Flash-Ball
Pewarta Nusantara, Paris - Jaksa di Marseille, Prancis, telah memulai penyelidikan terhadap kematian seorang pria yang diduga akibat tembakan dari senjata kontrol kerusuhan yang dikenal sebagai "flash-ball".
Jaksa menyatakan bahwa penyebab kematiannya kemungkinan disebabkan oleh guncangan keras di dada akibat proyektil tersebut, yang digunakan oleh polisi dalam situasi anti huru-hara.
Namun, belum ada informasi yang menyebutkan siapa yang menembak atau memiliki senjata tersebut. Flash-ball adalah proyektil yang terbuat dari karet atau busa terkondensasi, yang digunakan dalam tindakan pengendalian kerumunan.
Meskipun dianggap "kurang mematikan," senjata ini telah menunjukkan dampak serius seperti serangan jantung dan kematian mendadak pada beberapa kasus.
Sayangnya, sulit untuk menentukan keberadaan pria tersebut saat ditembak atau apakah dia terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Insiden ini terjadi di tengah kerusuhan dan penjarahan di Marseille setelah kematian seorang remaja keturunan Afrika Utara, Nahel M, yang ditembak oleh polisi selama pemeriksaan lalu lintas.
Kejadian ini telah memicu gelombang protes di seluruh negara dan kembali memperkuat tuduhan mengenai rasisme sistemik di kalangan aparat keamanan dan ketidakadilan dalam layanan publik terhadap komunitas keturunan Afrika dan Afrika Utara.
Dalam menanggapi situasi ini, polisi telah menggunakan gas air mata dan terlibat dalam pertempuran jalanan dengan sebagian besar pendemo yang terutama terdiri dari orang muda di pusat kota.
Senjata Flash-Ball, meskipun didesain sebagai senjata kontrol kerusuhan yang tidak mematikan dan tidak menembus kulit, telah menuai kontroversi karena efeknya yang menyebabkan kehilangan penglihatan, cedera kepala, dan trauma lainnya.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah memulai pertemuan dengan pejabat pemerintah untuk menganalisis penyebab lebih mendalam yang menyebabkan negara terjerumus dalam kerusuhan ini.
Tindakan keras pemerintah dan jumlah besar penangkapan menunjukkan eskalasi ketegangan yang mirip dengan kerusuhan yang terjadi pada November 2005.
Kritikus menekankan bagaimana sekolah, kantor walikota, dan bangunan publik menjadi target dalam kerusuhan ini, menunjukkan perlakuan yang merugikan terhadap anak-anak keturunan imigran non-putih.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, menyangkal adanya "alasan sosial" untuk kerusuhan ini, sementara politisi sayap kanan jauh menyalahkan imigrasi massal dan kebijakan imigrasi yang mereka anggap bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Situasi yang kompleks ini menuntut investigasi yang menyeluruh untuk mengungkap fakta-fakta yang akurat dan memberikan keadilan kepada semua pihak yang terlibat. (*Ibs)