Ngaji sama kiyai Fajar Abdul Ghoni (kiyai jarkoni)
"Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberikan akal dan pikiran untuk memandu kehidupannya di dunia. Kalau manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir, apa bedanya dengan binatang? Jika saya tidak memutar otak, dari mana saya bisa memberi makan keluarga? Memang semuanya itu dari Allah, sayangnya Allah tidak datang kesini menenteng bahan makanan, tapi kita yang harus aktif jemput bola. Bahkan jika tidak ada peluang, kita harus bisa menciptakannya."
Itu adalah wejangan ayah yang selalu saya ingat. Kalau ayah sudah bicara, omongannya memang suka ngelantur kemana-mana. Apa hubungannya bahan makanan dengan bola? Untungnya beliau punya anak yang... yah, you know what i Mean lah... Sehingga esensinya tetap bisa saya terima dengan selamat tanpa kurang suatu apapun.
Pemikiran ayah yang sedikit meterialis, saya terapkan pada proses penaklukan hati sijelita penyuka warna merah, pemilik hidung panjang seruncing ujung pedang, dambaan para lelaki, Putri binti Kasturi.
Meskipun saya percaya, Tuhan telah mencatat nama saya dan Putri di lauhil mahfud, saya tetap harus menyingkirkan sendiri kutu-kutu yang menempel pada perjalanan cinta saya dan putri, Seperti Yogi dan para pengemis cinta lainnya. Point pentingnya, saya harus terus berada di dekat Putri. Jika tidak ada peluang sekalipun, maka saya harus menciptakannya sendiri.
Karena hari Minggu tidak bisa bertemu dengan putri di sekolah, Untuk itu saya harus ikut mengaji di pak kiyai Jarkoni setiap Minggu pagi. Ini akan menjadi moment perjumpaan yang berbeda dan sekaligus nilai lebih Dimata putri.
Minggu pagi tanpa mandi menjadi hari penting, karena pagi ini adalah pertama kalinya saya mengaji pada kiyai Jarkoni. Jelas itu bukan urusan spirituil, melainkan salah satu upaya strategis dalam penaklukan hati anak bapak kasturi.
Rumah kiyai Jarkoni tidak jauh, hanya berjarak 10 menit dari rumah saya. Namun, sekalipun saya tidak pernah mengusik ketenangan feodalis berkedok agama itu, keluarga Cendana yang hartanya tidak habis dimakan 7 turunan, diktator kaum proletar yang di tuhankan para santrinya, kiyai Fajar Abdul Ghoni.
Sesampainya di aula tempat pengajian, ternyata sudah dipadati para santri berpakaian putih yang berjumlah ratusan. Saya duduk di depan berharap putri tau kalau saya juga mengaji.
Tidak lama saya duduk pak kiyai datang. Beliau membuka pengajian dengan bacaan yang saya tidak pernah dengar, tapi semua santri hafal bacaan tersebut.
Seketika itu saya merasa salah di hadapan Tuhan, keimananku seolah kurang sempurna karena tidak hafal bacaan mereka, dan di dalam hati saya bertanya pada Tuhan "ya Tuhan, saya percaya kepadaMu. Dengan kepercayaan itu, saya merasa menjadi hambaMu. Melihat santri begitu antusias membaca bacaan ini yang saya baru pertama kali mendengarnya, apakah selama ini saya adalah orang yang sekular ya Tuhan? Apakah saya ini benar-benar hambaMu ya Tuhan?" Kataku sambil bengong melihat pak kiyai yang terus menatap kebengongnku.
Dalam pengajian, pak kiyai berkata "Sebagai umat Islam kita wajib hukumnya menuntut ilmu, jika tidak tau, maka bertanya kepada yang tau. Bagai mana kita bisa shalat jika kita tidak tau cara shalat?" Kata pak kiyai sambil memandangku dengan pandangan sinis seolah menebak saya adalah santri baru yang tidak datang kerumahnya membawa gula teh dan kawan-kawannya.
Kemudian beliau menunjuk saya dan menanyakan nama. "Siapa nama kamu mas? Iya, kamu yang pake peci hitam karatan." Seluruh ruangan menjadi gaduh oleh tawa santri. Mereka menganggap peci hitam kakek yang saya pakai ini lucu. "Dasar oportunis" kataku dalam hati.
"Siapa mas?" Tanya pak kiyai lagi. Entah kenapa yang saya ingat adalah ketika Putri memaki dengan sebutan "kupret" karena sampannya saya tabrak waktu itu.
Dengan tergesa-gesa dan sedikit grogi, saya jawab "Kupret pak kiyai !!" Suasana tiba-tiba hening, para santri menganggap saya memaki pak kiyai. "Oh, nama kamu kupret" kata pak kiyai. Santri kembali tertawa terbahak-bahak menertawakan nama saya yang tidak lazim.
Pak kiyai kembali bertanya "pret, kamu pernah shalat di masjid?" "Pernah pak kiyai" jawab saya sambil melirik putri yang duduk di barisan sebelah kanan khusus santriwati. "Bagus.. lalu kamu tau tidak, bagaimana hukumnya, jika kamu sedang shalat tiba-tiba ada seekor anjing masuk, anjing tersebut kemudian menjilat kaki waktu kamu shalat, shalat kamu sah atau tidak pret?"
Sebelum pertanyaan diucapkan, saya sempat berpikir "ini jelas pertanyaan jebakan. Saya harus bisa menjawab ini secara detail agar putri tau betapa calon imamnya sangat faham keilmuan agama" Yang saya pikirkan adalah moment ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk mendapat perhatian Putri.
Sebelum pak kiyai selesai bertanya, saya menyela dengan jawaban yang lantang "Shalat harus dalam keadaan suci pak kiyai. Suci yang dimaksud adalah terbebas dari hadas kecil maupun besar. Sedangkan air liur anjing adalah najis mugholadhoh, najis besar pak kiyai!!, membersihkannya harus dibasuh tujuh kali, dan yang terakhir menggunakan pasir. Jika shalat dalam keadaan najis menempel di kaki, maka hukumnya haram dan tidak sah!!" Jawabku dengan tegas.
Suasana kembali hening setelah saya selesai menjawab. Pak kiyai kemudian berkata "ini adalah salah satu contoh anak yang harus terus mengaji, karena pemahamannya ternyata sangat dangkal" para santri kembali menertawai saya karena statement pak kiyai yang menyudutkan.
"Bagai mana mungkin shalat bisa sah kalau kakinya dijilat anjing pak kiyai!!, Pak kiyai jangan mengajarkan kesesatan pada santri!!" Saya mencoba menjelaskan kembali, dengan nada lantang penuh emosi.
"Shalat kamu tetap sah kupret.., karena yang dijilat anjing adalah kakinya sendiri". Seketika itu ruangan pecah dengan tawa santri yang terbahak-bahak. Saya benar-benar melakukan blunder fatal, terlihat dungu dan jelas saya belum pernah mengaji ala santri kiyai Fajar Abdul Ghoni. "Dasar Jarkoni"
#KupretPart2
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida