Uni Eropa
Pewarta Nusantara, Jakarta - Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, secara tiba-tiba melontarkan kritik yang tajam terhadap parlemen Uni Eropa, menyebut mereka diskriminatif dan kejam.
Pernyataan keras tersebut diungkapkannya saat bertemu dengan anggota parlemen Uni Eropa dalam acara "Bhineka Culture Festival" di Pantai Jerman, Bali, pada Jumat (23/6/2023).
Zulkifli menjelaskan alasan di balik kritiknya terhadap tindakan Uni Eropa yang membatasi akses penjualan produk Indonesia, terutama produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dengan mengharuskan sertifikat ramah lingkungan untuk barang yang dijual. Akibat persyaratan ini, beberapa produk UMKM seperti kopi dan sabun mengalami kesulitan untuk masuk ke pasar Uni Eropa.
"Dalam pernyataan saya, saya menyebut mereka jahat dan diskriminatif. Mereka membuat undang-undang tentang deforestasi. Bagaimana bisa kopi, turunan sawit untuk sabun dan kosmetik, serta produk lainnya seperti cokelat, karet, dan lada tidak bisa masuk? Ini adalah hasil produksi petani dan rakyat, mengapa harus ada persyaratan sertifikat? Bagaimana cara mengurusnya? Orang-orang di kampung saya di Lampung diminta untuk mengurus sertifikat, itu tidak mungkin. Jadi, mereka melarang-larang dan menyusahkan," ungkapnya.
Dia juga menambahkan bahwa mereka memang penjajah di masa lalu dan sekarang mereka hanya mengubah modelnya. Meskipun kritiknya membuat anggota parlemen Uni Eropa marah, Zulkifli tidak peduli. Menurutnya, mereka tidak adil dalam kebijakan yang mereka terapkan.
Zulkifli juga mencatat bahwa Uni Eropa seringkali berteriak dan mengkritik di tingkat global ketika kepentingan mereka terganggu, seolah-olah dunia sedang mengalami bencana.
Selain itu, ia juga menyuarakan pertanyaan mengenai dampak lingkungan dari ekspor Uni Eropa, seperti pesawat tempur yang mencemari lingkungan melalui bahan bakar dan suara bisingnya.
"Misalnya pesawat tempur, apakah itu tidak mencemari lingkungan? Bahan bakunya pasti berasal dari tambang. Belum lagi suara bisingnya dan penggunaan minyaknya. Bayangkan saja. Jadi, ini tidak adil. Itulah yang saya sampaikan," tegasnya.
Meskipun mendapat reaksi emosional dari anggota parlemen Uni Eropa, Zulkifli tetap teguh pada pandangannya dan berusaha menyuarakan kepentingan Indonesia serta menyoroti ketidakadilan dalam kebijakan perdagangan Uni Eropa yang dianggapnya merugikan UMKM Indonesia. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) mengungkapkan bahwa jumlah kasus penularan virus West Nile yang ditularkan secara lokal mencapai angka tertinggi di Eropa sejak tahun 2018.
Hingga 31 Mei 2022, telah dilaporkan lebih dari 1.300 kasus infeksi virus West Nile, termasuk 104 kematian, di berbagai negara di Uni Eropa (UE), Wilayah Ekonomi Eropa (EEA), dan negara-negara tetangga UE.
Italia dan Yunani menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak, masing-masing melaporkan 723 dan 283 kasus. Faktor-faktor seperti gelombang panas, banjir, dan kekeringan yang terjadi di Eropa menciptakan kondisi yang memungkinkan nyamuk Aedes albopictus, yang juga dapat menyebarkan demam berdarah, malaria, dan virus Chikungunya, berkembang biak.
Nyamuk ini juga membawa virus West Nile, demam kuning, dan virus Zika. Meskipun spesies nyamuk tersebut biasanya terdapat di daerah lembap di sekitar wilayah Mediterania, mereka telah menyebar ke wilayah utara dan ketinggian yang lebih tinggi.
Bahkan Denmark dan Swedia juga mencatat kasus penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Direktur ECDC, Andrea Ammon, mengungkapkan kekhawatiran akan penyebaran geografis nyamuk invasif ke daerah yang sebelumnya tidak terpengaruh di Eropa.
Dalam menghadapi situasi ini, langkah-langkah perlindungan diri dan pengawasan harus diperkuat, serta perlu fokus pada pengendalian populasi nyamuk.
Baca juga: Panggung Pyramid Festival Glastonbury Dibuka oleh Musik Kolektif Trance Maroko
ECDC menekankan pentingnya upaya kolektif untuk mencegah penyebaran penyakit seperti demam berdarah, Chikungunya, dan virus West Nile, sehingga dapat mengurangi jumlah kasus dan potensi kematian yang terkait dengan penyakit tersebut. (*Ibs)
Pewarta Nusantara, Internasional - Jajak Pendapat: Dukungan Agar Inggris Bergabung Kembali dengan UE Meningkat Menjadi 58%: Melonjaknya Dukungan di Tengah Proses Brexit
Dukungan publik di Inggris untuk bergabung kembali dengan Uni Eropa (UE) telah meningkat menjadi 58%, demikian hasil jajak pendapat YouGov.
Jika ada referendum baru tentang keanggotaan UE, 42% responden mengatakan mereka akan memilih untuk tetap keluar. Hasil ini menunjukkan perubahan persepsi yang signifikan setelah proses Brexit.
Survei pelacak Brexit yang melibatkan 2.037 orang dewasa Inggris menghasilkan angka-angka tersebut. Responden yang tidak akan memilih atau tidak tahu tidak termasuk dalam perhitungan ini.
Jika mempertimbangkan faktor tersebut, dalam jajak pendapat Mei, jumlah responden yang menyatakan akan memilih untuk bergabung kembali menurun menjadi 46%, sedangkan sebelumnya mencapai 47%.
Di sisi lain, 33% responden mengatakan mereka akan memilih untuk keluar atau tidak ikut, sementara 9% menyatakan tidak akan memilih atau tidak tahu.
Jajak pendapat ini dilakukan di Inggris dan negara-negara anggota UE lainnya dari 10 hingga 23 Mei. Hasilnya juga menunjukkan bahwa dukungan untuk keanggotaan UE tetap kuat di Prancis, Jerman, Denmark, Swedia, Spanyol, dan Italia.
Baca juga: Jepang dan Prancis Sepakat Perkuat Kerja Sama Pertahanan dalam Rangka Tantangan Geopolitik Regional
Meskipun Italia dan Prancis dikenal sebagai negara-negara yang paling skeptis terhadap UE, masing-masing 50% dan 47% responden mengatakan mereka akan memilih untuk tetap tinggal jika ada referendum serupa dengan gaya Brexit diadakan. (*Ibs)