China
Pewarta Nusantara, Internasional - Pertemuan negara-negara anggota G20 yang berlangsung di India pada Sabtu (23/7) kemarin, mengalami kegagalan dalam mencapai kesepakatan terkait pemangkasan bahan bakar fosil.
Kegagalan tersebut dipicu oleh protes dari beberapa negara produsen yang menolak menghentikan penggunaan energi fosil secara bertahap.
Para ilmuan dan aktivis lingkungan merasa kecewa atas hasil pertemuan ini, menyatakan bahwa G20 lamban dalam upaya mencegah pemanasan global, terutama mengingat cuaca ekstrem yang sedang melanda negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
G20, sebagai kelompok negara yang bertanggung jawab atas lebih dari tiga perempat dari total emisi global, diharapkan melakukan upaya kolektif untuk mendekarbonisasi demi mengatasi tantangan perubahan iklim global.
Sebelum pertemuan, Reuters telah menerima salinan draf yang menekankan pentingnya menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, dengan mengikuti situasi nasional masing-masing negara.
Namun, saat pertemuan berlangsung, pejabat G20 malah mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan kekhawatiran beberapa negara anggota terkait rencana pemangkasan ini, yang tidak sesuai dengan draf sebelumnya.
Baca Juga; Elon Musk Umumkan Perubahan Besar di Twitter, Potensi Dampak Politik Dalam Dunia Media Sosial
Salah satu perbedaan pendapat yang menjadi topik perdebatan adalah pengurangan energi fosil. Rencananya, para anggota G20 akan menyampaikan komunike bersama pada akhir pertemuan.
Namun rencana tersebut dibatalkan karena perbedaan pendapat mengenai pengurangan energi fosil, termasuk target peningkatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2020.
Menteri Ketenagalistrikan India, R.K. Singh, mencatat bahwa beberapa negara anggota mengusulkan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) sebagai alternatif pengurangan bertahap bahan bakar fosil, namun ia tidak menyebutkan negara mana saja yang mengusulkan ide tersebut.
Beberapa negara anggota G20, yang juga merupakan produsen utama bahan bakar fosil, seperti Arab Saudi, Rusia, Cina, Afrika Selatan, dan Indonesia, terlihat menentang target peningkatan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dalam dekade ini.
Tantangan ini mencerminkan kompleksitas politik yang terlibat dalam keputusan global mengenai energi dan lingkungan, dan menjadi sorotan karena implikasi besar yang dimilikinya dalam upaya mencapai kesepakatan global dalam mengatasi krisis iklim. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Cina sukses meluncurkan empat satelit meteorologi bernama Tianmu-1 ke orbit Bumi pada hari Kamis (20/7) menggunakan roket pembawa bahan bakar padat Kuaizhou-1A, demikian disampaikan oleh China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC).
Informasi tersebut didapat dari laporan Sputnik News yang menyatakan bahwa peluncuran berlangsung di Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan yang berada di Provinsi Gansu barat laut Tiongkok pada pukul 11:20 waktu setempat (03:20 GMT).
CASIC, operator dari satelit Tianmu-1-07, Tianmu-1-08, Tianmu-1-09, dan Tianmu-1-10, menambahkan bahwa satelit-satelit tersebut akan digunakan terutama untuk menyediakan data meteorologi guna mendukung penggunaan komersial.
Sebagai informasi tambahan, awal tahun ini, tepatnya pada bulan Januari, dua satelit Tianmu-1 pertama diluncurkan ke orbit, dan diikuti oleh empat satelit lainnya yang diorbitkan pada bulan Maret.
Roket Kuaizhou-1A ini telah melaksanakan peluncuran sebanyak 21 kali, yang pertama kali dilakukan pada Januari 2017. Roket ini dirancang khusus untuk keperluan peluncuran komersial.
Dengan berhasilnya peluncuran keempat satelit Tianmu-1 ini, Cina semakin meningkatkan kemampuannya dalam memantau cuaca dan iklim di wilayahnya.
Satelit-satelit ini akan memberikan kontribusi penting dalam menyediakan data meteorologi yang akurat dan handal bagi berbagai keperluan komersial dan ilmiah.
Sebagai negara dengan luas wilayah yang besar dan beragam, data dari satelit-satelit meteorologi ini sangat berarti dalam mendukung sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, transportasi, dan juga membantu dalam penanganan bencana alam.
