Amerika Serikat
Pewarta Nusantara, Internasional - Amerika Serikat (AS) telah mengutuk keras video kekerasan seksual yang terjadi di Manipur.
Video tersebut menunjukkan dua wanita dari suku yang dieksploitasi secara seksual oleh sekelompok orang, diduga terlibat dalam pemerkosaan berkelompok dan mempermalukan korban tersebut.
Kejadian tersebut sebenarnya telah terjadi lebih dari dua bulan sebelumnya selama bentrokan etnis antara dua komunitas di negara bagian terpencil tersebut.
Namun, ketika video tersebut menjadi viral di media sosial minggu lalu, perhatian nasional dan global terhadap insiden tersebut semakin meningkat.
Dalam tanggapannya, Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang sebelumnya bungkam atas kekerasan di Manipur, terpaksa memberikan pernyataan mengenai kejadian tersebut.
Respons AS terhadap kejadian tersebut juga kuat. Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyebut insiden di Manipur sebagai "brutal" dan "mengerikan," dan menyatakan simpati kepada para korban.
Dalam pernyataannya, AS juga mendorong penyelesaian damai dan inklusif terhadap kekerasan di Manipur serta mendesak otoritas setempat untuk merespons kebutuhan kemanusiaan dengan melindungi semua kelompok, rumah, dan tempat ibadah.
Kekerasan seksual ini terjadi selama bentrokan etnis sengit antara Kuki-Zo suku asli, mayoritas beragama Kristen, dan mayoritas Hindu Meitei di Manipur.
Bentrokan tersebut berakar dari perubahan potensi manfaat ekonomi yang dihadapi oleh kelompok suku Kuki-Zo dan lainnya di daerah tersebut.
Status khusus dalam kategori Suku Terjadwal menjadi sumber perselisihan, yang menyebabkan kekerasan dan peristiwa tragis tersebut.
Di tengah situasi yang memanas, New Delhi mengirimkan ribuan pasukan paramiliter dan tentara ke negara bagian untuk meredam kekerasan.
Namun, situasi tetap tegang, dan kerusuhan serta pembunuhan sporadis terus berlanjut. Puluhan ribu orang telah mengungsi sebagai akibat dari kekerasan tersebut.
Sebagai tanda protes dan tuntutan untuk keadilan, ribuan wanita dan laki-laki mengadakan aksi duduk di Churachandpur, markas suku Kuki-Zo di Manipur, untuk menuntut penangkapan segera pelaku kejahatan seksual tersebut.
Baca Juga; NASA: Tahun 2023 Diprediksi sebagai Tahun Terpanas yang Pernah Tercatat
Mereka juga menuntut pemecatan Ketua Menteri N Biren Singh dari partai BJP yang diduga berperan dalam kekejaman tersebut.
Tuntutan keadilan juga mencuat di ibu kota India, New Delhi, di mana hampir 400 pria dan wanita berunjuk rasa dengan seruan yang sama untuk tindakan tegas terhadap pelaku dan permohonan agar Biren Singh mundur dari jabatannya.
Kondisi di Manipur menunjukkan bahwa tantangan untuk menangani kekerasan dan konflik etnis di wilayah tersebut masih besar.
Diperlukan respons yang tegas dari pemerintah dan dukungan masyarakat untuk mencapai penyelesaian damai dan menjamin keamanan serta hak asasi manusia bagi semua kelompok di wilayah tersebut. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Taiwan dan Amerika Serikat telah menandatangani Kesepakatan Perdagangan yang dianggap sebagai kesepakatan paling komprehensif sejak AS beralih mengakui Beijing pada tahun 1979.
Kesepakatan ini diharapkan membantu Taiwan mengatasi isolasi diplomatiknya dari China. Negosiator perdagangan teratas Taiwan, John Deng, menyatakan bahwa perjanjian ini akan membuka jalan bagi kesepakatan perdagangan dengan negara-negara maju lainnya di masa depan.
Namun, China menganggapnya sebagai sinyal yang salah dan menentang kesepakatan tersebut. Pulau Taiwan menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan internasional karena tekanan dari China dan upaya untuk bergabung dengan Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP).
Kesepakatan perdagangan dengan AS diharapkan membantu Taiwan dalam prosesnya untuk bergabung dengan CPTPP.
Namun China bisa menggunakan pengaruh ekonominya untuk menghalangi negara-negara anggota CPTPP untuk mempertimbangkan aplikasi Taiwan.
Situasi ini membuat Taiwan berusaha membuktikan dirinya sebagai mitra perdagangan yang andal, mengikuti aturan internasional, dan menghormati hak kekayaan intelektual. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Pertemuan negara-negara anggota G20 yang berlangsung di India pada Sabtu (23/7) kemarin, mengalami kegagalan dalam mencapai kesepakatan terkait pemangkasan bahan bakar fosil.
Kegagalan tersebut dipicu oleh protes dari beberapa negara produsen yang menolak menghentikan penggunaan energi fosil secara bertahap.
Para ilmuan dan aktivis lingkungan merasa kecewa atas hasil pertemuan ini, menyatakan bahwa G20 lamban dalam upaya mencegah pemanasan global, terutama mengingat cuaca ekstrem yang sedang melanda negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
G20, sebagai kelompok negara yang bertanggung jawab atas lebih dari tiga perempat dari total emisi global, diharapkan melakukan upaya kolektif untuk mendekarbonisasi demi mengatasi tantangan perubahan iklim global.
Sebelum pertemuan, Reuters telah menerima salinan draf yang menekankan pentingnya menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, dengan mengikuti situasi nasional masing-masing negara.
Namun, saat pertemuan berlangsung, pejabat G20 malah mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan kekhawatiran beberapa negara anggota terkait rencana pemangkasan ini, yang tidak sesuai dengan draf sebelumnya.
Baca Juga; Elon Musk Umumkan Perubahan Besar di Twitter, Potensi Dampak Politik Dalam Dunia Media Sosial
Salah satu perbedaan pendapat yang menjadi topik perdebatan adalah pengurangan energi fosil. Rencananya, para anggota G20 akan menyampaikan komunike bersama pada akhir pertemuan.
Namun rencana tersebut dibatalkan karena perbedaan pendapat mengenai pengurangan energi fosil, termasuk target peningkatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2020.
Menteri Ketenagalistrikan India, R.K. Singh, mencatat bahwa beberapa negara anggota mengusulkan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) sebagai alternatif pengurangan bertahap bahan bakar fosil, namun ia tidak menyebutkan negara mana saja yang mengusulkan ide tersebut.
Beberapa negara anggota G20, yang juga merupakan produsen utama bahan bakar fosil, seperti Arab Saudi, Rusia, Cina, Afrika Selatan, dan Indonesia, terlihat menentang target peningkatan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dalam dekade ini.
Tantangan ini mencerminkan kompleksitas politik yang terlibat dalam keputusan global mengenai energi dan lingkungan, dan menjadi sorotan karena implikasi besar yang dimilikinya dalam upaya mencapai kesepakatan global dalam mengatasi krisis iklim. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Hampir 90 juta penduduk Amerika Serikat menghadapi ancaman Badai Ekstrem menjelang perayaan Hari Kemerdekaan AS atau Fourth of July.
Badai ini dapat menyebabkan embusan angin yang merusak, pemadaman listrik, hujan es besar, dan bahkan kemungkinan tornado.
Layanan Cuaca Nasional AS telah memperingatkan tentang kemungkinan badai petir kuat hingga ekstrem yang berpotensi terjadi di wilayah Mid-Atlantic dan sebagian Dataran Great Plains utara, mulai Senin hingga Senin malam.
Cuaca ekstrem telah melanda beberapa negara bagian di AS selama akhir pekan sebelumnya, termasuk Missouri, Ohio, Kentucky, Illinois, dan Iowa.
Situasi ini membuat perjalanan liburan Hari Kemerdekaan menjadi sulit, dengan banyak penerbangan yang ditunda atau dibatalkan karena kondisi cuaca yang ekstrem.
Selain itu, lebih dari 214.000 rumah dan bisnis di wilayah timur AS dilaporkan mengalami pemadaman listrik pada Senin pagi waktu setempat, dengan lebih dari 55.000 pemadaman di Missouri.
Peringatan ini mengingatkan kita akan pentingnya kewaspadaan dan persiapan dalam menghadapi Cuaca Ekstrem.
Baca Juga: Menteri Pertanian: Dampak El Nino Ancam 80% Lahan Pertanian di Indonesia
Warga AS di wilayah yang berpotensi terkena dampak harus memantau perkembangan cuaca dan mengikuti petunjuk dari otoritas setempat untuk menjaga keselamatan mereka.
Kondisi cuaca yang tidak stabil dan berpotensi merusak membutuhkan langkah-langkah pencegahan yang tepat agar masyarakat dapat menghadapinya dengan aman dan minim risiko. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - China telah mengumumkan pembatasan Ekspor Chip sebagai langkah untuk menjaga keamanan dan kepentingan nasionalnya.
Ketika Amerika Serikat (AS) dilaporkan sedang mempertimbangkan pembatasan baru terhadap Ekspor Logam langka yang digunakan dalam produksi semikonduktor.
Pada tanggal 1 Agustus, eksportir China akan membutuhkan persetujuan untuk mengirimkan beberapa produk galium dan germanium ke luar negeri.
Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai China mengeluarkan pedoman ini dengan tujuan memelihara keamanan dan kepentingan nasional, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters.
Galium, yang dianggap sebagai bahan mentah penting oleh Uni Eropa, memiliki berbagai penggunaan seperti dalam produksi sirkuit terpadu, LED, dan panel fotovoltaik untuk panel surya.
Baca Juga: Pemerintah Italia Mengeluarkan Larangan Penggunaan Nomor Punggung 88 dalam
Sementara itu, germanium digunakan dalam pembuatan serat optik dan lensa kamera inframerah. China merupakan penyumbang sekitar 80 persen dari produksi global logam langka tersebut, menurut Komisi Eropa.
Persaingan Geopolitik antara China dan AS telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan kedua negara memberlakukan tindakan balasan terhadap industri semikonduktor dan sektor teknologi kunci lainnya.
AS telah mencantumkan banyak perusahaan China dalam daftar hitam, mencabut akses mereka terhadap chip Amerika dan teknologi canggih lainnya yang dianggap dapat mengancam keamanan nasional AS.
Selain itu, AS juga mendorong negara-negara sekutu dan mitra untuk memberlakukan pembatasan terhadap industri teknologi China.
Belanda bahkan berencana untuk memperkenalkan pembatasan ekspor baru yang ditujukan kepada China pada akhir tahun ini.
China mengklaim bahwa AS berupaya menghambat inovasi China untuk menjaga supremasi AS di industri teknologi.
Perselisihan ini mencerminkan ketegangan antara kedua negara yang saling bersaing dalam mencapai keunggulan teknologi dan dominasi ekonomi di dunia saat ini. (*Ibs)
Baca Juga: Laporan PBB Mengungkap Kasus Penyiksaan oleh Pasukan Keamanan Ukraina:
Pewarta Nusantara, Sepak Bola - Toni Kroos baru saja menandatangani perpanjangan kontrak selama satu tahun bersama Real Madrid, menghilangkan spekulasi tentang pensiunnya dari dunia sepak bola.
Meskipun usianya telah mencapai 33 tahun, gelandang kreatif ini masih memiliki semangat dan keinginan besar untuk meraih lebih banyak gelar juara.
Dalam pernyataannya, Kroos menyatakan bahwa musim ini berjalan dengan baik seperti sembilan musim sebelumnya bersama Real Madrid, dan dia ingin memastikan musim berikutnya juga akan berjalan dengan sukses.
Kroos menegaskan bahwa dia masih menikmati bermain sepak bola dan lapar untuk meraih prestasi yang lebih gemilang.
Pengambilan keputusan untuk memperpanjang kontraknya bukan tanpa pertimbangan. Kroos merujuk pada izin dari istri dan dukungan emosional dari kakeknya yang membuatnya semakin mantap untuk melanjutkan karier di level tertinggi.
Ketika kakeknya menyampaikan ucapan terima kasih atas ketekunan Kroos dalam bermain sepak bola, perasaan haru menggelitik dirinya.
Lebih dari sekadar mencapai kesuksesan di level tertentu, Toni Kroos juga berambisi untuk pensiun dari dunia sepak bola ketika dirinya masih berada di puncak kariernya.
Ia menegaskan bahwa tidak ingin mengulangi nasib beberapa pemain yang harus berhenti bermain ketika kualitas permainannya menurun.
Maka dari itu, ia memastikan bahwa saat ia nanti memutuskan untuk pensiun, akan dilakukan ketika dirinya masih berada dalam performa yang sangat baik.
Meskipun beberapa spekulasi sempat menyebutkan tentang kemungkinan Kroos bermain di Amerika Serikat atau Timur Tengah menjelang akhir karier, kini ia mengindikasikan bahwa pilihannya adalah untuk terus bermain di level tertinggi bersama Real Madrid dan menyelesaikan kariernya dengan prestasi yang cemerlang. (*Ibs)
Baca Juga: Nicolas Jackson Menyambut Tantangan Bersama Chelsea Setelah Berkonsultasi dengan Sadio Mane
Pewarta Nusantara, Havana - China Rencanakan Fasilitas Militer di Kuba, AS Was-Was akan Dampaknya terhadap Keamanan.
Muncul laporan yang menyebutkan bahwa China berencana membangun fasilitas militer baru di Kuba, yang menimbulkan kekhawatiran di Amerika Serikat (AS) bahwa hal tersebut dapat berdampak pada penempatan pasukan China di perairan yang berdekatan.
Wall Street Journal (WSJ) melaporkan hal ini pada Selasa (20/6), mengutip seorang sumber anonim. Meskipun pembicaraan antara kedua negara tersebut masih dalam tahap lanjutan dan belum mencapai kesepakatan, pemerintahan Presiden Joe Biden berusaha untuk menghentikan tercapainya kesepakatan tersebut.
Kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, ke Beijing dan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping baru-baru ini menandai kunjungan pejabat AS dengan tingkat tertinggi ke Tiongkok hingga saat ini. Kunjungan ini dilakukan dalam situasi ketegangan yang sedang meningkat antara kedua negara adidaya.
Pertemuan tersebut berhasil mencapai kemajuan positif dalam menurunkan ketegangan, dan keduanya berkomitmen untuk melakukan lebih banyak diplomasi melalui kunjungan pejabat tingkat tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
Blinken, yang mengkonfirmasi keprihatinan AS terhadap kegiatan intelijen atau militer Tiongkok di Kuba, menyatakan bahwa AS akan memantau situasi tersebut dengan cermat dan melindungi kepentingan nasional mereka.
Sementara itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, mengakui bahwa Tiongkok berusaha meningkatkan pengaruh dan jangkauannya, dan AS akan terus mengambil langkah-langkah untuk melindungi keamanan nasional mereka sendiri.
Selain itu, pemerintahan Biden juga mengonfirmasi bahwa China telah melakukan operasi pengawasan di Kuba selama beberapa tahun, yang ditingkatkan pada tahun 2019.
Laporan WSJ mengindikasikan bahwa fasilitas militer baru yang sedang direncanakan oleh China di Kuba adalah bagian dari "Proyek 141" China, yang bertujuan untuk memperluas jaringan dukungan militer dan logistik China di seluruh dunia.
Di sisi lain, AS mengusulkan untuk memulihkan komunikasi militer antara AS dan China, namun hal tersebut belum tercapai selama kunjungan Blinken.
Sarah Beran, direktur senior Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih untuk urusan Tiongkok dan Taiwan, menekankan pentingnya pendirian komunikasi militer-militer antara kedua negara untuk mengurangi ketegangan dan memastikan pemahaman yang tepat tentang niat masing-masing pihak.
Baca juga: Ancaman Besar: Dampak El Nino Terhadap Kesehatan dan Sosial Masyarakat Mengkhawatirkan
AS menyatakan kesiapan mereka untuk bertemu dengan China dan mengharapkan respons yang sesuai dari pihak China. China sendiri telah menyebutkan sanksi AS sebagai hambatan bagi dialog militer, dan pejabat-pejabat China mengingatkan bahwa kurangnya komunikasi militer dapat menyebabkan eskalasi yang tidak diinginkan.
Mereka menunjukkan insiden baru-baru ini antara pesawat AS dan China di Laut China Selatan serta pertemuan dekat antara kapal angkatan laut AS dan China di Selat Taiwan sebagai contoh kasus yang memperlihatkan risiko ketidaknyamanan akibat kurangnya komunikasi. (*Ibs)