
Literasi Lamongan dan Generasi Milenial Kita
Aguk Irawan Mn, seorang novelis kelahiran Lamongan pernah mengutip kebijaksanaan Thomas Bartholin “Literasi tak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubahnya.” Kemudian ia melanjutkan “4 abad yang lampau. Tanpa literasi, Tuhan diam, keadilan terbenam, sains macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan. Karena dengan literasi, kepribadian seseorang, juga sosial bisa terbentuk, dan lantaran literasi pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta. Kata-kata itu pula yang sering ia sampaikan saat berhadapan dengan santri-santrinya dalam suatu majlis Ilmu di pesantren yang ia dirikan.
Baitul Kilmah, itulah nama pesantren yang ia dirikan. Jauh sebelum pesantren itu berdiri dan menjadi markas besar para penyair dan sastrawan Yogyakarta yang belajar kepadanya. Juga sesekali terkadang banyak tamu berdatangan dari berbagai daerah, tak luput tamu itu berasal dari daerah Lamongan. Diantara tamu-tamu yang datang itu ada juga dosen-dosen Unisda maupun Unisla yang bersilaturrahim ke Baitul Kilmah untuk bertukar pengalaman dalam dunia literasi.
Pada Mulanya Pesantren yang didirikan Aguk Irawan itu hanyalah sebuah komunitas kecil, segerombolan mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga yang serius dan komitmen belajar menerjemah naskah-naskah Arab ke bahasa Indonesia. Lambat laun komunitas kecil yang dikomandani oleh Aguk Irawan itu semakin besar lantaran banyak karya-karya Novelnya yang best seller bahkan diadopsi ke layar lebar.
Lihatlah, Film Haji Backpaker, Air Mata Surga, dan Film sang Kiai. Semua film itu diadopsi dari novel best seller pemuda kelahiran Lamongan. Mungkin, banyaknya tamu yang berdatangan ke rumah Aguk, termasuk dosen-dosen Lamongan itu musababnya adalah karena ingin mencari sesutau yang baru; entah itu proses kreatif pembuatan novel atau sekedar proses kreatif penyusunan diksi yang baik, tentu lebih jauh dari itu adalah untuk mengetahui rahasia besar apa sehingga PH Film melirik novelnya untuk disuguhkan kepada masyarakat dalam bentuk audio-visual.
Aguk Irawan MN Sendiri, bagi saya adalah sebuah laboratoruim besar yang mengandung banyak pembelajaran. Salah satu diantaranya adalah kesabaran dalam menjalankan roda kehidupan santri di Baitul Kilmah. Tanpa itu, saya rasa mustahil Baitul Kilmah bisa berdiri sampai hari ini.
Suatu ketika, datanglah tamu dari Lamongan, beberapa dosen kelahiran Lamongan yang domisili di Yogyakarta pun turut datang, termasuk Pak Hery Lamong, seorang penyair senior yang aktif dalam Dewan Kesenian Lamongan.
Tiap kali ada tamu yang datang ke Baitul Kilmah. Mas Aguk, sapaan kami kepada pengasuh Baitul Kilmah itu, selalu mengajak kami santri-santrinya untuk dialog dan kongkow dengan mereka. Kebetulan tamu yang datang pada saat itu dari Lamongan sendiri.
“Pumpung Dewan Kesenian Lamongan ada di sini, ayo silahkan bertanya.” Penawaran Mas Aguk itu dilontarkan. Singkat cerita, sayapun akhirnya bertanya.
“Pak Hery, saya ini kan lahir di Lamongan, kebetulan sekarang ikut bergelut dalam dunia sastra di Baitul Kilmah. begini Pak, Pertanyaan saya hanya satu, bagaimana masa depan kesusastraan Lamongan pak.? Kalau melihat realitas masyarakat Lamongan hari-hari ini kan sangat mengabaikan sastra.”
“Waduh mas, saya disuruh jadi paranormal ini.?”
“Ya sedikit menerawang masa depan gapapa Pak.”
“Mmmmm. Begini mas. Sebenarnya miris melihat realitas kesusastran Lamongan, sebab banyak sekali faktor yang mempengaruhi. Di antara faktor itu adalah kurangnya minat masyarakat secara umum terhadap sastra. Lamongan kan kota Kuliner, ada Soto, Wingko, Tahu Tek dan lain-lain. Jadi kalau ada segerombolan manusia yang mendiskusikan puisi, cerpen bahkan terjemah naskah klasik itu menjadi hal yang lucu. Tapi tidak semua daerah seperti itu.”
“Ohya.?”
“Alhamdulillah, di sekolah dan pesantren Sungilebak geliat sastra masih terus berjalan, banyak siswa-siswa yang ikut lomba baca puisi di beberapa kampus kenamaan Indonesia, dan alhamdulillah mereka menang.”
“Alhamdulillah kalau begitu.”
“Kita di Lamongan ini kekurangan tenaga pendidik, dan malaikat yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk sastra seperti Aguk Irawan MN ini mas. Lamongan gak punya Aguk Irawan, gak punya sastrawan lain yang benar-benar totalitas mendermakan fikiran dan tenaganya untuk kemajuan literasi di Lamongan.”
Mas Aguk pun tertawa.......
Disusul tawa kami....
Dari percakapan kami yang singkat itu, tidak menutup kemungkinan juga menjadi perbincangan hangat di antara pemuda-pemuda Lamongan lain yang sedang menempuh pendidikan di luar kota, bahkan Luar Negeri. Bagaimanakah masa depan kesusastraan Lamongan? Apakah kita hanya diam?
Bukankah di Lamongan pada masa itu ada seorang wali yang mendapat julukan Sunan Drajat? Syahdan, Sunan Drajat mampu membuat penjahat kelas kakap tobat hanya dengan suara gamelan, beliau memang pandai memainkan alat musik tradisional, salah satunya adalah memainkan gamelan. Melalui kesenian (musik) tradisional pula beliau mendekati masyarakat). Dan salah satu tembang yang sering beliau bawakan adalah tembang Pungkur.
Pangkur sendiri, menurut beberapa Sejarawan, Agus Sunyoto menyebut Pungkur itu singkatan dari Pangudi Isine Quran. Tembang tersebut biasa dinyanyikan bersama alunan gamelan Singo Mengkok miliknya. Banyak yang menyebut gamelan tersebut mengandung kekuatan magis. Apalagi jika disatukan dengan bacaan tembang Pangkur.
Dikisahkan dalam Kisah Ajaib Wali Songo yang ditulis oleh Rohimudin Nawawi Al Bantani, pada suatu hari ada seorang penjahat sakti bernama Duratmoko. Tingkah lakunya sering merugikan dan meresahkan masyarakat. Akhirnya Sunan Drajat berniat memberi pelajaran pada berandal tersebut. Apalagi Duratmoko selama ini tidak mau mengakui perbuatan buruk yang dia lakukan pada masyarakat.
Sunan Drajat mengutus para pengawalnya untuk menangkap Duratmoko. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil membawa Duratmoko ke hadapan Kanjeng Sunan. Bukannya menasihati atau memberi wejangan, kepada Duratmoko, Sunan Drajat justru menyanyikan tembang Pangkur diiringi lantunan suara gamelan Singo Mengkoknya.
Kanjeng Sunan menyampaikan pitutur melalui tembang Pangkur. Sederhana memang saran beliau sampaikan melalui lirik dan diiringi alat musik. Namun, Duratmoko masih membisu, tidak mau mengakui kesalahannya. Akhirnya tembang Pangkur dinyanyikan lebih keras. Temponya dibuat lebih cepat.
Rohimudin Nawawi mengatakan, isi tembang tersebut kurang lebih mengenai saran untuk jadi penolong bagi sesama. Hidup tidak boleh menyakiti dan memeras orang lain. Kita harus saling berdampingan tolong-menolong.Setelah beberapa saat, akhirnya tembang Pangkur dan gamelan Singo Mengkok membuat penjahat tersebut menyerah. Duratmoko seperti kesurupan. Karomah Kanjeng Sunan Drajat menembus sukmanya. Tidak lama kemudian, dia pun jera dan mengakui semua kesalahan yang pernah dilakukan, dan meminta maaf kepada Kanjeng Sunan dan masyarakat.
Berandal yang gagah perkasa itu takluk. Dia meminta ampun dan meminta dijadikan pemeluk Islam. Akhirnya Duratmo menjadi murid Sunan Drajat. Duratmo kemudian diberi Sunan Drajat nama menjadi Ki Sulaiman. Begitulah kisahnya. Hanya dengan sebuah Syair, Kanjeng Sunan mampu meluluhkan hati seorang penjahat kelas kakap.
Dan lihatlah fenomena sekarang! Betapa banyak syair-syair yang bertebaran di dunia maya? Dalam dekade terakhir, bangsa besar ini hanya mengalami kebudayaan lisan, lalu melompat ke kebudayaan audio-visual, dan sekarang begitu kaget dengan kebudayaan cyber (gadget). Kebudayaan literasi (baca-tulis) terlewati, dan sedihnya, terlupakan. Karena itu hampir dimana-mana, bahkan di gang-gang kecil, seluruh pelosok di negeri ini orang hanya sibuk menenteng gad-getnya dan nyaris tak ada yang peduli dengan literasi. Itulah kegelisahan yang diungkapkan Aguk Irawan MN dan apakah juga menjadia kegelisahan kita bersama?
Marilah kita mengingat kembali sebuah perumusan yang dideklarasikan oleh Naeyc (National Association for the Education of Young Children); ada empat cara yang harus dilakukan dalam pembangunan literasi secara universal yaitu meningkatkan kemampuan bahasa sejak dini di rumah dan dalam pendidikan non formal, lebih mengefektifkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan ketrampilan membaca dan menulis di sekolah. Kemudian ia melanjutkan, Seperti adanya akses untuk membaca dan pogram yang membuat anak merasa senang melakukan kegiatan literasi, menciptakan kerjasama antara sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan kerja untuk dapat mendukung budaya literasi.
Baca juga : Jejak Prabu Airlangga di Lamongan
Dari sebuah perumusan di atas itu, setidaknya kita masih punya harapan banyak terhadap generasi milenial Lamongan. Asal, mereka tak terjerumus dan tersesat ke dunia jeprat-jepret. Di mana ada spot foto baru, ke sanalah mereka berkumpul. Kecuali kalau dinas pariwisata dan kebudayaan Lamongan bertekad membangun tempat pariwisata baru juga sekaligus menyediakan buku-buku bacaan di sana. Kalaupun bukunya tak terbaca, minimal buku itu akan dilihat dan diajak foto. Jepret-jepret.!
Wallahu A’lam.
Blandongan Cafe Yogyakarta
Jum’at 26 Oktober 2018
Ahmad Ali Adhim
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida