Pewarta Nusantara
Menu Menu

UE

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) telah mengeluarkan peringatan kepada otoritas di Uni Eropa (UE) dan Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) untuk meningkatkan kewaspadaan dalam mendeteksi dan memantau wabah penyakit Legionnaire.

Menurut Laporan Epidemiologi Tahunan terbaru ECDC, jumlah kasus penyakit ini telah melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan lebih dari 10.700 kasus dilaporkan pada tahun 2021, termasuk 704 kasus kematian.

Tingkat notifikasi tahunan tertinggi tercatat dengan 2,4 kasus per 100.000 penduduk, disebabkan oleh bakteri Legionella.

Empat negara, yaitu Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman, menyumbang 75 persen dari total kasus yang dilaporkan.

Baca Juga: Revitalisasi Pindah Memilih dalam Pemilu 2024: Ketentuan Baru untuk Menjaga Integritas dan Akurasi Data Pemilih!

Kelompok yang paling terdampak adalah laki-laki berusia 65 tahun ke atas, dengan tingkat 8,9 kasus per 100.000 penduduk.

Meskipun ECDC belum mengetahui penyebab pasti peningkatan ini, mereka telah mengidentifikasi beberapa faktor yang mungkin berperan, seperti perubahan kebijakan pengujian dan sistem pengawasan nasional, serta populasi yang semakin menua.

ECDC juga menganggap perubahan desain dan infrastruktur sistem air, serta perubahan iklim dan cuaca, dapat berdampak pada ekologi bakteri Legionella dan meningkatkan paparan aerosol air yang mengandung bakteri tersebut.

Suhu air antara 25 hingga 42 derajat Celsius dan genangan air menjadi kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri Legionella.

Mengingat tingginya tingkat kasus kematian dan kesulitan dalam mengidentifikasi serta mengendalikan sumber lingkungan, ECDC menekankan pentingnya kewaspadaan pihak otoritas kesehatan masyarakat dalam mendeteksi klaster dan wabah melalui pengawasan yang intensif. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Internasional - Jajak Pendapat: Dukungan Agar Inggris Bergabung Kembali dengan UE Meningkat Menjadi 58%: Melonjaknya Dukungan di Tengah Proses Brexit

Dukungan publik di Inggris untuk bergabung kembali dengan Uni Eropa (UE) telah meningkat menjadi 58%, demikian hasil jajak pendapat YouGov.

Jika ada referendum baru tentang keanggotaan UE, 42% responden mengatakan mereka akan memilih untuk tetap keluar. Hasil ini menunjukkan perubahan persepsi yang signifikan setelah proses Brexit.

Survei pelacak Brexit yang melibatkan 2.037 orang dewasa Inggris menghasilkan angka-angka tersebut. Responden yang tidak akan memilih atau tidak tahu tidak termasuk dalam perhitungan ini.

Jika mempertimbangkan faktor tersebut, dalam jajak pendapat Mei, jumlah responden yang menyatakan akan memilih untuk bergabung kembali menurun menjadi 46%, sedangkan sebelumnya mencapai 47%.

Di sisi lain, 33% responden mengatakan mereka akan memilih untuk keluar atau tidak ikut, sementara 9% menyatakan tidak akan memilih atau tidak tahu.

Jajak pendapat ini dilakukan di Inggris dan negara-negara anggota UE lainnya dari 10 hingga 23 Mei. Hasilnya juga menunjukkan bahwa dukungan untuk keanggotaan UE tetap kuat di Prancis, Jerman, Denmark, Swedia, Spanyol, dan Italia.

Baca juga: Jepang dan Prancis Sepakat Perkuat Kerja Sama Pertahanan dalam Rangka Tantangan Geopolitik Regional

Meskipun Italia dan Prancis dikenal sebagai negara-negara yang paling skeptis terhadap UE, masing-masing 50% dan 47% responden mengatakan mereka akan memilih untuk tetap tinggal jika ada referendum serupa dengan gaya Brexit diadakan. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Kyiv - Kunjungan London akan menjadi momentum penting dalam upaya mendukung Ukraina dalam menghadapi serangan Rusia.

Komisi Eropa bersiap untuk mengumumkan paket bantuan keuangan senilai €50 miliar ($55 miliar) yang akan diberikan kepada Ukraina.

Sumber mengindikasikan bahwa langkah ini akan melibatkan kontribusi langsung dari negara-negara anggota UE daripada meminjam dari pasar.

Paket tersebut bertujuan untuk mendukung pengeluaran pemerintah Ukraina dan membiayai upaya rekonstruksi yang mendesak.

Namun, bantuan ini juga menuai kritik dan perhatian terkait keberlanjutan anggaran UE. Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner, mengungkapkan keterbatasan keuangan yang dihadapi oleh Berlin dan menegaskan bahwa mereka tidak dapat memberikan kontribusi tambahan.

Sementara itu, Moskow terus memberikan peringatan terhadap pengiriman senjata ke Ukraina, menyebutnya sebagai keterlibatan langsung dalam konflik.

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menekankan bahwa persenjataan dan pelatihan pasukan Ukraina oleh sekutu NATO dapat memperparah eskalasi konflik tersebut.

Baca juga: Krisis Sosial Ekonomi di Lebanon: Anak-anak Terpaksa Bekerja dan Pendidikan Terhenti

Dalam Konferensi Pemulihan Ukraina yang diadakan di London, para pemangku kepentingan internasional akan membahas dukungan keuangan dan upaya rekonstruksi yang diperlukan untuk membantu Ukraina menghadapi serangan Rusia.

Dengan adanya paket bantuan baru yang signifikan, diharapkan Ukraina dapat mengatasi tantangan yang dihadapinya dan memulihkan kestabilan di wilayah tersebut. (*Ibs)