Pemanfaatan roket Kuaizhou-1A sebagai sarana peluncuran komersial menunjukkan kemajuan teknologi luar angkasa Cina yang semakin pesat.
Baca Juga; Pemerintah Menegaskan Pentingnya Investasi Pendidikan melalui Beasiswa LPDP
Dengan memanfaatkan roket ini, Cina dapat lebih efisien dalam meluncurkan satelit-satelitnya ke orbit dengan biaya yang lebih terkontrol.
Keberhasilan peluncuran kali ini juga membuktikan bahwa industri antariksa Cina semakin matang dan dapat diandalkan dalam menjalankan misi-misi luar angkasa yang semakin kompleks dan bervariasi.
Tentunya, prestasi Cina dalam meluncurkan satelit meteorologi ini juga menjadi perhatian bagi negara-negara lain di dunia.
Kemajuan teknologi luar angkasa Cina menunjukkan potensi dan kapasitas negara tersebut dalam bersaing dalam industri antariksa global.
Selain itu, kerjasama internasional dalam penggunaan data meteorologi dari satelit-satelit ini dapat menjadi langkah maju dalam meningkatkan pemahaman dan mitigasi perubahan iklim secara global.
Semoga keberhasilan ini dapat memberikan manfaat positif bagi banyak pihak dan membawa kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa di masa depan. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - China telah mengumumkan pembatasan Ekspor Chip sebagai langkah untuk menjaga keamanan dan kepentingan nasionalnya.
Ketika Amerika Serikat (AS) dilaporkan sedang mempertimbangkan pembatasan baru terhadap Ekspor Logam langka yang digunakan dalam produksi semikonduktor.
Pada tanggal 1 Agustus, eksportir China akan membutuhkan persetujuan untuk mengirimkan beberapa produk galium dan germanium ke luar negeri.
Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai China mengeluarkan pedoman ini dengan tujuan memelihara keamanan dan kepentingan nasional, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters.
Galium, yang dianggap sebagai bahan mentah penting oleh Uni Eropa, memiliki berbagai penggunaan seperti dalam produksi sirkuit terpadu, LED, dan panel fotovoltaik untuk panel surya.
Baca Juga: Pemerintah Italia Mengeluarkan Larangan Penggunaan Nomor Punggung 88 dalam
Sementara itu, germanium digunakan dalam pembuatan serat optik dan lensa kamera inframerah. China merupakan penyumbang sekitar 80 persen dari produksi global logam langka tersebut, menurut Komisi Eropa.
Persaingan Geopolitik antara China dan AS telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan kedua negara memberlakukan tindakan balasan terhadap industri semikonduktor dan sektor teknologi kunci lainnya.
AS telah mencantumkan banyak perusahaan China dalam daftar hitam, mencabut akses mereka terhadap chip Amerika dan teknologi canggih lainnya yang dianggap dapat mengancam keamanan nasional AS.
Selain itu, AS juga mendorong negara-negara sekutu dan mitra untuk memberlakukan pembatasan terhadap industri teknologi China.
Belanda bahkan berencana untuk memperkenalkan pembatasan ekspor baru yang ditujukan kepada China pada akhir tahun ini.
China mengklaim bahwa AS berupaya menghambat inovasi China untuk menjaga supremasi AS di industri teknologi.
Perselisihan ini mencerminkan ketegangan antara kedua negara yang saling bersaing dalam mencapai keunggulan teknologi dan dominasi ekonomi di dunia saat ini. (*Ibs)
Baca Juga: Laporan PBB Mengungkap Kasus Penyiksaan oleh Pasukan Keamanan Ukraina:
Pewarta Nusantara, Internasional - Pertemuan Tahunan New Champions ke-14, yang juga dikenal sebagai Forum Davos Musim Panas, telah resmi dibuka pada Selasa (27/6/23) di Tianjin, China.
Setelah absen selama empat tahun, pertemuan tahunan ini kembali diselenggarakan dengan lebih dari 1.500 peserta yang berasal dari berbagai sektor seperti bisnis, pemerintahan, organisasi internasional, dan akademisi.
Forum ini mengangkat tema "Kewirausahaan: Kekuatan Pendorong Ekonomi Global". Dalam pidato utama pada pembukaan forum, Perdana Menteri China, Li Qiang, menyoroti peran China sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi global selama satu dekade terakhir.
China telah menjadi pusat dan kekuatan penting dalam mendorong perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi yang stabil di dunia.
"Di masa yang akan datang, China akan terus memberikan dinamisme yang kuat bagi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dunia," ujar Li sebagaimana dilansir dari Xinhua News.
PDB China tumbuh sebesar 4,5 persen secara tahunan pada kuartal pertama tahun ini dan diperkirakan akan tumbuh lebih cepat pada kuartal kedua.
China berada dalam jalur untuk mencapai target pertumbuhan sekitar 5 persen yang ditetapkan untuk tahun ini.
Li menekankan bahwa China berharap dapat bekerja sama dengan para pengusaha dari berbagai negara untuk mendukung globalisasi ekonomi, menjunjung tinggi ekonomi pasar, mendukung perdagangan bebas secara tegas, serta mendorong ekonomi global menuju masa depan yang lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Dalam pidatonya pada upacara pembukaan forum, Klaus Schwab, Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), mengajukan seruan untuk upaya global dalam melawan fragmentasi dan mendorong dialog, pemahaman, serta kolaborasi.
"Kami mendukung masa depan di mana bangsa-bangsa harus bekerja sama demi kesejahteraan kolektif umat manusia," ujar Schwab.
Baca Juga; Pemerintah Italia Mengeluarkan Larangan Penggunaan Nomor Punggung 88 dalam Sepak Bola
Pertemuan ini diadakan dalam konteks tantangan global seperti perlambatan pertumbuhan, risiko utang, perubahan iklim, dan kesenjangan kekayaan yang dihadapi oleh dunia saat ini. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Washington - Departemen Kehakiman AS telah mengambil langkah untuk menuntut secara pidana empat perusahaan China atas perdagangan bahan fentanyl, yaitu bahan yang digunakan untuk membuat obat penghilang rasa sakit yang sangat adiktif.
Tuntutan ini menjadi langkah pertama pemerintah AS dalam mencoba mengadili perusahaan dan individu yang berbasis di China atas penyelundupan bahan-bahan Fentanyl ke AS dan Meksiko.
Jaksa Agung Merrick Garland menegaskan komitmennya terhadap korban epidemi fentanyl dan menekankan bahwa Departemen Kehakiman tidak akan berhenti bekerja untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam perdagangan ini.
Strategi departemen ini melampaui penargetan pemimpin kartel narkoba Meksiko dengan juga mengejar para pemasok mereka. Garland menyebut bahwa perusahaan kimia China telah memfasilitasi pasokan bahan yang diperlukan oleh kartel untuk memproduksi fentanyl yang mematikan.
Selain menuntut empat perusahaan China, delapan karyawan dan eksekutif juga didakwa dalam kasus ini. Dalam beberapa tahun terakhir, AS telah menghadapi krisis opioid yang serius, dengan jumlah kematian akibat overdosis yang mencapai angka yang mengkhawatirkan.
Fentanyl, sebagai salah satu opioid sintetis, telah memperburuk krisis tersebut. Namun, penting untuk diingat bahwa sebelumnya krisis ini juga dipicu oleh produsen obat AS yang mempromosikan produk-produk yang sangat adiktif, seperti oksikodon.
Seiring dengan langkah-langkah untuk mengatasi ketersediaan obat-obatan tersebut, zat-zat terlarang seperti heroin dan kemudian fentanyl mengisi kekosongan tersebut.
Dalam tuntutan yang diajukan, jaksa federal mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan China memasarkan bahan kimia prekursor fentanyl melalui situs web dan akun media sosial mereka.
Bahan-bahan tersebut kemudian dijual kepada kartel narkoba Sinaloa dan kelompok kriminal lainnya di Meksiko, yang telah lama melakukan penyelundupan fentanyl ke AS.
Namun, penyebab krisis overdosis ini kompleks, dan beberapa pihak telah mengkritik pemerintah AS karena hanya fokus pada tindakan penegakan hukum terhadap kelompok kriminal di negara seperti Meksiko.
Juru bicara kedutaan China mengutuk tuntutan hukum yang diajukan, menyatakan bahwa AS mencoba mencari kambing hitam dengan menyalahkan China atas krisis obat di dalam negeri.
Baca juga: Pemberontakan Prigozhin dan Wagner Grup: Kronologi dan Peristiwa Kunci
Mereka juga menuduh Departemen Kehakiman AS melampaui kewenangannya. Kedutaan China dengan tegas mengutuk tindakan ini sebagai operasi perangkap yang direncanakan dengan baik yang melanggar hak-hak yang sah dari perusahaan dan individu terkait. (*Ibs)
Pewarta Nusantara - Beijing Antusias! BRICS Menerima Negara-Negara Baru untuk Bergabung dalam Ekspansi yang Menarik Perhatian Dunia.
China dengan penuh semangat menyambut negara-negara baru yang ingin bergabung dengan BRICS, sebuah blok yang bertujuan memperkuat representasi dan suara negara-negara berkembang, ungkap Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, pada hari Selasa (20/6), sehari setelah Bangladesh mengumumkan pengajuan keanggotaannya.
Mao Ning menegaskan komitmen China dalam memajukan proses perluasan BRICS dan menyambut mitra sebanyak mungkin yang memiliki pandangan sejalan untuk segera bergabung dalam keluarga BRICS.
Menurutnya, perluasan ini merupakan konsensus politik dari kelima negara anggota BRICS. Ia memiliki peran penting sebagai platform kerja sama antara negara-negara berkembang.
Blok ini selalu berkomitmen untuk memperjuangkan multipolaritas, giat mempromosikan reformasi tata kelola global, serta memperkuat representasi dan suara negara-negara berkembang dan berkembang, tambah Mao Ning.
Pada hari Senin, Menteri Luar Negeri Bangladesh, Masud Bin Momen, secara resmi mengonfirmasi pengajuan permohonan negaranya untuk bergabung dengan BRICS.
Bangladesh berharap dapat menjadi bagian dari blok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan tersebut. Langkah ini menandai upaya Bangladesh dalam meningkatkan kemitraan strategis dengan negara-negara berkembang lainnya dan memperkuat posisinya di panggung global.
Perluasan BRICS dengan kedatangan negara-negara baru mencerminkan signifikansi dan daya tariknya di dunia internasional. Keanggotaan dalam blok ini memberikan peluang untuk negara-negara berkembang memperluas jaringan kerja sama ekonomi, politik, dan sosial.
Baca juga: Dunia Terpesona! Alun-alun Kuno Tempat Julius Caesar Diakhiri, Akhirnya Terbuka untuk Umum
Hal ini juga memberikan suara yang lebih kuat dalam merumuskan kebijakan global dan memperjuangkan kepentingan bersama dalam upaya mencapai tata kelola dunia yang lebih adil dan seimbang.
Dengan semakin banyaknya negara yang tertarik untuk bergabung, BRICS dapat semakin memperluas pengaruhnya dan mendorong kerja sama yang saling menguntungkan di antara anggotanya. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Havana - China Rencanakan Fasilitas Militer di Kuba, AS Was-Was akan Dampaknya terhadap Keamanan.
Muncul laporan yang menyebutkan bahwa China berencana membangun fasilitas militer baru di Kuba, yang menimbulkan kekhawatiran di Amerika Serikat (AS) bahwa hal tersebut dapat berdampak pada penempatan pasukan China di perairan yang berdekatan.
Wall Street Journal (WSJ) melaporkan hal ini pada Selasa (20/6), mengutip seorang sumber anonim. Meskipun pembicaraan antara kedua negara tersebut masih dalam tahap lanjutan dan belum mencapai kesepakatan, pemerintahan Presiden Joe Biden berusaha untuk menghentikan tercapainya kesepakatan tersebut.
Kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, ke Beijing dan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping baru-baru ini menandai kunjungan pejabat AS dengan tingkat tertinggi ke Tiongkok hingga saat ini. Kunjungan ini dilakukan dalam situasi ketegangan yang sedang meningkat antara kedua negara adidaya.
Pertemuan tersebut berhasil mencapai kemajuan positif dalam menurunkan ketegangan, dan keduanya berkomitmen untuk melakukan lebih banyak diplomasi melalui kunjungan pejabat tingkat tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
Blinken, yang mengkonfirmasi keprihatinan AS terhadap kegiatan intelijen atau militer Tiongkok di Kuba, menyatakan bahwa AS akan memantau situasi tersebut dengan cermat dan melindungi kepentingan nasional mereka.
Sementara itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, mengakui bahwa Tiongkok berusaha meningkatkan pengaruh dan jangkauannya, dan AS akan terus mengambil langkah-langkah untuk melindungi keamanan nasional mereka sendiri.
Selain itu, pemerintahan Biden juga mengonfirmasi bahwa China telah melakukan operasi pengawasan di Kuba selama beberapa tahun, yang ditingkatkan pada tahun 2019.
Laporan WSJ mengindikasikan bahwa fasilitas militer baru yang sedang direncanakan oleh China di Kuba adalah bagian dari "Proyek 141" China, yang bertujuan untuk memperluas jaringan dukungan militer dan logistik China di seluruh dunia.
Di sisi lain, AS mengusulkan untuk memulihkan komunikasi militer antara AS dan China, namun hal tersebut belum tercapai selama kunjungan Blinken.
Sarah Beran, direktur senior Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih untuk urusan Tiongkok dan Taiwan, menekankan pentingnya pendirian komunikasi militer-militer antara kedua negara untuk mengurangi ketegangan dan memastikan pemahaman yang tepat tentang niat masing-masing pihak.
Baca juga: Ancaman Besar: Dampak El Nino Terhadap Kesehatan dan Sosial Masyarakat Mengkhawatirkan
AS menyatakan kesiapan mereka untuk bertemu dengan China dan mengharapkan respons yang sesuai dari pihak China. China sendiri telah menyebutkan sanksi AS sebagai hambatan bagi dialog militer, dan pejabat-pejabat China mengingatkan bahwa kurangnya komunikasi militer dapat menyebabkan eskalasi yang tidak diinginkan.
Mereka menunjukkan insiden baru-baru ini antara pesawat AS dan China di Laut China Selatan serta pertemuan dekat antara kapal angkatan laut AS dan China di Selat Taiwan sebagai contoh kasus yang memperlihatkan risiko ketidaknyamanan akibat kurangnya komunikasi. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Xinjiang - Gurun Taklimakan, yang terletak di China, merupakan salah satu daerah terkering di dunia. Di tengah tantangan kondisi yang keras, sekelompok ilmuwan dari Universitas Jiaotong Chongqing, dipimpin oleh Wang Zhixiang, telah mengembangkan solusi revolusioner yang dapat mengubah gurun tandus menjadi lahan yang subur.
Dengan memanfaatkan teknik inovatif yang mereka sebut "desert soilization" atau pengolahan tanah gurun, mereka berhasil menghadirkan harapan baru bagi warga setempat.
Teknologi ini melibatkan pencampuran pasta atau zat perekat yang terbuat dari selulosa tanaman dengan pasir gurun, yang kemudian diaplikasikan ke permukaan gurun.
Hasilnya adalah transformasi pasir menjadi tanah yang mampu menyerap air, udara, dan pupuk dengan efisien, menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertanian.
Profesor Yi Zhijian dan timnya yang berbasis di Chongqing, setelah bertahun-tahun penelitian, berhasil mengembangkan perekat tersebut pada tahun 2013. Penemuan ini menandai awal dari perubahan yang menggembirakan.
Pada tahun 2016, di Gurun Ulan Buh di Mongolia Dalam, metode "desert soilization" diuji coba dan hasilnya sangat mengesankan. Lahan yang dulunya hanya pasir kini menjadi lahan subur yang mampu menghasilkan beragam tanaman, seperti padi, jagung, tomat, semangka, dan bunga matahari.
Melalui uji coba ini, diketahui bahwa lahan yang melalui proses tersebut membutuhkan lebih sedikit air tetapi memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang tidak diolah.
Kesuksesan uji coba ini memberikan kepercayaan diri bagi tim ilmuwan tersebut. Mereka menerima pengakuan internasional, termasuk Earthshot Prize 2022, yang didirikan oleh Pangeran William dari Inggris, sebagai penghargaan atas upaya mereka dalam melindungi dan memulihkan alam.
Teknologi "desert soilization" menjadi semakin terkenal dan relevan, terutama saat dunia memperingati Hari Dunia untuk Memerangi Desertifikasi dan Kekeringan.
Kisah perjuangan dan inovasi yang dilakukan oleh Profesor Yi Zhijian dan timnya menjadi representasi dari komitmen China dalam menghadapi masalah ekologis global.
Baca juga: Forum Davos Musim Panas di China Akan Menyoroti Peran Kewirausahaan sebagai Pendorong Ekonomi Global
Dengan menggabungkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keberanian, mereka berhasil mengubah gurun terkering di dunia menjadi ladang yang subur.
Keberhasilan ini tidak hanya memberikan harapan bagi warga setempat, tetapi juga menginspirasi dunia untuk terus menerapkan inovasi yang berkelanjutan dalam upaya melindungi lingkungan dan menciptakan masa depan yang lebih baik. (*Ibs)
Forum Davos Musim Panas di China Akan Menyoroti Peran Kewirausahaan sebagai Pendorong Ekonomi Global
Pewarta Nusantara, Tianjin - Forum Davos di China Menjadi Sorotan dengan Fokus pada Kewirausahaan. Lebih dari 1.500 peserta dari berbagai latar belakang diharapkan hadir dalam Pertemuan Tahunan New Champions ke-14, juga dikenal sebagai Forum Davos Musim Panas, yang akan diadakan di Kota Tianjin, China, pada 27-29 Juni 2023.
Acara ini, yang berfokus pada tema "Entrepreneurship: The Driving Force of the Global Economy" (Kewirausahaan: Kekuatan Pendorong Ekonomi Global), akan dihadiri oleh perwakilan dari dunia politik, bisnis, akademia, organisasi sosial, dan organisasi internasional.
Menurut pihak penyelenggara, seperti yang dilaporkan oleh Xinhua News, acara tersebut akan mencakup enam topik utama. Topik-topik tersebut meliputi memulai kembali pertumbuhan, peran China dalam konteks global, transisi energi dan pasokan material, konservasi alam dan iklim, tren konsumsi di era pascapandemi, serta penyebaran inovasi.
Selain sesi-sesi utama tersebut, akan ada sekitar 150 kegiatan termasuk dialog pengusaha, subforum, serta pertukaran ekonomi dan perdagangan yang dijadwalkan dalam forum tersebut.
Hal ini bertujuan untuk menyediakan platform komunikasi yang mendorong potensi kerja sama antara pemerintah kota dan perusahaan multinasional.
Baca juga: Ekonomi Ghana Menunjukkan Tanda-tanda Stabilitas, IMF Memberikan Pengakuan
Forum Davos Musim Panas di China menjadi sorotan internasional sebagai panggung bagi pemimpin dan tokoh terkemuka dalam berbagai bidang untuk bertukar ide, berdiskusi tentang isu-isu global, dan mencari peluang kerja sama yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkelanjutan. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Beijing - Demi mendorong revitalisasi pedesaan di China, sekelompok pemuda berdedikasi mengembangkan pertanian cerdas.
Salah satu anggota kelompok tersebut adalah Niu Tong (29), seorang yang pernah menempuh pendidikan di Australia selama beberapa tahun.
Bersama dengan teman-temannya, mereka membentuk tim yang bertekad untuk membudidayakan buah persik kuning di wilayah pegunungan Fuping, Provinsi Hebei, China.
Niu telah memanfaatkan sistem pertanian digital untuk mengelola kebun persiknya, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Menurut Niu Tong, yang kini menjabat sebagai Manajer Umum Hebei Guangcun Biotechnology Co., Ltd., peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian modern dan digital membutuhkan waktu dan ketekunan.
Mereka berambisi untuk menjadi pelopor dalam industri ini, dan selama beberapa tahun terakhir, mereka telah mengaplikasikan pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas serta efisiensi produksi pertanian.
Namun, penggunaan teknologi pertanian cerdas untuk mengurangi biaya hanya merupakan salah satu langkah kunci. Mereka menyadari bahwa pemasaran juga memiliki peranan yang sangat penting.
Oleh karena itu, mereka telah mengintegrasikan pemasaran tradisional dengan strategi pemasaran ritel daring, dan membentuk sebuah tim pemasaran di Beijing untuk memasarkan buah persik mereka ke seluruh China.
Melalui upaya ini, mereka berhasil membantu petani setempat meningkatkan pendapatan mereka hingga mencapai lebih dari 34,5 juta yuan (atau sekitar Rp72,5 miliar).
Baca juga: Uji Coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Perjalanan Hanya dalam 20 Menit
Dalam menjalankan misi generasi mereka, kelompok pemuda ini berharap dapat menerapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh dan menginspirasi lebih banyak anak muda untuk berdedikasi pada revitalisasi pedesaan serta menciptakan lingkungan yang lebih baik. (*Ibs)