"Welcome To The Machine" Sebuah Refleksi Terhadap Lembaga Pendidikan
"Welcome To The Machine"
Welcome my son, welcome to the machine.
Where have you been?
It's alright we know where you've been.
You've been in the pipeline, filling in time
Provided with toys and Scouting for Boys.
You bought a guitar to punish your ma.
And you didn't like school,
and you know you're nobody's fool.
So welcome to the machine.Welcome my son, welcome to the machine.
What did you dream?
It's alright we told you what to dream.
You dreamed of a big star,
He played a mean guitar,
He always ate in the Steak Bar.
He loved to drive in his Jaguar.
So welcome to the machine.
Akhir-akhir ini saya sering memutar lagu-lagu 70-an 'progressive rock' (atau yang bernuansa psikedelik) setelah sekian lama mabuk dengan petikan gitar berat Jimmy Page dari Led Zeppelin, terlebih saat sedang menulis tugas -yang numpuk- kemarin. Genre progresif ini akhirnya berhasil menjatuhkan saya dan saya mulai merasa nyaman saat mendengarkannya, ketukannya slow, banyak nada-nada eksperimental yang sulit ditebak, terkadang bercampur dengan harmonisnya Jazz yang hangat, dan terutama sekali pada lirik-liriknya yang filosofis dan kritis.
Pink Floyd adalah salah satu band prog-rock juga psychedelic rock asal Inggris yang dibentuk pada tahun 1965. Dalam album "Wish You Were Here" (1975) lagu yang berjudul "Welcome to The Machine", mengkritik sistem pendidikan di sekolah-sekolah bagaikan sebuah mesin. Namun mesin disini dalam arti tidak menjadikan anak itu sebagai suatu suku cadang atau hardware yang menjadikan mesin semakin canggih, tapi anak dijadikan sebagai bahan bakar. Makanya dalam bagian liriknya digambarkan "sesuatu yang keluar dari pipa".
.....
You've been in the pipeline, filling in time
Provided with toys and Scouting for Boys
.....
So welcome to the machine
Menurut subyektif penulis, yang dimaksud dalam lirik ini juga tentang realitas anak yang seharusnya berada di bangku sekolah namun tidak mau (mampu) untuk sekolah, entah karena relativitas kemampuan anak ataupun yang lainnya. Sehingga, anak hanya menjadi penerima pelajaran dengan buta dan mimpi-mimpi dari 'orang tua' (kiranya yang dimaksud 'orang tua' di lirik ini mengacu kepada status quo, atau dalam istilah film The School of Rock adalah “The Man”. Atau juga karena tekanan sosial yg membuat seragam dengan orang lain). Hal yang demikian akan menghilangkan sikap kritis dan kreativitas. Pada akhirnya hal itu akan membuat si anak datang ke dalam 'mesin' bukan sebagai suku cadang, tetapi sebagai bahan bakar. Oleh karenanya si anak digambarkan datang dari 'pipeline' atau pipa saluran bahan bakar.
Sepertinya 'sekolah' yang diinginkan oleh-persona atau penulis-lirik dalam lagu ini adalah sekolah yang menjadikan seseorang menjadi pemikir kritis dan mempunyai kreativitas yang bebas, sehingga tidak hanya mendamba bintang-bintang besar yang hidup berkubang di steak bar dan menunggang Jaguar. Jadi, kalau diulur lebih jauh lagi, lagu ini juga mengandung asumsi bahwa tidak sekolah formal pun tidak masalah asal bisa berpikir kritis.
Menurut Emha Ainun Nadjib, pendidikan adalah menemani anak didik untuk mengetahui kehendak Tuhan terhadap dirinya tersebut. Cara pertama yang harus ditempuh untuk mengetahui kehendak Tuhan adalah mengenal jati dirinya. Sesungguhnya Tuhan sudah memberikan seperangkat pengetahuan, begitu lahir ke dunia - ia sengaja dilupakan oleh Tuhan. Hikmahnya, agar manusia tersebut senantiasa mencari, meneliti dirinya sendiri sampai menemukan (keagungan) Tuhan. Paradigma pembelajaran yang ada hingga saat ini masih cenderung 'mengimpor' pengetahuan dari luar dirinya. Akibatnya pengembangan potensi kemampuan nalar akal dan kreativitas mengalami kemandegan. Oleh karena itu, menurut Cak Nun pendidikan harus mengenal sangkan paran, yaitu dimana tempat berpijak dan kemana harus melangkah ke tujuan sejati.
Dari kecil kita sudah menjadi budak yang sangat terdidik dengan jerat sistem pendidikan (sekolah) yang sedemikian rapi dan cita-cita bak raja dengan segala kemuliaannya. Semua yang diajarkan di sana kompleks, sempurna dan brilian. Bahkan, budak tersebut harus mampu mendaki tebing yang tinggi, yakni tujuan dengan peraturan yang sombong itu. Demi mimpi yang paling mulia kelak. Tak peduli relativitas kemampuan mereka, bagaimana mereka melangkah tertatih-tatih kesulitan atau mungkin seperti merasa tenggelam dalam laut yang begitu dalam. Pada akhirnya mau tidak mau mereka harus menurut pada sistem itu dengan hasil apapun. Hingga akhirnya mereka terlepas dari sistem yang mengekang, dan dihadapkan dengan medan pertempuran yang baru, yakni realitas kehidupan.
Paradigma tentang seorang (pelajar) yang cerdas pun kiranya telah benar-benar sempit dan terbatasi oleh bagian-bagian kecil dari kehidupannya di lingkungan sekolah saja. Dalam arti bahwa seorang akan dianggap cerdas jika ia hebat dalam (pelajaran) matematika, fisika, ekonomi dan lain sebagainya. Yang (kebanyakan) hanya bersifat teori saja. Padahal, proses pendidikan bukan hanya dalam lingkup sekolah saja. Namun, ada keluarga dan lingkungan yang merupakan agen sosialisasi juga.
Kesadaran menampar mereka, nyatanya apa yang sudah dipelajari kala itu tidak bersahabat dengan relativitas dan kondisi realitas yang dihadapinya. Sisi kreatifitas mereka lumpuh dan membusuk. Meskipun beberapa dari mereka, akhirnya dapat berjumpa dengan mimpi yang selalu dimpikannya. Sebagian yang lain akan menjadi pupuk penyubur tanaman kapital yang seakan tak mungkin mati.
Dan sebagian yang terakhir akan dihadapkan dengan kebingungan, seakan apa yang dirasakannya bagaikan bayi yang baru lahir atau seperti anak kecil yang diharuskan turun dalam medan pertempuran tanpa adanya mukjizat dari Tuhan. Bagaimanapun mereka harus bereksplorasi di saat itu juga, menemukan passion dan mulai membangkitkan kreativitas yang lumpuh itu. Lalu sejauhmana pendidikan yang sudah ia teguk selama bertahun-tahun itu berdampak??
Kesadaran harusnya ditumbuhkan sedini mungkin, di mana tempat berpijak dan kemana harus melangkah ke tujuan sejati. Sekolah harus melahirkan para pemikir yang kritis dan menjadi pribadi yang kreatif agar mereka dapat bereksplorasi ria, karena mereka adalah tonggak bangsa bukanlah bahan bakar. Menemukan apa yang harus dihadapi dengan relativitas kemampuannya juga medan realitas yang mengharuskannya hidup hingga dapat tumbuh berbunga dan berbuah.
Tulisan ini hanya bunga liar dari pekatnya kopi dan asap-asap yang menemani saya di malam hari.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida