Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

PBB

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UNOCHA) melaporkan pada Senin (24/7) bahwa jumlah orang yang telah melintasi perbatasan dari Sudan ke Ethiopia akibat konflik telah mencapai lebih dari 68.000 orang.

Perpindahan penduduk ini telah berlangsung sejak awal krisis di Sudan pada pertengahan April tahun ini. Dari total kedatangan, sekitar 49 persen adalah warga Etiopia yang kembali ke negaranya, sementara 30 persen merupakan warga negara Sudan.

Meskipun penyeberangan terus berlanjut melalui berbagai titik masuk, jumlah kedatangan menunjukkan penurunan dalam seminggu terakhir.

Selain itu, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kesenjangan dalam penanganan arus orang dari Sudan ke Ethiopia.

Tantangan transportasi selanjutnya, akses terbatas ke layanan penyelamatan jiwa seperti makanan, barang non-makanan, air, sanitasi, kebersihan, dan layanan kesehatan menjadi beberapa permasalahan yang dihadapi.

Baca Juga; Korea Utara ‘Mainkan Aksi Teror’ Saat Kapal Selam AS Tiba di Korea Selatan, Meningkatkan Tegangan Politik Regional

Hujan lebat juga menyulitkan kondisi dan medan bagi pekerja bantuan untuk memberikan bantuan tepat waktu. Situasi ini menimbulkan keprihatinan mengenai krisis kemanusiaan di daerah tersebut.

Krisis di Sudan yang terjadi sejak pertengahan April telah menyebabkan bentrokan bersenjata antara Angkatan Bersenjata Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat paramiliter di ibu kota Khartoum dan daerah lainnya.

Kedua belah pihak saling menuduh memulai konflik, dan situasi tersebut telah berdampak pada migrasi penduduk di wilayah tersebut.

UNOCHA dan IOM berupaya memberikan bantuan dan penanganan krisis bagi para pengungsi yang melintasi perbatasan, namun tantangan lingkungan dan medan yang sulit menambah kompleksitas dalam memberikan bantuan tepat waktu dan memadai bagi mereka yang membutuhkan. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memulai kampanye komunikasi yang ambisius untuk menggalang dukungan publik global terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kampanye ini diluncurkan menjelang KTT PBB yang akan digelar pada bulan September, dengan tujuan untuk menghidupkan kembali percakapan dan komitmen terhadap SDGs.

PBB berharap agar semua orang, termasuk pembuat keputusan dan warga negara, merasa terinspirasi untuk bergabung dalam upaya mencapai tujuan tersebut.

Kampanye ini mengajak masyarakat untuk mengambil tindakan konkret melalui inisiatif ActNow PBB, yang memberikan langkah-langkah praktis untuk mempercepat kemajuan SDGs.

Baca Juga: Kontroversi Kebijakan Ekspor Pasir Laut: Analisis Opini Publik dan Potensi Kerusakan Lingkungan

Selain itu, kelompok influencer dari berbagai bidang, seperti hiburan dan olahraga, juga turut berpartisipasi dalam kampanye ini untuk menggerakkan komunitas media sosial mereka dengan jangkauan yang mencapai lebih dari 80 juta orang secara global.

Dengan upaya bersama ini, PBB berharap agar para pembuat keputusan merasakan urgensi dan mendukung tindakan sekarang demi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Pada hari Selasa (04/7), Israel melaksanakan salah satu operasi keamanan terbesarnya sejak tahun 2022 di Jenin, Tepi Barat, dengan partisipasi beberapa ratus tentara.

Menurut Maria Michelson, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), "Skala operasi sangat sulit untuk diukur, tetapi dalam hal jumlah pasukan yang terlibat, hal ini tidak terjadi sejak tahun 2002.

Operasi tersebut melibatkan beberapa ratus personel militer dari berbagai dinas dan unit, termasuk tentara IDF, perwira khusus, pasukan polisi perbatasan (Yamam), dan lainnya."

IDF menyatakan bahwa pasukan keamanan Israel menyerang markas yang digunakan oleh militan lokal di Jenin untuk merencanakan serangan teroris terhadap Israel.

Baca Juga: Pemimpin Palestina Sebut Serangan Terbaru Israel sebagai Kejahatan Perang Baru

Konflik antara Palestina dan Israel telah memburuk sejak tahun 1948. Palestina memperjuangkan pengakuan diplomatik sebagai negara merdeka mereka di wilayah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur (sebagian dikendalikan oleh Israel), dan Jalur Gaza.

Namun, Pemerintah Israel enggan mengakui Palestina secara diplomatik sebagai entitas politik independen dan terus membangun pemukiman di wilayah yang menjadi sumber konflik, meskipun adanya keberatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Peristiwa-operasi tersebut menunjukkan eskalasi ketegangan yang berkelanjutan antara Israel dan Palestina. Konflik tersebut telah memakan korban jiwa dan menimbulkan dampak kemanusiaan yang serius.

Upaya untuk mencapai perdamaian dan penyelesaian yang adil antara kedua belah pihak terus menjadi tantangan besar.

Kondisi di Tepi Barat dan Gaza terus menjadi sorotan internasional, dengan berbagai upaya diplomasi dan advokasi yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional untuk mencari jalan keluar yang berkelanjutan dan stabil bagi kedua negara. (*Ibs)

Baca Juga: China Batasi Ekspor Chip untuk Keamanan Nasional saat AS Pertimbangkan Pembatasan Logam Langka

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Qu Dongyu telah terpilih kembali sebagai direktur jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam sesi ke-43 Konferensi FAO yang sedang berlangsung.

Qu, yang merupakan warga negara Tiongkok, pertama kali terpilih sebagai direktur Jenderal FAO pada Juni 2019, menjadikannya warga negara Tiongkok pertama yang menduduki posisi tersebut.

Melalui kepemimpinannya yang aktif, Qu telah memimpin FAO dalam menghadapi berbagai tantangan terkait ketahanan pangan global dan berkontribusi pada pembangunan pangan dan pertanian di semua negara, terutama negara-negara berkembang.

Usahanya yang gigih dan hasil yang dicapai telah diakui secara luas oleh negara-negara anggota FAO. Sebagai badan khusus PBB yang didirikan pada tahun 1945 dan berkantor pusat di Roma, Italia, FAO memiliki peran yang penting dalam kerja sama global di bidang pangan dan pertanian.

Organisasi ini bertanggung jawab untuk memfasilitasi pertukaran kebijakan, penetapan standar, pengumpulan informasi, dan statistik terkait pangan dan pertanian di tingkat global.

Dalam upaya untuk mencapai keamanan pangan dan pertanian yang berkelanjutan, FAO bekerja sama dengan negara-negara anggota dan mitra lainnya untuk mempromosikan inovasi, keberlanjutan, dan keadilan dalam sistem pangan global.

Dengan Qu Dongyu yang kembali terpilih sebagai direktur jenderal, FAO dapat melanjutkan upayanya dalam menghadapi tantangan kompleks terkait pangan dan pertanian di era yang terus berubah.

Tantangan seperti perubahan iklim, kelaparan, ketimpangan pangan, dan kerentanan sistem pangan menjadi fokus utama FAO dalam upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.

Keberlanjutan dan keadilan dalam produksi pangan, pengelolaan sumber daya alam, serta penguatan sistem pertanian menjadi bagian dari visi FAO di bawah kepemimpinan Qu. (*Ibs)

Baca Juga: Generasi Milenial Mendominasi Pemilih Pemilu 2024: KPU RI R

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencatat peningkatan signifikan dalam kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pasukan Keamanan Ukraina sejak dimulainya operasi militer khusus Rusia.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengungkapkan laporan yang menyoroti kejadian-kejadian tersebut. Dalam laporan tersebut, terdokumentasikan 75 kasus penahanan sewenang-wenang terhadap warga sipil, termasuk penghilangan paksa, yang sebagian besar dilakukan oleh otoritas penegak hukum atau Angkatan Bersenjata Ukraina.

Laporan tersebut juga mencatat kekhawatiran serius terkait penangkapan warga sipil yang terlibat dalam distribusi bantuan kemanusiaan di wilayah yang "diduduki" oleh Federasi Rusia.

Tindakan penahanan dan penyiksaan terhadap mereka yang terlibat dalam upaya kemanusiaan semakin mengkhawatirkan situasi yang sedang berlangsung di Ukraina.

Selain itu, laporan tersebut mengungkapkan adanya ruang penyiksaan yang diduga dibuka oleh Dinas Keamanan Ukraina (SBU) dengan tujuan untuk memperoleh kesaksian dari mereka yang bekerja sama dengan pihak berwenang Rusia saat kota tersebut berada di bawah kendali Rusia.

Beberapa orang dilaporkan meninggal akibat penyiksaan di ruang tersebut, dan tindakan tersebut dianggap sebagai upaya untuk menghilangkan jejak dan menyembunyikan kebenaran tentang kematian mereka.

Pada bulan Oktober, sebagian wilayah Kherson dan Zaporozhye di Ukraina yang dikuasai oleh Rusia digabungkan ke dalam Rusia setelah referendum.

Pasukan Rusia menarik diri dari tepi kanan Sungai Dnepr di Wilayah Kherson, yang kemudian diikuti oleh masuknya pasukan Ukraina ke Kherson.

Keadaan ini menimbulkan keprihatinan serius terkait pelanggaran hak asasi manusia dan penyiksaan yang terjadi dalam konteks konflik yang sedang berlangsung.

Laporan PBB ini menyoroti kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia yang kuat dan penegakan hukum yang adil di Ukraina.

Kasus-kasus penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia harus diteliti dengan seksama, dan pelaku yang bertanggung jawab harus diadili sesuai dengan hukum internasional.

Upaya internasional untuk mendorong dialog damai dan mencapai solusi politik yang berkelanjutan juga harus terus diperjuangkan untuk mengakhiri konflik dan mencegah pelanggaran lebih lanjut terhadap warga sipil. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, New York - Pernyataan Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, mengenai penggunaan persenjataan militer canggih Israel di Jenin, Tepi Barat, telah mengecam tindakan tersebut.

PBB menganggap kekerasan yang terjadi di kota tersebut sebagai situasi yang berisiko lepas kendali. Serangan yang dilakukan oleh pasukan Israel di kamp pengungsi Jenin telah menewaskan tujuh warga Palestina, termasuk anak-anak.

Volker Turk menekankan bahwa penggunaan persenjataan berat semakin memperburuk situasi dan mendesak Israel untuk menghentikan kekerasan.

Dalam pernyataannya, Turk menyoroti intensifikasi penggunaan senjata yang melampaui situasi penegakan hukum dan berisiko memicu konflik lebih lanjut.

Ia memperingatkan bahwa retorika politik yang keras dan peningkatan penggunaan persenjataan militer canggih oleh Israel telah memicu eskalasi kekerasan di Tepi Barat.

Turk mengimbau Israel untuk mematuhi hukum internasional dan mengubah kebijakan serta tindakannya sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Situasi ini semakin memanas setelah serangan tersebut diikuti oleh penembakan yang dilakukan oleh pemberontak Palestina, menewaskan empat pemukim Israel.

Akibatnya, terjadi serangan balasan dari pemukim Israel yang menyerbu kota-kota Palestina, menyebabkan kerusakan properti dan korban jiwa.

Kamp Jenin telah menjadi pusat perhatian dan simbol perlawanan bagi warga Palestina sejak serangan militer besar-besaran yang terjadi pada tahun 2002, ketika 52 warga Palestina tewas.

Israel, yang telah meningkatkan serangan militer di wilayah yang didudukinya, kini harus menghadapi kecaman internasional atas tindakan yang dianggap melanggar hukum internasional.

Pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki menjadi salah satu isu yang memperumit konflik antara Israel dan Palestina. Lebih dari 700.000 warga Israel tinggal di pemukiman-pemukiman tersebut, yang tidak diakui sebagai bagian dari wilayah Israel menurut hukum internasional.

Baca juga: Kasus Penularan Virus West Nile Mencapai Angka Tertinggi di Eropa, ECDC Minta Langkah Perlindungan Ditingkatkan

Sengketa terkait pemukiman-pemukiman ini menjadi salah satu pemicu ketegangan antara kedua belah pihak dan menciptakan ketidakstabilan di wilayah tersebut. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Damaskus - Sepuluh truk bantuan PBB akhirnya berhasil melintasi wilayah pemerintah Suriah dan tiba di Idlib yang dikuasai pemberontak.

Hal ini terjadi setelah beberapa kali terhambat dan dicegat sejak gempa bumi dahsyat yang melanda Turki dan Suriah pada Februari 2023.

Pengiriman bantuan terakhir yang melintasi garis depan dalam konflik ini terjadi pada awal Januari. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengumumkan keberhasilan ini melalui pernyataan di Twitter pada Jumat (23/6).

Sejak gempa bumi terjadi, konvoi-konvoi bantuan telah dicegah untuk masuk ke provinsi Idlib dari daerah yang dikuasai pemerintah oleh kelompok bersenjata Hayat Tahrir al-Sham yang dominan di wilayah tersebut.

Lebih dari tiga juta orang, sebagian besar adalah pengungsi akibat perang di Suriah, tinggal di wilayah Idlib yang dikuasai oleh Hay'at Tahrir al-Sham.

Pengiriman bantuan ke daerah terdampak telah menjadi medan perjuangan politik antara para penentang Presiden Bashar al-Assad dan berbagai organisasi bantuan.

Para penentang al-Assad dan sejumlah organisasi bantuan mendorong PBB untuk mengirim lebih banyak bantuan melalui Turki ke Suriah bagian utara. Di sisi lain, pemerintah Suriah dan Rusia mendesak agar bantuan dikirim melalui Damaskus.

Sebagai tanggapan atas hambatan dan tuntutan politik ini, al-Assad setuju untuk membuka dua pintu perbatasan baru dari Turki, yaitu Bab al-Salam dan al-Raee, untuk sementara waktu.

Namun, sebagian besar bantuan lintas batas tetap dikirim melalui Bab al-Hawa. Mandat pengiriman bantuan lintas batas di Bab al-Hawa akan diperbaharui bulan depan di Dewan Keamanan.

Keputusan Hay'at Tahrir al-Sham untuk mengizinkan pengiriman bantuan mungkin terkait dengan pemungutan suara bulan depan di PBB, di mana persetujuan Rusia akan menjadi faktor penentu.

Syria Response Coordination Group, sebuah organisasi kemanusiaan yang beroperasi di barat laut Suriah, menyoroti fakta bahwa konvoi kemanusiaan telah terjebak dalam ketegangan politik internasional.

Baca juga: Pabrik Drone Turki di Ukraina Menjadi ‘Target Sah’ untuk Rusia: Tensi Militer dan Implikasi Regional

Mereka meminta organisasi internasional untuk mencari cara agar lebih banyak bantuan dapat mencapai daerah tersebut. Situasi ini menunjukkan kompleksitas dalam memberikan bantuan kemanusiaan di tengah konflik yang berkecamuk dan kepentingan politik yang terlibat. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara - ATMIS dan PBB Mengutuk Serangan Teroris di Hotel Somalia. Serangan teroris yang terjadi di Hotel Pearl Beach di ibu kota Mogadishu, Somalia, telah diutuk oleh Misi Transisi Uni Afrika di Somalia (ATMIS) dan PBB.

Serangan tersebut menyebabkan sembilan orang tewas dan sepuluh lainnya mengalami luka-luka. Dalam pernyataan terpisah, ATMIS dan PBB di Somalia menyatakan bahwa serangan teroris, termasuk serangan terbaru oleh kelompok ekstremis al-Shabab, tidak akan menghentikan upaya untuk menstabilkan Somalia.

Mohammed El-Amine Souef, Perwakilan Khusus Ketua Komisi AU untuk Somalia dan kepala ATMIS, menyatakan bahwa menargetkan warga sipil merupakan tindakan pengecut dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional.

Polisi melaporkan bahwa enam warga sipil dan tiga petugas keamanan termasuk dalam jumlah korban jiwa akibat serangan tersebut.

Namun, upaya penyelamatan oleh pasukan keamanan berhasil menyelamatkan 84 orang yang terjebak di dalam hotel, termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua.

ATMIS memberikan pujian kepada pasukan keamanan Somalia atas tanggapannya yang cepat dalam mengendalikan situasi dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Misi ini menyatakan tekadnya untuk terus berjuang melawan terorisme guna menciptakan negara yang aman, stabil, dan maju dalam pembangunan sosial-ekonomi.

Baca juga: Ketegangan Meningkat: 10 Pesawat Tempur China Melintasi Garis Median, Taiwan Kerahkan Pasukan

Serangan ini menjadi bukti lain bahwa al-Shabab berupaya menjadikan Somalia tidak stabil dengan tidak menghormati nyawa manusia.

ATMIS dan PBB menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban yang tewas dalam serangan ini, serta berharap kesembuhan yang cepat bagi mereka yang terluka.

Serangan ini terjadi pada saat ATMIS berencana untuk menarik 2.000 tentaranya pada akhir Juni sebagai bagian dari penyerahan bertahap tanggung jawab keamanan kepada pasukan keamanan Somalia.

Misi perdamaian AU diharapkan akan sepenuhnya meninggalkan Somalia pada 31 Desember 2024. PBB di Somalia juga menekankan bahwa serangan tersebut juga menyebabkan cedera pada staf Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Somalia, dan mereka berharap pemulihan yang cepat bagi mereka yang terluka.

PBB menyatakan solidaritasnya dengan seluruh warga Somalia dalam melawan terorisme. (*Ibs)