Resesi
Pewarta Nusantara - Pada kuartal pertama, perekonomian Jepang berhasil keluar dari Resesi dan tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan.
Pemulihan ini didorong oleh konsumsi yang pulih setelah pandemi COVID-19, yang berhasil mengatasi hambatan global dan memberikan harapan akan pemulihan yang berkelanjutan.
Meskipun demikian, tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di Amerika Serikat, Eropa, dan China menimbulkan ketidakpastian terhadap prospek Ekonomi Jepang yang bergantung pada ekspor.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang seberapa cepat bank sentral dapat menghentikan program stimulus besar-besaran.
Menurut Yoshiki Shinke, kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute, konsumsi akan terus menjadi pendorong pertumbuhan, terutama dengan penghapusan pembatasan COVID-19 yang meningkatkan pengeluaran di sektor pariwisata dan layanan.
Namun, pemulihan ekonomi diperkirakan akan berjalan moderat karena permintaan luar negeri yang lemah akan memberikan beban pada sektor ekspor. Ini menciptakan dinamika antara permintaan domestik yang kuat dan ekspor yang melambat.
Data pemerintah menunjukkan bahwa perekonomian Jepang, sebagai ekonomi terbesar ketiga di dunia, tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Januari-Maret.
Angka ini jauh melampaui perkiraan pasar yang sebesar 0,7% dan menandai pertumbuhan pertama setelah tiga kuartal sebelumnya mengalami penurunan. Sebelumnya, terjadi kontraksi dua kuartal berturut-turut, yang memenuhi definisi resesi teknis.
Konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari setengah dari ekonomi Jepang, tumbuh sebesar 0,6% pada Januari-Maret dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Pemulihan ini terjadi karena negara tersebut mulai membuka diri setelah pandemi, yang mendorong belanja di sektor layanan. Pertumbuhan ini melampaui perkiraan yang sebesar 0,4%.
Selain itu, belanja modal juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada yang diharapkan, dengan peningkatan sebesar 0,9% pada kuartal tersebut, mengalahkan perkiraan penurunan sebesar 0,4%.
Penguatan permintaan domestik berhasil menyeimbangkan pelemahan sektor ekspor, yang mengalami penurunan sebesar 4,2% pada Januari-Maret.
Ini merupakan penurunan pertama dalam enam kuartal. Permintaan eksternal, atau ekspor bersih, turun sebesar 0,3 poin persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang menunjukkan tekanan yang dihadapi produsen akibat melambatnya pertumbuhan di luar negeri.
Namun, permintaan global yang belum kuat mengakibatkan pelemahan dalam sektor ekspor. Produksi industri juga mengalami penurunan, sehingga sektor manufaktur tidak diharapkan tampil dengan baik dalam waktu dekat, menurut Toru Suehiro, seorang ekonom di Daiwa Securities.
Selain itu, kenaikan biaya bahan bakar dan makanan juga dapat mempengaruhi konsumsi jika kenaikan upah tidak diimbangi. Meski inflasi konsumen Jepang telah melampaui target bank sentral sebesar 2%, remunerasi penerima upah yang disesuaikan dengan inflasi mengalami penurunan sebesar 2,3% pada Januari-Maret dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Angka ini lebih tinggi daripada penurunan sebesar 1,8% pada kuartal sebelumnya, yang menunjukkan beban yang semakin berat bagi rumah tangga akibat kenaikan biaya hidup.