Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

JATAM

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Jakarta - Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, yang juga dikenal sebagai Kemitraan Transisi Energi yang Adil, merupakan kemitraan eksploitatif yang tidak memberikan jawaban yang tepat atas krisis iklim.

Pada 15 November 2022, Pemerintah Indonesia menandatangani surat kesepakatan pendanaan dengan badan-badan peminjam dana internasional dan pemerintah negara-negara kaya dalam pertemuan puncak Pemerintah Negara-Negara anggota klub G-20.

Memorandum of Understanding (MoU) ini bertujuan untuk meningkatkan konsumsi energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada batubara melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Sementara itu, dalam Konferensi Pihak-pihak Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim ke-27 di Mesir, rincian aturan perdagangan jatah kompensasi emisi karbon, yang merupakan bagian dari Pasal 6 Kesepakatan Paris (COP 21, 2015), juga disepakati.

Menurut Koordinator JATAM, Melky Nahar, dalam keterangan tertulisnya, Pemerintah Indonesia menjadi pengurus negara kedua yang menyepakati skema JETP setelah Pemerintah Afrika Selatan dua tahun sebelumnya.

Rencana investasi JETP untuk Indonesia melibatkan dana sebesar 10 miliar dolar dari International Partners Group (IPG), yang terdiri dari Perancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Selain itu, terdapat juga 10 miliar dolar hutang yang dikoordinasikan oleh GFANZ (Gugus kerja Aliansi Keuangan Glasgow untuk Net Zero), yang terdiri dari HSBC, Standard Chartered, Bank of America, Citi, Deutsche Bank, MacQuarie, dan MUFG.

Menurut JATAM, kerangka JETP terkait dengan alokasi dana pinjaman Climate Investment Fund (CIF) dari Group Bank Dunia sejak 2008, termasuk program pinjaman Clean Technology Fund (CTF) untuk investasi swasta dalam geothermal, baterai, tenaga surya, serta program pinjaman Accelerating Coal Transition (ACT) dengan empat negara sasaran awal, yaitu India, Indonesia, Filipina, dan Afrika Selatan.

Kepala Divisi Hukum JATAM, Muh Jamil, mengungkapkan bahwa JETP memiliki tiga kata kunci yang sarat dengan muatan politik kepentingan negara-negara utara/kaya/industri-maju sebagai penguasa aliran keuangan dan ekonomi global, dalam menghadapi krisis perubahan iklim. Kata kunci tersebut adalah transisi energi, adil, dan kemitraan.

Menurut Jamil, terdapat tiga agenda yang mewakili kepentingan tersebut. Pertama, pengalihan perhatian dan pengerahan kesepakatan negara.

JATAM melanjutkan dengan menyatakan bahwa agenda pertama dalam JETP adalah pengalihan perhatian dan pengerahan kesepakatan negara.

Mereka berpendapat bahwa program tersebut bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari masalah utama, yaitu ketergantungan pada energi fosil dan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan.

Agenda kedua yang disoroti oleh JATAM adalah transisi energi yang diusulkan oleh JETP. Mereka berpendapat bahwa transisi energi yang diarahkan oleh kemitraan tersebut tidak memadai dan tidak memprioritaskan pengurangan konsumsi energi dan keadilan energi bagi rakyat Indonesia.

JATAM juga mengkritik fokus JETP pada energi terbarukan, seperti geothermal, baterai, dan tenaga surya, yang menurut mereka tidak mengatasi akar masalah dan masih melibatkan investasi swasta.

Agenda ketiga yang dipermasalahkan oleh JATAM adalah konsep kemitraan dalam JETP. Mereka berpendapat bahwa kemitraan tersebut lebih menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan swasta daripada rakyat Indonesia.

JATAM mencatat bahwa dana yang diinvestasikan berasal dari negara-negara seperti Perancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi dalam mengendalikan arus keuangan global.

JATAM menyimpulkan bahwa JETP Indonesia adalah kemitraan eksploitatif yang tidak menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi krisis iklim.

Mereka menekankan pentingnya mengurangi ketergantungan pada energi fosil, melindungi sumber daya alam, dan memperjuangkan keadilan energi bagi rakyat Indonesia.

Selain JATAM, beberapa kelompok masyarakat sipil dan aktivis lingkungan lainnya juga mengkritik JETP dan menyatakan kekhawatiran mereka terhadap dampaknya. Mereka menyoroti beberapa masalah yang terkait dengan kemitraan ini.

Salah satu masalah yang diperhatikan adalah kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terkait proyek-proyek energi dan lingkungan di Indonesia.

Kritik ini muncul karena JETP melibatkan banyak perusahaan swasta dan negara-negara asing, sementara partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan sering kali minim atau diabaikan.

Hal ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan hak masyarakat adat dan merugikan komunitas lokal yang mungkin terkena dampak langsung dari proyek-proyek energi tersebut.

Selain itu, beberapa pihak juga menyoroti risiko ekonomi yang terkait dengan keterlibatan negara dalam kemitraan semacam ini. Mereka berpendapat bahwa kesepakatan dengan negara-negara asing atau perusahaan swasta dapat mengikat Indonesia dalam jangka panjang dan mengorbankan kedaulatan ekonomi negara.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa keuntungan ekonomi dari proyek-proyek energi tersebut tidak akan merata dan dapat meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.

Selain kritik terhadap JETP, kelompok-kelompok ini juga mendorong pemerintah Indonesia untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi krisis iklim.

Mereka mengusulkan agar fokus diberikan pada pengembangan energi terbarukan yang lebih kecil skala dan terdesentralisasi, serta memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait energi dan lingkungan.

Baca juga: Menteri Keuangan Optimistis: Ekonomi Indonesia Tetap Kuat Meski Perlambatan Ekonomi Global

Pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan tanggapan terhadap kritik-kritik ini dan menyatakan komitmennya untuk menjaga kepentingan nasional dalam semua kemitraan energi.

Mereka juga menyampaikan bahwa JETP adalah bagian dari upaya pemerintah dalam mencapai target pengurangan emisi dan meningkatkan keberlanjutan energi.

Dalam konteks ini, diskusi dan perdebatan terus berlanjut antara pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dan aktivis lingkungan mengenai arah energi dan kebijakan lingkungan Indonesia.

Perdebatan ini penting untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan terkait energi dan lingkungan di masa depan mengakomodasi kepentingan masyarakat luas, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan memberikan manfaat yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. (*IBs)