G20
Pewarta Nusantara, Internasional - Pertemuan negara-negara anggota G20 yang berlangsung di India pada Sabtu (23/7) kemarin, mengalami kegagalan dalam mencapai kesepakatan terkait pemangkasan bahan bakar fosil.
Kegagalan tersebut dipicu oleh protes dari beberapa negara produsen yang menolak menghentikan penggunaan energi fosil secara bertahap.
Para ilmuan dan aktivis lingkungan merasa kecewa atas hasil pertemuan ini, menyatakan bahwa G20 lamban dalam upaya mencegah pemanasan global, terutama mengingat cuaca ekstrem yang sedang melanda negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
G20, sebagai kelompok negara yang bertanggung jawab atas lebih dari tiga perempat dari total emisi global, diharapkan melakukan upaya kolektif untuk mendekarbonisasi demi mengatasi tantangan perubahan iklim global.
Sebelum pertemuan, Reuters telah menerima salinan draf yang menekankan pentingnya menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, dengan mengikuti situasi nasional masing-masing negara.
Namun, saat pertemuan berlangsung, pejabat G20 malah mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan kekhawatiran beberapa negara anggota terkait rencana pemangkasan ini, yang tidak sesuai dengan draf sebelumnya.
Baca Juga; Elon Musk Umumkan Perubahan Besar di Twitter, Potensi Dampak Politik Dalam Dunia Media Sosial
Salah satu perbedaan pendapat yang menjadi topik perdebatan adalah pengurangan energi fosil. Rencananya, para anggota G20 akan menyampaikan komunike bersama pada akhir pertemuan.
Namun rencana tersebut dibatalkan karena perbedaan pendapat mengenai pengurangan energi fosil, termasuk target peningkatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2020.
Menteri Ketenagalistrikan India, R.K. Singh, mencatat bahwa beberapa negara anggota mengusulkan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) sebagai alternatif pengurangan bertahap bahan bakar fosil, namun ia tidak menyebutkan negara mana saja yang mengusulkan ide tersebut.
Beberapa negara anggota G20, yang juga merupakan produsen utama bahan bakar fosil, seperti Arab Saudi, Rusia, Cina, Afrika Selatan, dan Indonesia, terlihat menentang target peningkatan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dalam dekade ini.
Tantangan ini mencerminkan kompleksitas politik yang terlibat dalam keputusan global mengenai energi dan lingkungan, dan menjadi sorotan karena implikasi besar yang dimilikinya dalam upaya mencapai kesepakatan global dalam mengatasi krisis iklim. (*Ibs)