Pelanggaran HAM Berat
Pewarta Nusantara, Nasional - Menko Polhukam, Mahfud MD, mengungkapkan bahwa pemerintah menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan membuktikan Pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk membawa empat peristiwa ke Pengadilan HAM dengan 35 terdakwa, namun seluruh terdakwa dinyatakan tak bersalah dan bebas.
Menurut Mahfud, kendala utama yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh bukti-bukti yang memadai untuk membuktikan pelanggaran HAM di pengadilan.
Dalam kasus-kasus yang telah dicoba dibawa ke Pengadilan HAM, seperti Peristiwa Jejak Pendapat Timor Timur, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Abepura, dan Peristiwa Paniai, pemerintah menghadapi kesulitan dalam mengumpulkan bukti yang memadai.
Mahfud menjelaskan bahwa pembuktian pelanggaran HAM harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Karena peristiwa-peristiwa tersebut terjadi dalam waktu yang sangat lama, pembuktian secara hukum menjadi semakin sulit.
Baca Juga: Menteri Pertanian: Dampak El Nino Ancam 80% Lahan Pertanian di Indonesia
Sejak 25 tahun reformasi, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang pelakunya dinyatakan bersalah. Menurut Mahfud, hal ini bukan disebabkan oleh ketidakobjektifan hakim atau ketidaksungguhan jaksa, melainkan karena hukum acara yang digunakan oleh Kejaksaan dan Komnas HAM tidak dapat sepenuhnya dipenuhi.
Sebagai upaya penyelesaian, Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian non-yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Tujuan dari pembentukan tim ini adalah untuk memberikan kompensasi kepada para korban pelanggaran HAM berat sambil pengadilan terus mencari para pelaku.
Namun, penyelesaian non-yudisial ini tidak menghapuskan kewajiban penyelesaian secara yudisial. Upaya konkret dalam penyelesaian yudisial akan melibatkan konsultasi dengan DPR RI dan Komnas HAM untuk mencari cara pembuktian terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam konteks ini, Mahfud MD mengajak semua pihak untuk mengambil langkah yang sejalan dengan peraturan yang berlaku. Apabila penyelesaian yudisial tidak memungkinkan, maka kerjasama dengan DPR akan dilakukan untuk mengeksplorasi cara lain dalam mengungkap dan membuktikan pelanggaran HAM berat. (*Ibs)