Pewarta Nusantara
Menu Menu
agama

Proliferasi Otoritas Agama

Baru-baru ini juara keviralan dapat dinominasikan pada sebuah video seorang ustad yang mengatakan “Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi adalah sesat”. Pernyataan yang diungkapkan oleh ustad muda tersebut bagi saya cukup menarik untuk ditanggapi atau diproblematisir lebih dalam. Bagi sebagian umat islam yang memahami kalau nabi Muhammad itu seorang yang ma’sum (terbebas dari dosa) pasti akan langsung menghakimi pernyataan si ustad tadi sebagai tuduhan atau penghinaan. Jika tuduhan itu tidak bisa dibuktikan atau dijelaskan maka akan jatuh dalam perbuatan fitnah. Bagaimana bisa seorang ustad memfitnah nabinya sendiri? Cepat saja pernyataan tersebut direspon oleh otoritas agama yang sudah mapan  dan menyatakan ketidaksependapatannya. Mereka menuntut si ustad agar meminta maaf kepada seluruh umat muslim.

Memang menjadi sifat dasar media sosial yang selalu mengeksploitasi emosi serta tenaga kita untuk memikirkan hal-hal yang remeh temeh dan kecil. Kerap kita diseret oleh hasrat reaktif untuk segera menanggapi sesuatu yang sedang viral media sosial. Adakalanya kadar keviralan sebuah informasi juga dipengaruhi oleh “framing” dengan penggunaan kata-kata yang provokatif. Tujuan utama aksi provokasi tersebut adalah untuk mencuri perhatian, waktu dan tenaga kita untuk kepentingan tertentu. Bisa berupa mencari popularitas, mendulang receh, memantapkan posisi, memecah belah atau jenis kepentingan lain yang hubungannya tidak jauh dari perebutan kekuasaan dan ekonomi.

Secara tidak sadar kita menggunakan media sosial bukan untuk kegiatan komunikasi yang menghubungkan dan mempererat ikatan sosial tetapi lebih pada pencarian pengakuan akan keberadaan diri. Dalam bidang psikologi orang yang haus akan pengakuan dapat dikatakan proses perkembangannya agak nganu. Ia belum menemukan kerangka referensi identitas dan nilai yang stabil.

Media sosial memungkinkan pertukaran informasi berubah menjadi sangat radikal. Sebuah informasi bisa digandakan dan disebarkan sampai ukuran yang tak terbatas. Hal ini menjadikan media sosial sebagai ruang belajar yang kebanjiran materi informasi. Tidak sampai di situ saja, pengguna media sosial juga bisa berbicara, menanggapi atau menyatakan apapun tanpa perlu takut aturan nilai dan norma. Jagat media berprinsip setiap orang bebas mengekspresikan dirinya sendiri. Kebebasan yang tanpa disertai batasan ini seringkali menimbulkan ke-gagap-an dan guncangan-guncangan psikologis. Meskipun begitu, pengguna media sosial tetap saja masih betah berlama-lama berada di dalamnya.

Untuk tujuan pembelajaran media sosial memang tidak efektif karena terlalu banyak hal yang berseliweran. Kalau ada orang yang berniat mencari informasi atau pengetahuan di media sosial, saya bisa memastikan tidak akan pernah sampai pada tataran yang mendalam. Mereka hanya menangkap gejala-gejala dari arus informasi yang dikendalikan oleh industri pengetahuan.

Sifat lain yang dimiliki oleh media sosial adalah membuat para penggunanya menikmati kecanduan, kebahagiaan, dan kesenangan. Dengan kata lain dunia itu tidak lain daripada wahana permainan anak-anak manja yang sedang mengalami kegalauan, depresi dan keterasingan.

Kembali pada persoalan, pernyataan ustad muda yang kontroversial diatas bisa dipahami sebagai model beragama baru. Model ini lebih menekankan pentingnya kembali pada Al-Quran dan Hadist dengan penafsiran literal yang bebas. maklum saja ustad-ustad kota hanya mampu memahami sumber ajaran agama dengan cara yang demikian karena mereka tidak memiliki kapasitas yang diisyaratkan oleh otoritas lama. Paling tidak syarat menjadi penafsir harus menguasai tata bahasa, hadis dan ilmu-ilmu al-Quran. Dengan syarat itu mereka pasti tidak memilik kompetensi apa-apa.

Bagi mereka kompetensi tersebut tidak menjadi hal utama, yang menjadi prioritas adalah menyampaikan kebaikan (dakwah). Asalkan mampu mengartikulasikan ayat-ayat al-Quran dalam bahasa yang menarik, kekinian dan disertai selera humor setiap orang boleh ceramah. Tidak penting bagaimana latar belakang pendidikan dan perilaku kesehariannya. Yang lebih penting adalah daya tariknya terhadap audience. Dengan kata lain ceramah mereka mirip dengan marketing hiburan yang menggunakan konten keagamaan.

Peristiwa ini tidak bisa lepas dari perubahan kesalehan religius yang menemukan bentuk barunya dalam atmosfer kehidupan modern yang terglobalisasi. Dalam kajian-kajian terbaru, kesalehan tidak lagi berbentuk perilaku-perilaku yang sederhana dan elegan. Ia berubah menjadi kesalehan yang simbolik yang mencoba mengakomodasi pola perilaku modern yang konsumtif.

Ada yang menyebut corak kesalehan baru ini sebagai perpaduan antara nilai-nilai agama dengan sistem kapitalis. Kita dapat memperhatikan bagaimana seorang yang hidup di kota memiliki semangat religiositas yang tinggi. Antusiasme terhadap materi yang berbau agama berbanding lurus dengan jumlah pengajian atau kajian yang diselenggarakan di masjid-masjid perkotaan. Fenomena ini dipengaruhi oleh arus kehidupan modern yang menjadikan manusia terpecah-pecah dalam memahami sesuatu. Hal ini membuat diri mereka terasing karena tidak mampu mencari makna-makna kehidupan. Akhirnya mereka lari dan menemukan oase makna dari bahasa-bahasa agama.

Kebutuhan muslim kota akan makna religius ini terbentur oleh keadaan yang sudah terpapar pola kehidupan mekanis. Alih-alih mencari makna religius yang substantif, mereka lebih memilih mencari religiositas dengan cara yang pragmatis dan instan. Kemunculan ustad-ustad dadakan yang bermunculan di televisi serta ceramah di masjid-masjid kota dapat kita pandang sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Pendekatan yang dipilih berbeda dalam menghadapi muslim kota. Dari segi materi ceramah, ustad-ustad ini lebih memilih tema-tema yang menarik kalangan yang masih berusia muda seperti cinta, hijrah dan pernikahan.

Di satu sisi saya merasa senang, dalam artian muslim kota masih mau mempelajari ajaran agama meskipun dengan cara yang kurang tepat. Pernyataan kontroversial diatas malah menimbulkan pergolakan dalam pikiran yang berbentuk sederet pertanyaan. Pertama, yang dimaksud sesat itu apa dan bagaimana? Saya menduga kesesatan yang dituduhkan kepada nabi Muhammad itu lebih pada persoalan kebingungan. Sebelum diangkat menjadi rosul, Muhammad gelisah dengan keadaan masyarakat Quraisy yang penuh ke-jahil-an. Muhammad sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan hingga beliau memutuskan untuk berkhalwat di gua Hira.

Kata sesat sendiri tidak akan pernah bisa berdiri sendiri tanpa ada suatu tujuan dan cara menuju. Ada cerita menarik untuk menggambarkan kesesatan. Suatu hari saya bertemu dengan seorang gadis muda dan cantik di terminal. Kemudian ia saya tanyai mau pergi ke mana? ia menjawab ke jakarta. Akan tetapi ada hal yang aneh kenapa kok ia malah naik bus rute ke solo bukannya cari rute ke jakarta. Kemudian saya menyimpulkan bahwa si gadis sedang salah jalan (sesat). Padahal bisa saja ia ke jakarta naik pesawat dari solo.

Pengetahuan tentang cara lain dan tujuan inilah yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Kita sering menuduh orang sesat tanpa pernah tahu apa tujuan dan bagaimana cara menempuhnya. Dalam beragama pun juga begitu, kita terlalu kaku dalam memandang persoalan sehingga menganggap pemahaman agama kitalah yang paling benar. Menuduh orang sesat berarti menilai proses keagamaan orang dengan cara pandang kita terhadapnya.

Saya kok malah lebih suka sebaliknya yaitu merasa bersalah atau sesat. Orang yang merasa bersalah akan lebih hati-hati dalam bertindak dan menyadari bahwa ia sedang berproses mencari kebenaran. Dengan begitu, kesesatan atau tidak berlangsung dinamis tergantung konteks ruang dan waktu, ia tidak statis dan mandek.

Satu lagi pelajaran yang bisa diambil, dalam ruang publik masyarakat, ada sesuatu yang lebih baik dipendam dan menjadi rahasia daripada diungkapkan. Sekarang kita telah kehilangan rahasia (privasi) dengan mencurahkan segala perasaan, emosi dan hasrat di jagat media sosial. Konsekuensinya, masalah-masalah pribadi berubah menjadi masalah sosial dan ini kontraproduktif terhadap perkembangan masyarakat. Ruang publik disesaki oleh persoalan-persoalan individu atau kelompok sehingga meminggirkan permasalahan sosial yang menjadi landasan utama perdamaian. Maksud permasalahan sosial di sini adalah pola hubungan antar kelas, distribusi ekonomi dan kesempatan mobilitas sosial.

Terakhir, berkembangnya masyarakat modern yang disertai kemajuan teknologi menciptakan suatu kebudayaan baru yang sama sekali berbeda dengan kebudayaan lama. Meskipun ada banyak lapis persinggunganannya, arah perubahan budaya masih condong ke masyarakat modern. Salah satunya adalah model keagamaan di kota dan media sosial yang merumuskan kriteria baru tentang otoritatis. Kecenderungan orang modern yang pragmatis membuat ekspresi keagamaan mereka bernuansa simbolis dan liberal.

Bagi mereka, agama bisa menjadi milik setiap orang yang mempercayainya. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada otoritas lama yang terkenal kaku karena tidak bisa mengakomodasi semangat religiositas mereka. Di pihak lain, cara beragama mereka ini dituduh sebagai penyimpangan dan perlu diluruskan.

Perebutan otoritas keagamaan sedang berlangsung dan menarik untuk dicermati lebih dalam. Penting untuk ditekankan di sini adalah Agama memiliki caranya sendiri untuk terus hidup di tengah masyarakat. Meskipun masyarakat dikepung oleh sistem kapitalisme, Agama terus hidup dalam bentuk barunya. Hal ini telah membantah tesis yang menyatakan bahwa agama akan terasing dan tidak relevan di tengah masyarakat modern.

Baca juga Episteme Dai Pop

Yogyakarta, 9 Agustus 2018

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida