Pewarta Nusantara
Menu CV Maker Menu

BMKG

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Nasional - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan adanya Gempa bumi dengan kekuatan Magnitudo (M) 5,7 yang mengguncang wilayah Pacitan, Jawa Timur, pada Minggu (23/7) pukul 19.33 WIB.

Setelah pembaruan, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyampaikan informasi terbaru melalui akun Twitter pribadinya bahwa gempa tersebut sebenarnya berkekuatan M5,5 dengan kedalaman 42 km.

Daryono juga menjelaskan bahwa episenter gempa dan kedalaman hiposenternya menunjukkan bahwa gempa yang terjadi merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.

Baca Juga; Prabowo Subianto Unggul dalam Survei Elektabilitas Capres 2024: Ancaman Potensial bagi Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan

Gempa ini berpusat di bidang kontak antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia dengan mekanisme geser naik (oblique thrust).

Namun, BMKG menyatakan bahwa tidak ada potensi tsunami sebagai dampak dari gempa tersebut. Guncangan gempa juga dirasakan di beberapa wilayah di sekitar Pacitan, seperti Ponorogo dengan intensitas IV MMI, Bantul, Pacitan, Purworejo.

Dan Blitar dengan intensitas III MMI, serta Klaten, Wonosobo, Banjarnegara, Magelang, Kepanjen, dan Karangkates dengan intensitas II-III MMI.

Hingga pukul 19.55 WIB, BMKG belum mencatat adanya aktivitas gempa susulan (aftershock) dari gempa tersebut, dan tidak ada laporan mengenai dampak kerusakan yang ditimbulkannya. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Nasional - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan terkait potensi banjir dan tanah longsor di Indonesia meskipun saat ini sedang mengalami kondisi kekeringan akibat pengaruh El Nino.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa masih ada daerah yang berpotensi mengalami bencana hidrometereologi basah, seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Hal ini disebabkan oleh kompleksitas topografi Indonesia dan pengaruh dari dua samudera. Diperkirakan El Nino akan mencapai puncaknya pada bulan Agustus-September 2023.

Dalam menghadapi kondisi tersebut, Dwikorita meminta pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menjaga lingkungan, mengatur tata kelola air, beradaptasi dengan pola tanam yang sesuai, serta terus memantau perkembangan cuaca dan iklim yang sangat dinamis dari waktu ke waktu.

Selain itu, Dwikorita menjelaskan bahwa Indonesia akan memasuki fase kemarau yang kering akibat kemunculan El Nino dan Indian Ocean Dipole.

Baca Juga; Survei KPPPA: 24 Juta Perempuan di Indonesia Pernah Alami Kekerasan, KPPPA Mendorong Pelaporan dan Perlu Kolaborasi dalam Sosialisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Curah hujan diprediksi akan berada di bawah normal, terutama di wilayah Sumatera, Jawa Bali-NTB-NTT, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2023.

Dwikorita mengklaim bahwa pemerintah dan kementerian/lembaga terkait telah berkoordinasi untuk mengantisipasi kemunculan El Nino di Indonesia.

Langkah-langkah telah diambil, terutama dalam mengatasi masalah ketersediaan air dan ketahanan pangan. Upaya ini telah dimulai sejak bulan Februari-April dan terus diperkuat dalam rangka menghadapi dampak El Nino yang mungkin terjadi di Indonesia. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Nasional - Banjir yang terjadi dalam sepekan terakhir di beberapa wilayah di Indonesia menjadi perhatian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Meskipun saat ini sedang memasuki Musim Kemarau, tercatat tiga kejadian banjir signifikan di Bengkulu, Jawa Timur, dan Bali.

Menurut Prakirawan BMKG, Efa Septiani, kejadian banjir pertama terjadi di Bengkulu Utara pada tanggal 5 Juli dengan curah hujan tertinggi mencapai 200 mm.

Sementara itu, banjir kedua terjadi di Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 7 Juli dengan curah hujan mencapai 160 mm.

Kejadian banjir ketiga terjadi di tujuh kabupaten di Bali pada tanggal 7 Juli dengan curah hujan tertinggi mencapai 260 mm.

Namun, mengapa hujan lebat pada musim kemarau dapat memicu banjir di tiga wilayah tersebut?. Efa menjelaskan bahwa meskipun bulan Juli memiliki jumlah kejadian banjir terendah dalam setahun, peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia tetap ada pada periode musim kemarau.

Faktor dinamika atmosfer harian menjadi penentu penting dalam proses pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia dalam sepekan terakhir.

Baca Juga; Gus Yusuf Apresiasi Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Adakan Halaqah Pendidikan Politik Santri

"Dalam kejadian banjir di tiga wilayah Indonesia dalam seminggu terakhir, kondisi dinamika atmosfer yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan awan hujan dalam skala regional dan lokal, seperti aktifnya MJO atau Medan Julian oscillation," jelasnya.

Selain itu, pertumbuhan sistem tekanan atau pola siklonik di Samudra Hindia juga memengaruhi arah angin. Di Bali, adanya intrusi udara kering menyebabkan pengangkatan massa udara di depan batas intrusi menjadi lebih hangat dan lembap, yang berkontribusi pada terjadinya banjir.

Ketiga dinamika atmosfer tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya banjir di Bengkulu, Jawa Timur, dan Bali.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun musim kemarau, fenomena cuaca yang tidak biasa dapat mempengaruhi kondisi hujan dan menyebabkan banjir di beberapa wilayah Indonesia.

Erniyati Khalida Erniyati Khalida
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Balikpapan melaporkan adanya 30 titik panas atau hotspot yang tersebar di Provinsi Kalimantan Timur.

Hal ini menjadi indikator awal terjadinya potensi kebakaran hutan dan lahan. BMKG mengimbau semua pihak untuk tetap waspada dan berhati-hati guna mencegah peningkatan jumlah titik panas.

30 Titik Panas Terdeteksi di Kalimantan Timur, BMKG Ingatkan Waspada terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan

30 Titik Panas Terdeteksi di Kalimantan Timur, BMKG Ingatkan Waspada terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan (Foto: BMKG)

Pemantauan dilakukan sepanjang Sabtu (13/5), dan hasilnya menunjukkan adanya 30 titik panas baru yang berbeda dengan koordinat lokasi pada hari sebelumnya.

Sebanyak tujuh lokasi titik panas terdapat di Kabupaten Kutai Barat, satu lokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, dan 17 lokasi di Kabupaten Kutai Timur.

BMKG telah menyampaikan informasi mengenai sebaran titik panas kepada pihak terkait, termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, untuk mengambil tindakan lebih lanjut.

Baca juga: Ribuan Orang di Myanmar dan Bangladesh Dievakuasi Menghadapi Topan Mocha yang Mendekat

Meskipun saat ini masih dalam musim hujan di Kalimantan Timur, BMKG mengingatkan agar semua pihak tetap waspada dan saling menjaga agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan yang dapat membahayakan lingkungan.