cerpen
Di sebuah desa kecil di Nusantara, hiduplah seorang Petani bernama Pak Jaya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah panggung sederhana, dikelilingi sawah yang menjadi sumber penghidupannya.
Pak Jaya memiliki seekor sapi putih besar bernama Gading. Sapi ini adalah sahabatnya sejak lama, menemani setiap langkah perjuangan Pak Jaya.
Gading bukan sekadar hewan peliharaan bagi Pak Jaya. Ia adalah teman setia yang selalu membantu di sawah, terutama saat membajak tanah. Setiap pagi, Pak Jaya akan mengikat bajak di punggung Gading dan mereka bekerja bersama di bawah terik matahari.
Ketika sore tiba, Pak Jaya akan mengelus kepala Gading dengan lembut sambil berkata, “Kau hebat sekali, Gading. Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini.” Gading akan membalas dengan mengembik pelan, seolah mengerti ucapan sahabatnya itu.
Namun, kemarau panjang tahun itu membawa tantangan yang berat bagi mereka. Tanah sawah yang biasanya subur mulai mengeras dan retak. Mata air yang biasa mereka andalkan mengering, dan sawah menjadi sulit digarap.
Pak Jaya mulai khawatir karena hasil panen tahun ini terancam gagal. Di tengah kesulitan itu, persahabatan Pak Jaya dan Gading diuji dengan sebuah kejadian yang tak terduga.
Kehilangan Cangkul
Suatu pagi yang panas, Pak Jaya bersiap untuk membajak sawah seperti biasa. Namun, ketika ia mencari cangkul di gudang kecilnya, alat itu tidak ada di tempatnya. “Ke mana cangkulku?” gumamnya sambil mengaduk-aduk tumpukan barang di gudang.
Ia keluar dari gudang dan memeriksa di sekitar rumah, tetapi cangkul itu tetap tidak ditemukan.
“Tanpa cangkul, aku tak bisa menyelesaikan pekerjaan sawah,” ujar Pak Jaya dengan wajah muram.
Ia mencoba mengingat-ingat, lalu teringat bahwa kemarin ia meninggalkan cangkul itu di tepi sawah. “Ah, mungkin aku lupa membawanya pulang.” Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan menuju sawah.
Namun, setibanya di sana, cangkul itu tidak ada. Pak Jaya mulai gelisah. Ia bertanya pada tetangga, tetapi tidak ada yang melihat cangkulnya. Tanpa cangkul, pekerjaan di sawah menjadi semakin sulit.
Pak Jaya hanya bisa mengandalkan bajak yang ditarik oleh Gading, tetapi itu tidak cukup untuk mengolah tanah yang keras.
Gading yang Kelelahan
Meski tanpa cangkul, Pak Jaya tetap memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan dengan bantuan Gading. Ia memasang bajak di punggung sapi itu dan mulai membajak tanah. Namun, karena tanah yang kering dan keras, pekerjaan menjadi jauh lebih berat dari biasanya.
Gading bekerja sekuat tenaga, tetapi tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Ketika matahari mencapai puncaknya, Gading mulai terengah-engah. Lidahnya menjulur, dan ia berhenti menarik bajak.
Pak Jaya segera melepaskan bajak itu dan mengelus kepala Gading. “Maafkan aku, Gading. Kau pasti sangat lelah,” katanya dengan suara penuh penyesalan.
Ia melihat ke sekeliling, berharap menemukan sumber air untuk memberi minum Gading. Namun, saluran irigasi di dekat sawah sudah mengering. Pak Jaya pun memutuskan untuk membawa Gading ke sungai kecil di tepi desa.
Perjalanan ke Sungai
Pak Jaya menuntun Gading perlahan menuju sungai. Jalan yang mereka lalui berbatu dan berdebu, membuat perjalanan terasa semakin berat.
Ketika akhirnya mereka tiba di sungai, harapan Pak Jaya hancur. Sungai itu hampir kering, hanya menyisakan genangan kecil di beberapa tempat.
Dengan hati-hati, Pak Jaya mengambil air dari genangan itu menggunakan tangannya dan memberikannya kepada Gading. “Minumlah, Gading.
Ini tidak banyak, tapi setidaknya kau tidak kehausan,” katanya. Gading meminum air itu dengan perlahan, tetapi jelas tidak cukup untuk memuaskan dahaganya.
Pak Jaya merasa bersalah. Ia tahu Gading telah bekerja sangat keras, tetapi ia tidak bisa memberinya istirahat yang layak. “Aku harus menemukan cara untuk membantu Gading dan menyelesaikan pekerjaan sawah,” pikirnya.
Penemuan di Hutan
Sore harinya, seorang anak desa datang ke rumah Pak Jaya. Anak itu berkata bahwa ia melihat jejak kaki sapi lain di hutan dekat desa. Anak itu juga mendengar suara gemericik air dari dalam hutan.
Mendengar kabar itu, Pak Jaya segera memutuskan untuk pergi ke hutan dengan Gading, berharap menemukan sumber air baru.
Perjalanan ke hutan tidak mudah. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi semak belukar dan pohon tumbang. Namun, Pak Jaya tidak menyerah. Ia terus menuntun Gading, meski sapi itu tampak lelah.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya tiba di sebuah area dengan bebatuan besar. Di sana, Pak Jaya mendengar suara gemericik air yang lemah.
Dengan penuh semangat, ia mencari sumber suara itu dan menemukan mata air kecil yang memancar dari sela-sela bebatuan. Airnya jernih dan segar. Pak Jaya segera mengambil air itu dan memberikannya kepada Gading.
Sapi itu minum dengan lahap, dan wajahnya yang lelah mulai terlihat segar kembali.
Pak Jaya juga mengisi ember yang dibawanya, lalu membawa air itu kembali ke desa untuk menyiram sawah. “Ini adalah awal yang baik,” pikirnya. “Aku harus berbagi kabar baik ini dengan tetangga.”
Kerja Sama Desa
Keesokan harinya, Pak Jaya mengajak para tetangga untuk membantu mengalirkan air dari mata air di hutan ke sawah-sawah desa. Dengan kerja sama, mereka memasang bambu panjang sebagai saluran air darurat.
Gading juga ikut membantu dengan menarik bambu-bambu berat itu bersama sapi-sapi lain di desa.
Meski lelah, Gading tampak bahagia karena bisa membantu. Pak Jaya memeluk leher sapi itu dan berkata, “Kau memang sahabat terbaikku, Gading. Tanpa bantuanmu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Kembalinya Cangkul
Saat air mulai mengalir ke sawah-sawah desa, seorang pemuda datang ke rumah Pak Jaya membawa cangkul yang hilang. “Pak Jaya, ini cangkulmu. Saya menemukannya di tepi jalan dekat ladang kemarin.
Sepertinya tertinggal ketika Anda terburu-buru,” kata pemuda itu.
Pak Jaya sangat bersyukur. Dengan cangkulnya kembali dan air yang mengalir ke sawah, ia bisa melanjutkan pekerjaannya.
Tanah yang tadinya keras mulai lunak, dan benih padi bisa ditanam kembali.
Akhir Bahagia
Kemarau itu tetap menjadi ujian berat bagi desa, tetapi berkat kerja sama dan persahabatan, mereka berhasil melewatinya. Gading menjadi simbol kekuatan dan ketulusan, dihormati oleh semua penduduk desa.
Anak-anak sering datang ke rumah Pak Jaya untuk mendengar cerita tentang bagaimana Gading membantu menyelamatkan desa.
Pak Jaya, sambil mengelus kepala sahabatnya, berkata, “Kita telah melewati banyak hal bersama, Gading. Kau bukan hanya sapi, kau adalah keluarga.” Gading mengembik pelan, seolah berkata, “Kita adalah tim yang tak terkalahkan.”
Pesan Moral:
Dalam menghadapi kesulitan, kerja sama, kesetiaan, dan ketekunan adalah kunci untuk menemukan solusi. Persahabatan sejati tidak hanya memberikan kekuatan, tetapi juga harapan di tengah badai kehidupan.
