Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Konsekuensi Populasi di Tengah Freedom of the Commons

Ilustrasi - Sampah Plastik

Dunia tengah mengalamai penetrasi yang begitu cepat dan dilahap dengan rakus oleh sisi keserakahan manusia. Sehingga perlu adanya kontrol atas kerusakan lingkungan yang kian mengglobal. Kerusakan lingkungan yang mengglobal antara lain disebabkan karena pemanasan global (gas-gas yang menyerap dan menahan panas dari matahari sehingga  mencegah kembali keruang angkasa), penyusutan ozon, hujan asam (berkaitan dengan pembakaran bahan bakar fosil yang bercampur dengan uap air di awan), sampah padat, dan penyusutan cadangan mineral. Sehingga, fenomena ini memunculkan gerakan-gerakan kepedulian atas kelestarian lingkungan.

Gerakan kepedulian atas lingkungan mulai marak pada tahun 1970-an, hal ini ditandai dengan terbitnya thesis berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis (Lynn White, 1967) dan The Tragedy of The Commons (Garet Hardins, 1968). Thesis ini berangkat dari kegelisahan atas kerusakan alam akibat pola industry dan prilaku konsumtif manusia yang tidak memperhatikan lingkungan. Kegentingan dari situasi ini memuculkan penetapan United Nations Environ­ment Programme (UNEP) dan Hari Lingkungan Sedunia (5 Juni) oleh PBB (15 Desember 1972). Penetapan ini sebagai bentuk respon atas gerakan peduli lingkungan dan upaya mengkampanyekan kesadaran pada masyarakat ditengah populasi yang kian membludak.

Ledakan populasi ini menjadi problem yang secara tidak langsung sangat berpotensi mengesampingkan bahkan merusak tatanan ekologi. Adam Smith dalam Wealth of Nations menyatakan perlu adanya kontrol dari orang – orang sebagai suatu prosedur untuk mewujudkan populasi yang optimal. Mustahil meminimalisir populasi atau dengan kata lain merepresi pertumbuhan populasi menjadi nol. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah mengoptimalkan populasi. bukan pada tataran kuantitas, tetapi kualitas.

Mengoptimalkan populasi di sini, salah satunya adalah dengan memberikan pemahaman mengenai makna kebebasan. Pada umumnya kebebasan diartikan sebagai hak untuk melakukan apa saja sesuka hati. Hal inilah yang turut menjadi pemicu banyaknya eksploitasi berlebihan dan masalah lingkungan yang merugikan berbagai pihak. Dengan kata lain seperti yang ditulis oleh Garrett Hardin dalam thesisnya “Freedom in a commons brings ruin to all”.

Perkembangan sosial ekonomi yang dinikmati masyarakat, tentu melahirkan pola baru dalam hal sosial ekonomi. Masyarakat cenderung konsumtif dan kurang memiliki komitmen untuk menciptakan pola kehidupan ekologis yang tumbuh dari kesadaran atas lingkungan hidup. Secara konkret, kita dihadapkan pada masalah sampah plastik yang telah mengepung lingkungan hidup kita.

Itulah headline halaman pertama di Harian Solopos edisi 5 Maret 2019 dengan tajuk Sehari, Sejuta Kresek Beredar di Solo. Headline ini seolah menjadi tamparan keras, bahwa dampak dari pertumbuhan sosial ekonomi, nampaknya masih belum didukung oleh kesadaran untuk menciptakan lingkungan hidup yang asri dan ramah huni.

Di negeri dengan tingkat kesadaran ekologis dan kontrol sosial yang kuat, semua elemen perdagangan diharuskan mengurangi penggunaan kemasan plastik dengan cara menganjurkan, bahkan mewajibkan, masyarakat atau konsumen membawa tas belanja. Hal ini sebagai bentuk tanggungjawab dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan

Kebebasan yang tidak bertanggungjawab seringkali mengakibatkan penderitaan bagi banyak pihak. Garrett Hardindalam thesisnya menyampaikan bahawa, dampak hebatnya memang tidak terjadi di awal, tetapi ketika jumlah populasi meningkat dan keseimbangan alam mulai terganggu, maka permasalahan akan terus membengkak. Sehingga, dibutuhkan semacam pemaksaan berbentuk aturan atau hukum tertulis, sanksi, dan atural non formal yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat serta stakeholders. Edukasi atas pentingnya kelestarian lingkungan hidup juga sangat diperlukan untuk membentuk kesadaran akan kebebasan yang tidak merusak alam.

253