Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Surveillance Capitalism

surveillance

Dari segi etimologis Surveillance berasal dari bahasa Prancis yang berarti pengawasan yang berlebihan. Pengawasan mungkin lebih dekat dengan badan intelligent yang memiliki kepentingan dalam mengamankan negara dari segala bentuk ancaman. Jika ditelusuri lebih lanjut, Surveillance sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gagasan M. Foucault tentang panoptic dalam bukunya Discipline and Punish. Ia mengatakan kalau modifikasi perilaku manusia dilakukan dengan proses pendisiplinan yang alat utamanya adalah pengawasan. Ia mengkritik masyarakat modern yang setiap harinya sangat disiplin tidak ubahnya seperti tahanan penjara. Pertanyaannya adalah apakah informasi digital juga merupakan salah satu jenis penjara yang membatasi kebebasan manusia? Kalau tidak maka apa arti kebebasan jika semua pilihan yang tersedia sudah ditentukan oleh pihak lain? Satu hal yang dapat dipelajari dari Foucault adalah bersikap reflektif, jangan-jangan banjirnya informasi dan semakin menghanyutkannya teknologi membuat diri kita semakin terkubur oleh arus zaman.

Buku penting yang menggelorakan kembali diskusi mengenai kapital adalah Capital in The Twenty-First Century karangan T. Piketty. Ekonom Prancis ini ingin berkata bahwa abad 21 merupakan abad yang tingkat ketimpangannya paling parah dalam sejarah peradaban umat manusia. Ia menunjukkan bahwa selama tingkat pengembalian modal lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan ekonomi maka ketimpangan akan semakin buruk (r>g). Mungkin bagi orang yang asing dengan statistika atau rasio ekonomi akan merasa asing namun analisis sejarahnya mengenai ketimpangan di negara-negara maju sangat mengagumkan. Poin utama yang dibawa Piketty adalah negara harus mengatasi ketimpangan dengan pemberlakuan pajak progresif.

Di awal tahun 2019, muncul kembali buku yang berjudul The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for Human Future at The New Frontier of Power tulisan Shoshana Zuboff. Berbeda dengan Piketty yang gelisah terhadap ketimpangan, Zuboff lebih menggelisahkan tentang nasib masa depan manusia di tengah perkembangan teknologi informasi yang dikuasai oleh korporasi seperti Google dan Facebook. Professor Harvard ini sebenarnya ingin bercerita tentang bagaimana mekanisme eksploitasi manusia dalam dunia digital. Dalam pengantar buku ia mengajukan sebuah pertanyaan “bisakah masa depan dunia digital menjadi rumah kita? Yang dimaksud dengan rumah itu tidak sebatas pada tempat yang ditinggali tetapi juga suatu lokus yang memicu pengalaman dan perasaan tertentu sebagai manusia. Di sini lah titik tolak Zuboff dalam menganalisis kondisi masyarakat informasi dan memunculkan Surveillance Capitalism sebagai suatu logika penghisapan para kapitalis digital. Kalau Marx dahulu menyebut kapitalisme sebagai vampir yang menghisap keringat pekerja maka sekarang kapitalisme sebagai pencuri yang memakan setiap aspek pengalaman manusia.

Dunia digital yang terbangun oleh dua fondasi dasar yaitu teknologi komunikasi dan informasi sekarang telah menjadi arena sekaligus pasar. Kehebatan teknologi digital dalam menciptakan realitas semu menyeret manusia untuk tinggal di dalamnya. Karakter menghanyutkan itulah yang menjadi langkah pertama para kapitalis digital dalam menciptakan suatu perilaku tertentu. Penggunaan istilah user (pengguna) di dunia internet sebenarnya berkonotasi dengan para pecandu narkoba. Para pengguna tersebut sudah ketergantungan secara psikologis akan sesuatu hal. Tidak berhenti sampai disitu saja, para pengguna akan merasa nyaman dan bahagia ketika memakai internet maupun narkoba dan akan mengalami gangguan psikologis jika tidak secara rutin mengonsumsinya. Dalam iklim informasi satu-satunya masa depan yang akan dituju adalah “pasar perilaku”. Belajar dari para penganut aliran constructivism yang meyakini bahwa situasi dan kondisi masyarakat akan mempengaruhi perilaku. Atau dunia objektif akan membentuk dunia subjektif selama si subjek tersebut berpartisipasi dan membiarkan dirinya diarahkan. Contoh kecilnya adalah ketika mengetikkan suatu kata tertentu di mesin pencarian atau mengunjungi situs tertentu di internet pada saat itu pula pengalaman kita sedang direkam dan perilaku sedang diarahkan. Bagi produsen informasi juga dapat menerapkan hal serupa dengan metode test case untuk mengukur respons massa. Meskipun polanya sama akan tetapi Surveillance Capitalism lebih jauh dari itu semua karena perbedaan sumber daya yang dimiliki.

Salah satu kekuasaan riil karena memiliki sumber daya teknologi dalam dunia digital adalah perusahaan platform. Google yang dikenal sebagai mesin pencarian paling populer di dunia pada dasarnya berbentuk platform, begitu juga dengan facebook, Instagram dan twitter. Platform adalah sebuah ruangan yang penuh informasi yang berjalan dengan struktur logika tertentu dimana seluruh aktivitas yang terjadi di dalam ruangan tersebut akan tersimpan di dalam data base yang aksesnya hanya dimiliki oleh penyedia (programmer). Di samping itu hal yang paling mencurigakan adalah bagaimana bisa perusahaan teknologi informasi menempati posisi tertinggi dalam hal pendapatan tahunan. Dari mana perusahaan tersebut mendapatkan uang dan jenis produk apa yang dijual oleh perusahaan ini dan siapa yang membelinya itu masih menjadi misteri.

Dalam kondisi yang seperti itu, Zuboff menemukan titik terang ketika memberikan penjelasan mengenai logika surveillance capitalism. Logika yang beroperasi di tangan penguasa teknologi informasi ini memandang bahwa pengalaman manusia adalah bahan baku pertarungan informasi. Dialektika antara pengalaman dan informasi akan membentuk suatu corak pengetahuan tertentu yang dimiliki oleh manusia. Hubungan antara pengalaman dan informasi diwadahi oleh platform teknologi informasi. Platform di sini juga berperan sebagai malaikat pencatat yang tidak kita ketahui keberadaannya. Para malaikat tersebut kemudian mengumpulkan data perilaku pengguna di suatu tempat khusus. Seluruh data yang terkumpul merupakan informasi yang memiliki nilai lebih (surplus). Kalau kita membaca kembali Marx nilai lebih adalah pencurian yang dilakukan oleh kapitalis terhadap buruh pekerja. Mengikuti logika tersebut maka nilai lebih dari informasi perilaku adalah penghisapan terhadap pengguna untuk keuntungan penyedia platform. Corak hubungan yang parisitis telah merendahkan harkat martabat manusia dengan memandangnya tidak lebih dari sebuah objek.

gambar

Meskipun penyedia platform komunikasi dan informasi telah meyakinkan publik bahwa kerahasiaan data pengguna dilindungi namun tidak menutup kecurigaan bahwa mereka tengah menerapkan suatu logika eksploitasi terhadap kehidupan manusia. Data pengguna yang didapatkan digunakan oleh para kapitalis digital untuk membuat suatu daya prediksi atau pengukuran futuristik melalui mekanisme pengolahan data. Artificial Intelligent yang berupa algoritma dan logika informasi adalah alat yang digunakan untuk memproses data perilaku pengguna. Pada kenyataannya proses tersebut terjadi secara real time yang artinya seluruh mekanismenya berjalan secara langsung tanpa membutuhkan waktu jeda.

Terakhir saya ingin mengkritisi apa yang dikatakan Zuboff dalam buku barunya tersebut. Jika berkaca pada karya pertamanya In The Age of Smart Machine yang kurang lebih memperhatikan hal yang sama yaitu kekuasaan teknologi informasi maka saya rasa ia telah kehilangan basis material. Mungkin ia mampu membedah mekanisme serta logika dibalik penguasaan industri informasi namun ia gagal dalam menjelaskan bagaimana karakter para pengguna yang sedang dieksploitasi. Di samping itu fokus dia pada perusahaan teknologi informasi telah mengacuhkan bagaimana peran kekuasaan negara dalam mengintervensi bisnis. Meskipun tengah menjadi perdebatan publik di dunia barat dan mampu menumbuhkan kesadaran akan sisi negatif dunia digital, Surveillance capitalism tidak belum mampu menjadi daya emansipatif masyarakat informasi kecuali hanya sampai pada tuntutan atas hak privat.

Untuk masyarakat yang tinggal di belahan bumi selatan apakah isu mengenai kapitalisme digital cukup menggairahkan pada saat iklim ekonomi-politik masih diwarnai oleh budaya korup, kekuasaan oligarki dan konflik identitas. Paling tidak utopia mengenai revolusi industri 4.0 masih akan menjadi milik para kapitalis digital seperti Nadiem Makarim dengan GO-JEKnya dan para startup yang bersaing menawarkan platform baru. Selama ada platform asing yang beroperasi di negeri ini selama itu pula revolusi mustahil dilakukan.

Penulis:

Editor: Erniyati Khalida

506