manusia pada umumnya; ingin dikenang akan sebuah peninggalan. Allahumaghfur lahu..

Wallahu ‘A’lam Bi Showab

Erniyati Khalida Erniyati Khalida
1 tahun yang lalu

Indonesia adalah negara dengan masyarakatnya mayoritas muslim (pemeluk agama Islam), berbagai macam acara atau Tradisi menyambut bulan suci Ramadhan atau bulan Puasa banyak digelar di berbagai daerah.

Budaya dalam penyambutannya tentu berbeda-beda. namun, semangatnya tetap sama.

Penyambutan yang dilakakukan masyarata saat datangnya bulan ramadhan merupakan bentuk rasa syukur serta kegembiraan umat muslim akan datangnya bulan Ramadhan atau bulan Puasa.

Dalam kalender Islam, Sebelum bulan ramadhan atau bulan Puasa adalah bulan Sya’ban.

Pada bulan Sya’ban inilah biasanya banyak digelar upacara menyambut datangnya bulan Ramadhan di berbagai daerah di Nusantara.
Tradisi Unik Menyambut Bulan Ramadan tang Ada di Indonesia
Budaya menyambut ramadhan dari berbagai daerah di indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Munggahan menyambut ramadhan dari Tanah Sunda

munggahan

munggahan kumpul bersama keluarga Image by Dailymoslem.com

Munggahan adalah kegiatan berkumpul dalam suansana kebahagiaan menyambut ramadhan.

Budaya ini biasanya dilakukan oleh anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga teman-teman kita untuk saling bermaaf-maafan.

Berkumpulnya mereka dalam satu kebersamaan dilengkapi dengan menikmati sajian makanan khas. Kegiatan ini juga melambangkan sebagai bentuk mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi bulan Ramadhan.

Kegiatan ini merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang sunda dalam menyambut bulan Ramadhan yang akan datang. Biasanya, mungguhan dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat. meskipun kegiatannya diselenggarakan dengan cara yang berbeda-beda.

Namun pada dasarnya tetap sama, yaitu berkumpul bersama sambil menikmati sajian hidangan makanan yang disuguhkan.

Inilah kebiasaan yang dilakukan ditengah masyarakat sunda pada umumnya. Kegiatan ini secara turun temurun masih dipertahankan oleh masyarakat sunda.
2. "Nyorog" Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan / Puasa Ala Betawi

Tradisi nyorog Betawi

Tradisi nyorog Betawi

Tradisi “Nyorog” atau membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti Bapak/Ibu, Kakek/Nenek, Mertua, Paman, sudah menjadi sebuah kebiasan yang sejak lama dilakukan menjelang datangnya bulan Ramadhan atau bulan Puasa bagi masyarakat betawi.

Meskipun istilah “Nyorog” sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan hingga sekarang masih ada di Betawi.

Bingkisan yang diberikan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah. namun, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, susu, kopi, sirup, gula, dan lain sebagainya.

Nyorog bagi masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan satu sama lain. Mereka mengingatkan bahwasannya, bulan suci Ramadhan akan segera datang.

Disamping itu, tradisi “Nyorog” juga sebagai pengikat tali silahturaim sesama sanak keluarga bagi masyarakat betawi.
3. "Padusan" Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan di Jawa Tengah

Tradisi Padusan Yogyakarta

Tradisi Padusan Yogyakarta

Masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta biasa melakukan tradisi berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air ditempat-tempat yang dianggap kramat.

Kegiatan ini disebut “Padusan”. Makna dari kegiatan ini adalah agar jiwa dan raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa bersih secara lahir maupun batin.

Selain itu, ritual ini bermakna sebagai pembersihan diri atas segala kesalahan dan perbuatan dosa yang telah dilakukan selama satu tahun.
4. "Balimau" Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan di Padang

Tradisi balimau Padang

Tradisi balimau Padang

Tradisi Balimau adalah ritual rutin yang dilakukan oleh masyarakat Padang. Budaya ini hampir sama dengan tradisi padusan, yakni kegiatan membersihkan diri dengan cara berendam atau mandi bersama-sama di sungai atau tempat pemandian setempat.

masyarakat Padang, Sumatera Barat, rutin melakukan Tradisi Balimau. Biasanya ritual ini dilakukan mulai dari matahari terbit hingga terbenamnya matahari dan dilakukan beberapa hari sebelum bulan Ramadhan tiba.

