Tiga Tingkatan Logika
Nggak harus se-lantip kepala suku Mojok pas mantengin reting Alexa, kita-kita yang awam ini bisa-bisa aja kok melihat dan mengkategorisasikan berbagai macam pola berpikir di sekitar kita. Dari yang berbagai macam itu, saya mau cerita sebagian kecilnya sahaja. Bukannya pelit lho ini, cuma sebagian yang lain sengaja disimpan buat bahan bikin tulisan lagi, kalo-kalo yang ini nggak dilolosin sama Mas Agus. Hehee..
Dulu, dulu sekali, jauh sebelum Pak Basofi Sudirman nyanyi “tidak semua laki-laki…” dengan ekspresinya yang sendu, lengkap dengan topi baret. Tepatnya jaman moyang tetangga-tetangga saya di Rotterdam sini masih meng-koloni moyang kita di Nuswantara. Syahdan, moyang kita petani-petani kopi di Andalas sana nggak boleh metik biji kopi yang mereka tanam untuk dikonsumsi sendiri. Semua kopi harus disetor ke kumpeni, tak luput barang dua biji pun! Ditengah kondisi itu, moyang-moyang kita yang kepepet tapi pengen ngopi, ternyata juga sedikit nakal dan banyak akalnya.
Belum ada catatan riset secara persis soal moyang siapa yang ber-eksperimen karena memang belum ada yang ngurut sanad-nya dengan akurat, moyang anonimus ini nuturi eek-nya salah satu hewan liar yang emang doyan nyemilin buah kopi. Yak tul, eek-nya Luwak. Singkat cerita ternyata seduhan kopi olahan dari eek Luwak itu uenak! Personifikasinya, aromanya saja bikin pengen selingkuh, sedangkan citarasanya bikin termotivasi buat nikung temen sendiri.
Cerita di atas mencerminkan jenis logika pertama, namannya logika iseng-iseng berhadiah. Apapun makanannya, minumnya teh botol….eh maksud saya, apapun motifnya, sengaja atau tidak sengaja, intinya menciptakan inovasi-inovasi baru yang bermanfaat: e-k-s-p-l-o-r-a-s-i.
***
Belakangan baru ada yang neliti, kalo ternyata Luwak itu sepaham sama mendiang Om Bondan Winarno. Dia nggak mau cemilan yang ecek-ecek, oleh karena itu pasti milih buah-buah kopi yang paling mak nyus.. Endusan tingkat tinggi dalam pemilihan bijih kopi ditambah proses fermentasi alami di saluran pencernaannya, itulah yang bikin biji-biji kopi di eek Luwak semakin paripurna.
Nah, karena aroma dan citarasa yang uenak itu tadi, kemudian semakin banyak orang yang pengen nyruput juga. Bukan cuma di sekitaran Andalas saja, tetapi sampai ke luar-luar pulau. Mendadak reputasinya menjonru mengglobal. Karena semakin banyak orang yang pengen coba, sementara nggak mungkin juga Luwak nyemilin berhektar-hektar kopi tiap hari, otomatis harganya jadi mihil bingits. Kombinasi yang serasi, demand melimpah sedangkan supply terbatas. Kemudian para homo economicus jadi mikir, gimana caranya agar stok kopi luwak tetap aman untuk memuaskan hasrat bibir-bibir genit pecinta kopi. Luwak-luwak bukan lagi cuma nyemil kopi, tetapi dipaksa makan sekaligus nyemil kopi. Nah, kalo yang seperti ini namanya e-k-s-p-l-o-i-t-a-s-i.
***
Masing-masing jenis logika di atas bukan tanpa konsekuensi. Jenis logika pertama jelas ciamik, asal tidak membuat jutaan orang gagal paham. Contoh, keseringan eksplorasi kurikulum baru yang melibatkan semua murid se-Indonesia.
Jenis logika kedua juga punya konsekuensi. Namanya juga cemilan, fitrahnya jelas beda sama makanan pokok. Sesekali nyemil ciki itu enak, tapi kalo terus-terusan disuruh makan ciki, nggak pagi, nggak siang, nggak malam? Di-eksploitasi sebegitu rupa Luwak juga teler keles.. Jika konteksnya diperluas, kata Luwak bisa diganti dengan buruh, guru, pak tani, jurnalis, dosen, ustadz yang pengen poligami, pokoknya apapun kecuali anggota dewan.
Yang terakhir, jenis logika ketiga ini tingkatan makrifat. Paling susah dipahami, paling berat dipelajari. Butuh mentalitas dan ketekunan yang statusnya diakui bukan sekedar disamakan. Jenis logika ini ter-indikasi muncul di salah satu negara yang sudah melewati orde lama (orla), orde baru (orba), dan sekarang sepertinya lagi menjalani orde kesasar (orkes).
Kurang lebih seperti ini logikanya,
Premis umum: Bencana gempa berturut-turut terjadi belakangan ini.
Premis khusus: Bencana terjadi di masa pemerintahan Jokowi.
Kesimpulan: Itu salah Jokowi!
Biar lebih jelas saya kasih satu contoh lagi,
Premis umum: Ahamdulillah udah mulai turun hujan..
Premis khusus: Hujan terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.
Kesimpulan: Itu berkat Jokowi!
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida