Pewarta Nusantara
Menu Kirim Tulisan Menu

Universitas Paramadina

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Jakarta - Universitas Paramadina Mengadakan Seminar dan Peluncuran Buku tentang Strategi Komunikasi Politik Jelang Pemilu 2024.

Universitas Paramadina Jakarta menggelar acara yang bertujuan untuk membahas strategi komunikasi politik dalam konteks pemilu yang akan datang.

Acara tersebut dihadiri oleh penulis buku, Erik Ardiyanto, seorang dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina.

Selain itu, hadir pula Abdul Malik Gismar, seorang dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, dan Tia Rahmania, seorang psikolog dan aktivis perempuan.

Dalam seminar tersebut, Erik Ardiyanto membahas tentang disiplin ilmu komunikasi politik dan memberikan contoh strategi komunikasi politik yang efektif yang diambil dari pengalaman Bernie Sanders, seorang politisi Amerika Serikat yang dikenal sebagai pembaharu.

Erik Ardiyanto menjelaskan bahwa Sanders berhasil memposisikan dirinya sebagai politisi yang berpihak pada isu-isu lingkungan, kesehatan, kesejahteraan buruh, isu-isu perempuan, dan isu-isu egaliter lainnya. Sanders juga dikenal dengan pendekatannya yang menolak keterlibatan dana oligarki dalam kampanyenya.

Selain itu, Erik Ardiyanto juga menyoroti perjalanan politik Sanders dan keberhasilannya dalam membentuk kelompok minoritas di pemerintahannya, serta perjuangannya terhadap isu kelas berbasis minoritas, imigrasi, veteran, dan rasisme.

Erik Ardiyanto menganggap strategi komunikasi politik Sanders, termasuk penggunaan crowdfunding dalam kampanye politiknya, berhasil memberikan pengaruh psikologi yang signifikan dalam mendukung perubahan politik.

Selanjutnya, Abdul Malik Gismar membahas tentang kondisi politik saat ini di negara-negara liberal demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris. Dia menyoroti beberapa masalah yang dihadapi oleh sistem politik liberal demokrasi, seperti mandegnya proses pembuatan keputusan di kongres dan kesulitan dalam menghadapi isu-isu yang membutuhkan tindakan cepat, seperti masalah kekerasan senjata.

Abdul Malik Gismar juga menunjukkan adanya keinginan publik yang kuat terkait perlunya undang-undang yang efektif terkait kebijakan senjata, namun deadlock di kongres dan pengaruh lobi pro senjata yang kuat membuat upaya tersebut terkendala.

Baca juga: DPR Akan Mengubah Masa Jabatan Kepala Desa Menjadi 9 Tahun dalam Revisi UU Desa

Menurut Abdul Malik Gismar, kondisi politik saat ini memunculkan pemikiran untuk mengganti model sistem politik yang sudah terbukti tidak efektif. Ia merujuk pada model sistem politik seperti yang ada di China dan Singapura yang disebut sebagai "The Mandarinite Government/system".

Sistem ini dikenal karena kekuatannya dalam menjaga integritas dan melawan korupsi, namun kurang memberikan ruang untuk partisipasi dan keadilan.

Abdul Malik Gismar berpendapat bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan model-model sistem politik tersebut, namun juga perlu memperhatikan kelemahan yang ada dalam birokrasi Indonesia.

Ia menekankan pentingnya upaya serius dalam mengelola birokrasi agar menjadi lebih efektif, berintegritas, dan melayani kepentingan publik.

Dalam seminar tersebut, para pembicara menyoroti pentingnya strategi komunikasi politik yang efektif dalam konteks pemilu 2024.

Mereka membahas pengalaman Bernie Sanders sebagai contoh sukses dalam membangun komunikasi politik yang kuat dan memberikan pengaruh nyata dalam perubahan politik.

Diskusi ini memberikan wawasan dan pemahaman yang berharga bagi peserta seminar dalam menghadapi tantangan politik di masa depan.

Dengan demikian, seminar dan peluncuran buku yang diadakan oleh Universitas Paramadina merupakan upaya untuk menganalisis dan membahas strategi komunikasi politik yang relevan dalam menyongsong pemilu 2024.

Melalui pembelajaran dari pengalaman Bernie Sanders dan pemikiran kritis terhadap kondisi politik saat ini, diharapkan dapat ditemukan pendekatan yang lebih efektif dalam membangun politik alternatif yang mampu melayani kepentingan publik secara lebih baik. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Jakarta - Universitas Paramadina, Jakarta, bersama Al-Musthafa International University (Iran), STAI Sadra, Paramadina Graduate School of Islamic Studies, dan Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam, menggelar Seminar Internasional pada Selasa (13/6).

Dalam acara dengan tema 'Merawat Toleransi Beragama', tiga pembicara utama hadir, termasuk Guru Besar al-Musthafa International University, Iran, Prof. Hossein Muttaghi, Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta, Prof. Franz Magnis Suseno, dan Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Abdul Hadi WM.

Prof. Hossein Muttaghi menekankan pentingnya moderatisme dan toleransi dalam Islam. Ia menyatakan bahwa ajaran agama Islam mengandung 100% prinsip moderatisme dan toleransi.

Selain itu, Indonesia memiliki sejarah panjang dan nilai-nilai moderatisme serta toleransi. Ketika Islam masuk ke Indonesia, assimilasi dengan nilai-nilai tersebut terjadi dengan damai dan harmonis.

Prof. Franz Magnis menjelaskan adanya dua jenis intoleransi yang berkembang dalam sejarah manusia dan agama di dunia. Pertama adalah intoleransi biasa, yang tidak terkait dengan ajaran agama, melainkan akibat curiga terhadap yang berbeda dan persepsi perbedaan sebagai ancaman.

Kedua adalah intoleransi yang didasarkan pada ajaran agama itu sendiri, bahkan mendorong tindakan kekerasan terhadap penganut agama lain.

Meskipun masih terdapat insiden-insiden yang memalukan, Indonesia sebenarnya memiliki tingkat toleransi yang baik. Umat Katolik di Jawa, misalnya, merasa aman dan tidak bermasalah meskipun jumlah mereka hanya 1%. Hal serupa terjadi di Kupang, di mana mahasiswa Universitas Muhammadiyah yang sebagian besar beragama Kristen dan Katolik tidak memiliki masalah dalam kepercayaan mereka.

Hubungan antara NU dan Muhammadiyah juga semakin akrab selama 30 tahun terakhir, dengan saling menghargai dan berkomunikasi dalam menghadapi masalah.

Prof. Abdul Hadi WM menyampaikan bahwa pluralisme atau kemajemukan tidak hanya ada dalam masyarakat demokrasi atau liberal, tetapi sudah ada dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk dalam sejarah panjang bangsa Indonesia.

Indonesia memiliki realitas sosial historis yang sangat majemuk, dengan ratusan suku bangsa dan keberadaan orang asing yang hidup berdampingan selama berabad-abad.

Falsafah bangsa Indonesia sejak dulu, sebelum ada agama resmi, mengajarkan harmoni dan kerjasama masyarakat. Bangsa Indonesia memiliki kodrat untuk hidup dalam kerukunan dan kerjasama, bukan persaingan seperti dalam masyarakat liberal.

Keberagaman budaya dan geografi Indonesia, dengan pulau-pulau yang terpisah, memungkinkan keanekaragaman tetap terpelihara dan masyarakat saling toleran.

Seminar ini menggarisbawahi pentingnya Merawat Toleransi Beragama di Indonesia, mengingat sejarah panjang dan nilai-nilai yang sudah terbentuk dalam masyarakat.

Meskipun tantangan intoleransi masih ada, kesadaran akan pentingnya toleransi semakin diperkuat dalam rangka membangun masyarakat yang harmonis dan berdampingan secara damai.

Selain itu, seminar ini juga menegaskan bahwa toleransi bukanlah monopoli masyarakat demokrasi atau liberal, tetapi telah ada dalam sejarah bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Indonesia sendiri, dengan keberagaman suku bangsa dan budaya yang luar biasa, memiliki realitas historis yang menunjukkan kemajemukan sebagai ciri khasnya.

Dalam hal ini, Prof. Abdul Hadi WM mengingatkan bahwa harmoni dan kerjasama masyarakat telah ada sejak dulu dalam falsafah bangsa Indonesia, sebelum Islam dan agama resmi lainnya diperkenalkan.

Pentingnya merawat toleransi beragama juga tercermin dalam berbagai contoh nyata di Indonesia. Bangunan seperti Candi Borobudur yang megah dan masjid-masjid besar di Aceh menjadi bukti konkret bahwa masyarakat Indonesia telah mengembangkan kehidupan yang penuh dengan kerukunan.

Kehidupan yang harmonis ini terbentuk melalui prinsip gotong royong, saling menghormati, dan saling berkomunikasi antarumat beragama.

Di tengah geografi Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang terpisah, keanekaragaman budaya dan agama tetap terjaga. Misalnya, Islam di Madura memiliki perbedaan kultural dengan Islam di Jawa, namun tidak pernah menimbulkan masalah.

Selain itu, kehidupan masyarakat di Jawa yang dipengaruhi oleh kepercayaan abangan dan di Bali yang didominasi oleh agama Hindu juga tidak pernah terjadi konflik akibat perbedaan keyakinan.

Baca juga: Apresiasi Mendes Halim Terhadap Relawan Desa Tanggap Bencana Diwek Jombang: Dukung Mitigasi Bencana dan Gelar Lomba untuk Masyarakat

Dengan melihat realitas historis dan sosial Indonesia yang majemuk, seminar ini mengajak untuk merawat dan memperkuat toleransi beragama sebagai pondasi yang kuat dalam membangun masyarakat yang inklusif, saling menghormati, dan harmonis.

Toleransi menjadi kunci penting dalam menjaga keberagaman dan mengatasi konflik yang mungkin timbul akibat perbedaan. Dalam menghadapi tantangan masa depan, menjaga dan memperkuat toleransi menjadi tanggung jawab bersama untuk menciptakan Indonesia yang semakin maju dan berdaya. (*IBs)