Hampir sama dengan “Padusan” yang dilakukan masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta, makna dari ritual Balimau ini bermakna melakukan pembersihan diri secara lahir dan batin, tujuannya agar seseorang siap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
5. Jalur pacu Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Riau

Festival Kora-kora Maluku

Hampir sama denagn Festival Kora-kora Maluku kemeriahan peserta lomba mendayung kora-kora

Tradisi “Jalur Pacu” adalah upacara penyambutan bulan suci Ramadhan atau bulan Puasa di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, kegiatannya mirip dengan lomba dayung.

Jalur Pacu ini diselenggarakan di sungai-sungai di Riau dengan menggunakan perahu tradisional Singingi, Masyarakat akan senantiasa menyaksikan dan menyambut acara Jalur Pacu.

Kegiatan yang hanya dilakukan setahun sekali ini akan ditutup dengan “Balimau Kasai”. Balimau Kasai adalah Ritual bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam bagi masyarakat Singingi.
6. Meugang Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Aceh

Tradisi Meugang Aceh

Tradisi Meugang Aceh

Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) atau yang akrab disebut dengan kota “Serambi Mekah”, melakukan kebiasaan menyambut bulan suci Ramadhan yang berbeda dengan tradisi lainnya.

Warga Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan menyembelih kambing atau kerbau. Kegiatan yang dilakukan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) ini disebut dengan “Meugang”, Acara “Meugang” kabarnya sudah dilakukan sejak tahun 1400 M, atau sejak jaman raja-raja Aceh.

Kegiatan yang dimeriahkan dengan makan daging kerbau atau kambing bersama-sama ini biasa dilakukan oleh seluruh warga Aceh.

Semua warga akan bergotong-royong membantu, sehingga semua warganya dapat menikmati daging kambing atau kerbau sebelum datangnya bulan suci Ramadhan.

Meugang biasanya juga dilakukan saat hari raya Lebaran dan Hari Raya Idul Adha.
7. Dugderan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Semarang

Tradisi Dugderan Semarang

Tradisi Dugderan Semarang

Tradisi “Dugderan” adalah acara yang rutin dilakukan masyarakat kota Semarang, Jawa Tengah. “Dugderan” sendiri berasal dari kata “Dug” yang diambil dari suara dari bedug masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan atau bulan Puasa.

Sedangkan “Der” berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan. Kedua suara ini ber iringan sehingga jika disatukan terdengar seolah menjadi "Dug Der".

Perayaan “Dugderan” diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. kegiatan ini terus bertahan ditengah perkembangan zaman.

“Dugderan” biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum bulan Ramadhan. Karena sudah berlangsung lama, Acara Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat atau Festival kebudayaan.

Bahkan, pesta rakyat satu ini menampilkan berbagai rangkaian kegiatan sepertpa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug yang dilakukan oleh Walikota Semarang.

budaya “Dugderan” yang dulu menggunakan meriam, dentuman meriamnya kini diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran.

Bleduran yang dibunyikan untuk menciptakan suara "der" terbuat dari bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, hal ini bertujuan untuk menghasilkan suara seperti meriam.

Bleduran biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api agar memiliki suara seperti dentuman meriam.
8. Dandangan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Kudus, Jawa Tengah

Tradisi Dandangan Kudus

Tradisi Dandangan Kudus

Tradisi "Dandangan" merupakan sebuah perayaan yang dilakukan masyarakat kota Kudus yang diadakan menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan.

Perayaan "Dandangan" berupa pasar malam yang diadakan di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan Sunan Kudus, dan meluas ke beberapa di sekitarnya.

Tradisi "Dandangan" ini diperdagangkan beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan rumah tangga, pakaian, sandal, hiasan keramik, sampai dengan makan dan minuman serta mainan anak-anak.

Perayaan "Dandangan" sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Sunan Kudus (Syeh Jakfar Shodiq).

Waktu itu, setiap menjelang bulan Ramadhan atau bulan Puasa, Santri Sunan Kudus yang berjumlah ratusan berkumpul di Masjid Menara.

Mereka menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal Ramadhan atau bulan Puasa. Santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, melainkan juga dari daerah sekitarnya seperti Demak, Pati, Rembang, Kendal, Semarang, Jepara, bahkan sampai Tuban.

Orang berkumpul waktu itu sangat banyak, Perauaan "Dandangan" kemudian tidak sekadar menunggu pengumuman resmi dari Masjid Menara yang mengabarkan tentang awal puasa, namun juga dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu.
9. Malamang Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Sumatra Barat

Tradisi Malamang Sumatra Barat

Tradisi Malamang Sumatra Barat

Tradisi Malamang bagi masyarakat sumatra barat adalah tradisi berkumpul dan bergotong royong membuat nasi lemang pada ruas-ruas bambu yang telah dipotong-potong.

Malamang biasanya dilakukan dua hari menjelang bulan Puasa. Dan hasil lemang yang dimasak, akan dijadikan hantaran ke rumah mertua sebagai permohonan maaf untul membersihkan dosa yang telah lalu.
10. Nyadran Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Jawa

Tradisi nyadran

Tradisi nyadran

Nyadran biasanya dilakukan pada hari ke-10 di bulan Rajab. Acara ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin sesepuh desa setempat. Dalam doa tersebut, mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang telah meninggal dunia.

Setelah berdoa, seluruh warga melanjutkan kegiatan dengan menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelar banyak tikar dan daun pisang. Setiap keluarga membawa makanan untuk dikumpulkan.

Uniknya, warga harus membawa makanan yang berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, mangut, sambar goreng ati, urap sayuran dengan lauk rempah, tempe tahu bacem, perkedel, dan lain sebagainya.

Tradisi "Nyadran" / "Sadranan" berasal dari kata "Sodrun" yang artinya adalah gila atau tidak waras. Pada waktu sebelum datangnya walisongo menyebarkan agama Islam, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.

Kegiatan penyembahan benda sebelum datangnya walisongo juga disertai dengan menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra yang diucapkan.

Kemudian para walisongo meluruskan ajaran mereka, dan mengajak masyarakat dan memberi tahu bahwa yang wajib disembah hanya Allah SWT.

Mantra-mantra yang dibaca orang terdahulu lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Kemudian sesajinya diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga.
11. Perlon Unggahan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Banyumas, Jawa Tengah

Tradisi Perlon Banyumas

Tradisi Perlon Banyumas

Menjelang bulan puasa, sebagian warga di Banyumas akan mengadakan syukuran besar-besaran yang disebut dengan "Perlon Unggahan". "Perlon Unggahan" adalah tradisi berkumpulnya warga desa guna mengungkapkan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan atau bulan Puasa.

Kegiatan dalam tradisi "Perlon Unggahan" identik dengan aneka macam masakan tradisional yang disajikan, di antaranya daging serundeng sapi dan sayuran berkuah yang wajib dihidangkan. Uniknya, menu yang disajikan harus disuguhkan oleh para pria dewasa yang jumlahnya harus 12 orang.
12. Megengan Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan / Puasa di Surabaya, Jawa Timur

Tradisi-makan-Apem-magengan-ramadhan

Tradisi makan Apem magengan untuk menyambut bulan ramadhan / Puasa

Menjelang Ramadhan ada satu kegiatan adat yang disebut dengan ‘Megengan’ di Surabaya. Tradisi Megengan diceritakan berawal dari kawasan Ampel, di sekitar Masjid Ampel, Surabaya.

Perayaan ‘Megengan’ biasanya ditandai dengan makan apem, semacam serabi tebal yang memiliki diameter sekitar 15 senti dan dibuat dari tepung beras. Apem tersebut memiliki rasa tawar, seperti kue mangkok. namun, kue mangkok dipakai warga keturunan Tionghoa untuk sembahyangan menjelang hari raya Imlek.

Nama kue apem atau apam berasal dari bahasa arab yaitu afwan, dimana dalam bahasa Arab afwan berarti maaf. kegiatan makan apem ini untuk memaknai permintaan maaf kepada sesama saudara, kerabat, dan keluarga.

Sebenarnya, rangkaian adat Megengan bukanlah sekadar tradisi makan apem, akan tetapi juga bersama-sama melakukan selamatan atau tahlilan dengan hidangan apem dan pisang raja.

Hal ini ditujukan untuk mendoakan arwah saudara dan kerabat yang telah meninggal, dan sekaligus minta maaf. Usai tahlilan bersama, apem dan pisang dibagikan kepada semua keluarga dan tetangga dekat.