Konsep Ketuhanan Xenophanes 570 SM - 475 SM
Pewartanusantara.com - Ada banyak sekali filsuf di dunia ini, dan salah satunya adalah Xenophanes yang hidup antara abad 570 SM sampai 475 SM. Tidak hanya sebagai seorang filsuf, Xenophanes juga dikenal sebagai penyair dan puisi-puisi yang dituliskannya kerap menggambarkan hasil pikirannya. Tidak hanya mengenai filsafat, Xenophanes juga kerap menulis puisi tentang cinta, perang, sejarah, dan tema tradisional lainnya.
Legenda Xenophanes
Disebutkan bahwa Xenophanes berasal dari Kolophon, Ionia, yang berada di Asia Kecil. Dalam salah satu puisinya, disebutkan bahwa ia meninggalkan kotanya sendiri pada saat memasuki umur 25 tahun karena kota kelahirannya direbut oleh bangga Persia.
Perjalanan yang dilalui Xenophanes cukup panjang. Setelah meninggalkan Kolophon, ia diketahui pernah singgah di kota Messina dan Katania di pulau Sisilia. Ada juga sumber yang mengatakan bahwa ia pernah mampir ke Malta, Pharos, dan Syrakusa sebelum akhirnya menetap di Elea, Italia Selatan. Saat kota Elea didirikan pada tahun 540 SM, Xenophanes membuat sebuah syair di sana.
Pemikiran Xenophanes
Dalam sebuah hasil pemikirannya, Xenophanes mengatakan bahwa manusia tidak serta merta mendapatkan hasil pikirannya sendiri atau terlahir dengan kepintaran secara langsung. Xenophanes mengatakan bahwa manusia mencari tahu pengertahuan itu sendiri seiring berjalannya waktu. Xenophanes menyatakan bahwa,
Pada awalnya, manusia tidak mendapatkan pernyataan apapun dari dewa-dewi. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya manusia berhasil menemukan berbagai hal menggunakan caranya sendiri.
Dari situ bisa dilihat bahwa manusia mencari ilmunya sendiri meski itu berawal dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dan melalui penelitian. Karenanya, Xenophanes mengatakan bahwa perlu adanya pembeda dari kebenaran, pengetahuan, dan kepercayaan.
Teori "Satu yang Meliputi Semua"
Pada masa Xenophanes ada paham orang Yunani yang mengatakan bahwa dewa dan dewi Yunani membuat malu manusia. Ini disebabkan karena dewa-dewi ini melakukan berbagai hal yang dilarang seperti mencuri, penipuan, hingga zina. Terutama pada Herodotos dan Hesiodos yang merupakan orang berpengaruh saat itu, Xenophanes menyatakan ketidak setujuannya.
Xenophanes membatah mengenai penggambaran dewa-dewi menurut manusia. Ia juga mengatakan bahwa manusia sering meletakkan sifat manusia ke dalam dewa-dewi tersebut sesuai dengan keinginan sendiri. Sanggahan Xenophanes yang saat itu diutarakan adalah,
Seandainya saja hewan seperti sapi, kuda, serta singa memiliki tangan dan memiliki kepandaian menggambar sebagaimana manusia, pasti kuda akan menggambar dewa-dewi menyerupai mereka, sapi akan menggambar dewa-dewi seperti wujudnya, dan demikian pula singa akan menggambar para dewa maupun dewi sebagaimaja tubuh mereka.
Xenophanes mengatakan bahwa antropomorfisme terhadap dewa-dewi bukan hal yang tepat dan menggunakan teori "Satu yang Meliputi Semua". Teori ini sekilas mirip dengan adanya konsep ‘Ketuhanan’ tapi tidak sama karena disebutkan dalam bentuk jamak atau lebih dari satu sementara konsep Tuhan ialah monoteisme atau satu.
God and Men
Teologi Xenophanes yang cukup besar adalah mengenai God and men atau Tuhan dan manusia. Ia menjabarkan bahwa setiap kebudayaan memiliki penggambaran mengenai Tuhan yang berbeda-beda. Karena ia melakukan berbagai perjalanan, ia bercerita bahwa orang Thracia menggambarkan Tuhan adalah sosok yang bermuka pucat dengan rambut merah.
Berbeda dengan sosok Tuhan menurut orang Yunani maupun Scythia. Xenophanes menganggap jawaban tadi benar karena menurutnya, pandangan Tuhan tidak lain adalah hasil pikiran manusia itu sendiri. Xenophales percaya bahwa adanya perbedaan budaya dan juga ras mempengaruhi pola pikir manusia mengenai Tuhan.
“One god there is, in no way like mortal creatures either in bodily form or in the thought of his mind. The whole of him sees, the whole of him thinks, the whole of him hears. He stays always motionless in the same place; it is not fitting that he should move about now this way, now that.”
―
Gambaran Tuhan menurut Xenophanes sendiri adalah, ia adalah sosok yang Maha dan melampaui keberadaan dewa-dewi dan bisa mendengar dan melihat segalanya.
Baca juga: Pemikiran Heraklitus, Filosof Yunani Kuno 600 SM – 540 SM
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida