Ketuhanan dalam Pancasila dan Akar Kekerasan dalam Masyarakat
![Hari Pancasila](https://www.pewartanusantara.com/wp-content/uploads/2018/05/hari-pancasila-djunawir-scaled.jpg)
Bagaimana kita mendialogkan kembali dimensi ketuhanan dalam Pancasila di tengah-tengah persoalan sosial yang masih terus merongrong bangsa ini. Mengingat, bahwa persoalan ketuhanan tersebut tidak akan pernah selesai, karena dimensi ketuhanan adalah faktor yang menyentuh lapisan nilai dan keyakinan. Sehingga, membutuhkan kepekaan dari kita bersama bagaimana menjembataninya dalam kehidupan bermasyarakat.
Genealogi perdebatan ketuhanan dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, sangat terasa, salah satunya ketika pada saat perumusan dasar negara (weltanschauung). Persoalan tersebut, menjadi perdebatan serius dari para pendiri bangsa kita, apakah Indonesia akan berdiri di atas negara teokratis, sekuler, liberal, ataukah yang lainnya. Persoalan ini, melahirkan perdebatan antara kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler yang saling tawar menawar pemikiran dalam menetapkan dasar negara.
Perumusan dasar negara Indonesia mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). BPUPK sendiri didirikan pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, pada 7 September 1944 yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan pada masa depan.
Dalam berbagai sidang BPUPK tersebut mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang belum tersusun secara sistematis sebagai suatu dasar negara. Misalnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengemukakan bahwa prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai nilai fundamen kenegaraan.
Berangkat dari gagasan awal ini, menjadi bagian penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepnya tentang falsafah kebangsaan. Tepat pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berpidato dan menyampaikan usul tentang dasar negara yang diberi nama Pancasila, dan pada tanggal 18 Agustus 1945 diresmikan Pancasila sebagai dasar negara.
Menyelami Dimensi Ketuhanan dalam Pancasila
Ketuhanan adalah poin pertama yang disebutkan dalam isi Pancasila. Dimensi ketuhanan merupakan aspek yang mengakar pada kepercayaan dalam hal ini agama yang diyakini oleh masing-masing orang.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan komposisi penduduknya sangat majemuk, terdiri atas beberapa agama besar seperti Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Kondisi itulah yang turut mempengaruhi kebijakan dan pemikiran pada saat perumusan dasar negara (weltanschauung), di mana antara kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler yang keduanya saling mengajukan pemikirannya untuk menetapkan dasar negara Indonesia.
Yudi Latif dalam bukunya “Mata Air Keteladanan” (2014:10), menjelaskan bahwa terjadi perbedaan gagasan mengenai dasar negara. Misalnya, Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam pidatonya pada 31 Mei menjelaskan, bahwa Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama. Islam tidak bertentangan bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita.
Di pihak lain, pidato Soepomo pada 31 Mei juga memberikan pandangan. Menurutnya, jika kita hendak mendirikan Negara Islam di Indonesia, berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Karena mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang hanya akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar. Maka tentu akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil yang tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara.
Pada 1 juni 1945, Soekarno memberikan pandangannya mengenai ketuhanan tersebut, inti dari isi pidato tersebut, bahwa masing-masing orang Indonesia hendaknya harus ber-Tuhan dengan tuhannya sendiri. Tetapi, tiada egoisme dalam agama, serta mengamalkan dan menjelankan ajaran agama masing-masing dengan berkeadaban yakni hormat menghormati satu sama lain.
Ketuhanan dalam pandangan Soekarno di atas adalah sikap yang meneladani sifat-sifat Tuhan misalnya “pengasih dan penyayang”, yang dalam tiap-tiap ajaran agama tentu diajarkan. Nilai ketuhanan itulah, menjadi bagian penting dalam membingkai kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Bagaimana bangsa ini tetap kokoh dalam mempertahankan keutuhannya di tengah-tengah terpaan krisis sosial yang terus menguji keutuhan kita sebagai bangsa Indonesia.
Inilah yang menjadi nilai penting bagi kita semua, bahwa Pancasila bukan hanya dipandang secara terus menerus sebagai kepentingan dan tameng kekuasaan. Tetapi, di dalamnya terkandung nilai dan mata air keteladanan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa kita sebelumnya.