Pekan kebudayaan Nasional atau yang disingkat menjadi PKN merupakan sebuah acara gelaran dwitahunan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak tahun 2019. Pada tahun 2023 ini gelaran pekan kebudayaan nasional diselenggarakan pada tanggal 20-29 Oktober 2023 dan tersebar di 40 titik lokasi wilayah JABODETABEK, salah satunya di Ruang Tamu PBSI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berada di Ciputat, Tanggerang Selatan. PKN 2023 di Ciputat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diselenggarakan mulai dari tanggal 20-28 Oktober 2023 dengan mengusung tema "Resonansi Budaya Islam: dari Ciputat untuk Dunia". Beragam kegiatan dilaksanakan untuk memeriahkan acara mulai dari penampilan-penampilan bakat seperti membaca puisi, musikalisasi puisi, pantun, menari dan sebagainya yang ditampilkan oleh mahasiswa PBSI UIN Jakarta dan juga dari beberapa mahasiswa prodi lain yang ikut memeriahkan Pekan Kebudayaan Nasional 2023 di UIN Jakarta ini.
Selain penampilan-penampilan tersebut, juga dibuka "Pojok Baca Danarto" yang memberikan akses kepada mahasiswa terkait dengan karya-karya yang ditulis oleh Danarto. Ada juga bedah buku "Surat Jibril" karya Maftuhah Jakfar, diskusi mengenai "Resonansi Budaya Islam dalam Sastra dan Seni Rupa", workshop Stand Up Comedy, tribute untuk mengapresiasi Budayawan Muslim Ciputat, Jamal D. Rahman, serta Monolog Putu Wijaya. Berbagai kegiatan menarik mengenai sastra yang ditampilkan pada Pekan Kebudayaan Nasional 2023 akan sayang untuk tidak dibahas atau dibedah. Penampilan dari para mahasiswa UIN Jakarta menarik untuk dikaji menggunakan teori-teori sastra salah satunya pada kajian sastra bandingan, alih wahana. Penampilan dari mahasiswa-mahasiswa ini membawakan beragam jenis karya sastra seperti puisi, pantun, monolog, dan bahkan Drama.
Ada salah satu penampilan yang menarik untuk dikaji dengan kajian sastra bandingan alih wahana yaitu dari penampilan mahasiswa PBSI UIN Jakarta Semester 5 kelas B. Mahasiswa semester 5 ini, menampilkan Dramatisasi cerpen Umi Kalsum yang merupakan sebuah adaptasi dari naskah cerpen Umi Kalsum karya Djamil Suherman. Alih wahana yang tadinya berbentuk sebuah cerpen kemudian ditampilkan menjadi sebuah drama menarik untuk dibahas. Maka dari itu, artikel yang saya tulis ini akan membahas mengenai "Alih Wahana Cerpen Umi Kalsum menjadi Drama di Pekan Kebudayaan Nasional 2023".
Alih wahana dapat diartikan sebagai perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Sebuah karya sastra tidak hanya bisa dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain atau yang disebut dengan sastra terjemahan, tetapi juga dapat dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Alih wahana pada cerita rekaan, misalnya, bisa diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan pada karya sastra puisi bisa diubah menjadi lagu atau lukisan.,Namun hal yang sebaliknya bisa juga terjadi, misalnya sebuah novel ditulis berdasarkan film atau drama, dan puisi bisa lahir dari lukisan atau lagu.
Sebuah karya sastra yang beralih wahana itu merupakan kegiatan yang sah dan bermanfaat bagi pemahaman untuk memahami lebih dalam mengenai hakikat sastra. Kegiatan penelitian di bidang ini akan menyadarkan diri kita bahwa sastra dapat bergerak bebas ke arah manapun, berubah-ubah unsur-unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru. Pada kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional 2023 di FITK PBSI UIN Jakarta, para mahasiswa semester 5 kelas B melakukan sebuah pertunjukkan yang bisa dibilang mini drama dengan naskah yang diambil dari kumpulan cerpen karya Djamil Suherman berjudul Umi Kalsum. Alih wahana yang tadinya berbentuk kumpulan cerpen dikemas secara lebih singkat menjadi sebuah naskah drama yang berdurasi kurang lebih 24 menit ini menarik untuk dibahas.
Cerpen Umi Kalsum merupakan cerpen karya Djamil Suherman yang terbit di Bandung oleh Mizan pada tahun 1993. Cerpen ini terdapat pada buku berjudul "Umi Kalsum Kisah-Kisah Pesantren" yang memiliki halaman sebanyak 123 halaman. Secara singkat cerpen ini menceritakan tentang seorang gadis pesantren di desa Kedumpring bernama Umi Kalsum yang kehidupannya selalu diatur oleh sang ayah yang memiliki sikap sombong dan pada akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak kuat dengan cobaan yang diberikan. Tidak hanya cerpen mengenai Umi Kalsum saja, tapi dalam kumpulan cerpen Djamil Suherman ini ada beberapa kisah-kisah di pesantren yang salah satunya mengambil konsep percintaan, namun ada bagian religiusitas juga. Seperti tentang Amran dan Fatimah, Jamil dan Zainab serta Umi ada dalam kumpulan cerpen ini yang memiliki kisah berbeda namun saling berkesinambungan.
Alih wahana yang dipentaskan oleh mahasiswa semester 5 kelas B ini tentu saja disesuaikan dengan konsep yang diusung. Tidak semua yang tertulis dalam kumpulan cerpen dimasukan ke dalam naskah drama. Karena alasan durasi pementasan dan juga tempat pementasan, banyak perubahan yang terjadi antara cerita dalam kumpulan cerpen dan dalam naskah drama yang dibuat. Seperti contohnya bagaimana kematian Umi yang jika dilihat dari cerpen adalah dengan gantung diri, namun saat dialih wahanakan menjadi drama, diubah dengan menyayat pergelangan tangannya.
Perubahan ini disebabkan karena kekurangan properti dan terlalu berbahaya jika harus menggunakan tali gantung, jadi penggarap naskah memilih opsi lain yang lebih mudah untuk dipentaskan. Selain masalah perubahan cara kematian Umi, karena di dalam pementasan drama ini ingin mengusung tema religius sesuai dengan tema Pekan Kebudayaan Nasional di PBSI UIN Jakarta, tidak hanya mengambil kisah yang berfokus pada Umi saja, namun dengan tokoh lain yang masih berkesinambungan dengan cerita. Namun, hal ini malah membuat adanya "plot hole" atau cerita tak lengkap karena hanya mengambil sebagian-sebagian kisah penting dari cerpen. Ada bagian yang tidak dimasukkan dalam naskah drama, namun dijelaskan dalam cerpen. Seperti tokoh Mursid yang disebut telah menghamili Umi, namun tokoh ini tidak dimunculkan dalam drama. Padahal pada cerpennya, Mursid memiliki peran penting yang membuat kematian Umi semakin jelas.
Ada juga kisah Amran dan Fatimah yang hanya diperlihatkan sekilas saja. Jadi, di dalam pentas drama ini menurut saya masih banyak cerita-cerita yang tak lengkap dan sulit dipahami apabila tidak membaca kumpulan cerpen tersebut. Selain dari segi perubahan pada bagian alih wahana cerpen menjadi naskah drama, ada hal lain yang berubah yaitu penggambaran tokoh. Penggambaran tokoh Umi dalam cerpen terlihat seperti seorang gadis yang lemah lembut dan cantik, suaranya halus. Namun, saat di pentaskan, peran Umi berubah menjadi sosok perempuan yang berjiwa kuat karena kurangnya pemahaman pemain dalam mendalami karakter Umi.
Tetapi dibalik kekurangan dari alih wahana cerpen menjadi drama yang ditampilkan mahasiswa PBSI ini, menurut saya pementasannya berjalan dengan lancar. Dan saya sangat menikmati penampilan yang dibawakan oleh mahasiswa. Ada pesan-pesan mendalam yang dapat diambil dan ada pula bagian seperti tata musik yang melengkapi cerita. Karena jika hanya dalam bentuk tulisan, tidak ada penggambaran audio di sana, namun jika berubah menjadi sebuah pertunjukkan drama, tentunya audio visual sangat memengaruhi pementasan tersebut. Begitulah, pendapat saya mengenai Pekan Kebudayaan Nasional yang diadakan di FITK PBSI UIN Jakarta. Masih banyak penampilan lain yang menarik dan akan ada puncaknya di Tribute nanti pada tanggal 28 Oktober 2023.