Dimensi Ketuhanan dan Akar Kekerasan dalam Masyarakat
Persoalan ketuhanan, tidak berhenti hanya sampai pada tahap perbedaan pemikiran dan sikap. Tetapi, bisa meluas keberbagai sektor kehidupan lainnya.
Salah satu fakta kekerasan yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi keyakinan dalam masyarakat misalnya aksi terorisme. Mengapa kasus terorisme selalu dihubungkan dengan persoalan keyakinan. Beberapa alasan sederhana yang sering muncul misalnya, pelakunya sering membawa simbol atau identitas agama tertentu, atau pelakunya merupakan jaringan dari salah satu kelompok yang mengatasnamakan agama, dan berbagai alasan lainnya yang pada akhirnya mengarah pada pembenaran atas nama agama.
Belum lama ini misalnya, kita telah digemparkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan melakuan aksi bom bunuh diri dibeberapa rumah ibadah seperti yang terjadi di Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018. Pertanyaannya, apa kaitannya antara dimensi ketuhanan dalam Pancasila dengan aksi terorisme yang terjadi hingga saat ini.
Jika kita melacak dalam fakta global misalnya, Umar Farouk Abdulmutallab, tersangka percobaan teror bom di pesawat Northwest Airlines rute Amsterdam-Deroit berasal dari salah satu keluarga terkaya di Nigeria. Osama Bin Laden misalnya, merupakan salah satu keluarga yang kaya dan mempunyai hubungan dekat dengan bangsawan Saudi. Demikian halnya, pelaku bom Bali, Azahari Husin, mempunyai ekonomi yang mapan, bahkan bisa meraih gelar Ph.D dari University of Reading, Inggris. (Lihat Tirto.id, edisi 16 Mei 2018).
Salah satu peneliti gerakan terorisme, Prof. Noorhaidi Hasan juga menjelaskan, bahwa aksi teror yang terjadi dalam masyarakat hingga saat ini, tidak luput dari adanya faktor ideologi dan identitas. Ketika ideologi bertemu dengan identitas, sangat mudah untuk mengantarkan seseorang pada tindakan tertentu. Apalagi, ketika seseorang memandang dunia saat ini yang dianggap semakin tidak adil, kafir, jauh dari kesalehan dan lain sebagainya. Maka, upaya-upaya untuk melakukan tindakan seperti bom bunuh diri akan mudah tersalurkan. Hal ini, dianggap sebagai bentuk tindakan mencari makna dan kehidupan yang lebih berarti. (Hasil wawancara dengan Prof. Noorhaidi Hasan, pada 23 Mei 2018).
Jika merujuk pada kasus bom bunuh diri yang terjadi di tiga Gereja di Surabaya, jika dilihat dari latar belakang pelakunya, yakni pasangan suami istri Dita Oeprianto dan Puji Kuswati beserta keempat anaknya, juga berasal dari latar belakang keluarga yang terbilang cukup mampu dalam hal perekonomian. Sebagaimana hasil pengamatan dari tim media Tirto, bahwa rumah pelaku yang berada di kompleks Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya, jauh dari kesan kumuh apalagi bobrok. Bahkan, keluarga ini, sering bepergian untuk berlibur. (Lihat Tirto.id, edisi 16 Mei 2018).
Dari penjelasan di atas, bahwa tindakan terorisme tidak selalu bermakna ekonomis, tetapi bisa bermakna teologis, politis, bahkan filosofis. Ketika individu atau kelompok meyakini suatu ideologi atau pemahaman tertentu, kemudian bertemu dengan identitas atau kelompok yang mempunyai misi yang sama, maka dengan mudah ideologi tersebut dapat tersalurkan dalam bentuk aksi.
Oleh karena itu, nilai ketuhanan dalam Pancasila yang kita yakini sebagai salah satu perekat kebhinekaan dalam bangsa Indonesia, menjadi penting untuk terus didiskusikan. Mengingat, kondisi bangsa kita sebagai salah satu negara yang sangat majemuk dan cukup sensitif bersentuhan dengan berbagai ragam identitas.
Ketuhanan dalam Pancasila hendaknya digali sebagai bentuk spiritualitas kehidupan, bukan sekadar simbol dan bentuk citra sosial. Ketuhanan dalam Pancasila mengarah pada nilai-nilai inklusifitas. Nilai yang dapat menjadi payung kebhinekaan, nilai yang dapat beradaptasi, pandangan hidup secara optimis, dan menjadi spirit keseharian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Pesta, Dansa, dan Politik
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida