Bank
Pewarta Nusantara, London - Bank of England telah meningkatkan suku bunga menjadi 5 persen sebagai upaya untuk mengatasi masalah inflasi yang semakin meningkat di Inggris.
Keputusan tersebut diambil dalam Komite Kebijakan Moneter yang terdiri dari sembilan anggota, dengan harapan bahwa kenaikan suku bunga yang signifikan ini akan memberikan tekanan bagi peminjam, terutama bagi pemilik rumah yang berencana melakukan refinancing dalam waktu dekat.
Pemutusan kebijakan ini menghasilkan peningkatan setengah persen dalam suku bunga utama, mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Meskipun sebagian besar ekonom memperkirakan kenaikan seperempat persen, kenaikan suku bunga yang ke-13 secara beruntun ini menjadi kejutan bagi banyak pihak.
Beberapa bahkan menggambarkannya sebagai tindakan panik, mengingat adanya harapan bulan sebelumnya bahwa Bank akan menghentikan siklus kenaikan suku bunga.
Gubernur Bank of England, Andrew Bailey, telah menyampaikan bahwa bank tersebut berkomitmen untuk mengembalikan inflasi ke target 2 persen dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Namun, tingkat suku bunga puncak yang diperkirakan mencapai 6 persen oleh pasar keuangan menunjukkan bahwa kemungkinan adanya kenaikan lebih lanjut masih ada jika inflasi tidak menunjukkan penurunan yang jelas.
Inflasi yang tetap stabil pada tingkat 8,7 persen di Inggris, seperti yang diumumkan pada hari Rabu, menunjukkan bahwa pengendalian inflasi menjadi tantangan yang sulit bagi negara ini dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Beberapa pihak menyalahkan bank atas keterlambatan awal dalam menaikkan suku bunga serta meningkatnya biaya impor setelah Inggris keluar dari Uni Eropa.
Baca juga: Facebook dan Instagram Melarang Akses Konten Berita di Kanada
Kenaikan suku bunga juga terjadi di bank sentral lainnya di Eropa. Bank Nasional Swiss dan Bank Sentral Norwegia masing-masing meningkatkan biaya pinjaman sebesar seperempat persen dan setengah persen.
Selain itu, Turki hampir melipatgandakan suku bunga acuan sebagai tanda perubahan kebijakan ekonomi yang tidak konvensional.
Bank-bank di seluruh dunia, termasuk Federal Reserve AS dan Bank Sentral Eropa, telah secara cepat meningkatkan suku bunga dalam dua tahun terakhir guna menekan inflasi yang dipicu oleh keterlambatan pasokan akibat pemulihan dari pandemi dan meningkatnya biaya energi dan pangan akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Meskipun Federal Reserve memutuskan untuk mempertahankan suku bunga yang tidak berubah pada pekan lalu, bank tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam tahun ini. (*Ibs)
Pewarta Nusantara - Akibat dari serangan Ransomware yang mengakibatkan layanan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terhenti, isu mengenai kebocoran data membuat masyarakat gempar.
Kelompok peretas yang menyebut diri mereka sebagai Lockbit mengklaim berhasil mencuri sekitar 1,5 terabyte (TB) data nasabah dari sistem BSI.
Menurut laporan dari tempo.co (17/5/2023), selain data nasabah, dokumen-dokumen lain yang diklaim telah dicuri meliputi dokumen finansial, dokumen legal, perjanjian kerahasiaan, password akses internal, dan layanan perusahaan. Data nasabah yang diduga bocor terdiri dari informasi seperti nama, nomor HP, alamat, nomor rekening, saldo rekening rata-rata, riwayat transaksi, pekerjaan, dan tanggal pembukaan rekening.
Dalam laporan katadata.co.id (16/5/2023), Konsultan Keamanan Siber, Teguh Aprianto, memastikan bahwa data tersebut memang telah bocor dan tersebar secara luas di situs ilegal atau dark web. Dia menyebutkan, "Data BSI saat ini sudah resmi dibocorkan secara bertahap oleh LockBit. Dengan estimasi total 8.133 file yang akan dibocorkan secara keseluruhan," sebagaimana disampaikan dalam cuitan akun Twitternya @secgron pada Selasa (15/5/2023).
Menurut laporan dari katadata.co.id, Gunawan A. Hartoyo, Sekretaris Perusahaan BSI, memberikan penjelasan bahwa data dan dana nasabah dalam kondisi aman, sehingga nasabah dapat melanjutkan transaksi dengan normal dan aman.
BSI juga berkomitmen untuk bekerja sama dengan otoritas terkait dalam mengatasi isu kebocoran data ini.
BSI mengajak masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk lebih sadar akan potensi serangan siber yang bisa menimpa siapa pun. Kesadaran akan keamanan cyber menjadi hal penting dalam melindungi data pribadi.
Ahli Keamanan Siber, Ardi Sutedja, mengingatkan nasabah BSI untuk lebih berhati-hati dalam menjaga data pribadi mereka.
Ia mengungkapkan bahwa jika data internal yang terpublikasi memang merupakan data nasabah, maka ada kemungkinan data nasabah tersebut menjadi target phishing.
"Setelah data bocor, nanti akan diikuti kampanye phishing terhadap basis data yang bocor tersebut," kata Ardi, seperti yang dikutip dari katadata.co.id pada Selasa (16/5/2023).
Ardi memberikan saran agar nasabah lebih teliti dalam membaca email dan hanya membuka email dari alamat yang sudah dikenal.
Selain itu, nasabah disarankan untuk selalu waspada dan tidak membuat asumsi yang dapat membahayakan keamanan data pribadi mereka.
Kebijakan Pelindungan Data Pribadi Pada Sektor Perbankan
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), pengaturan terkait data pribadi nasabah lembaga perbankan telah diatur dalam undang-undang perbankan.
Salah satu undang-undang yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), yang telah mengalami beberapa perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
UU Perbankan menetapkan kewajiban bagi bank untuk menjaga kerahasiaan informasi mengenai nasabah dan simpanannya. Selaras dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen.
Surat edaran ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan, termasuk bank, untuk melindungi data dan informasi pribadi konsumen serta melarang memberikan data dan informasi tersebut kepada pihak ketiga.
Menurut Yosea Iskandar, seorang praktisi hukum dan Direktur Eksekutif Bank DBS Indonesia, persetujuan konsumen terhadap dokumen persetujuan data, terutama dalam sektor perbankan, menjadi kewenangan pemilik data.
Oleh karena itu, konsumen sebagai subjek data memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan data mereka.
Dengan diberlakukannya UU PDP, hak-hak nasabah atau konsumen dalam hal perlindungan data pribadi menjadi lebih jelas.
Ketentuan Hak Nasabah dalam UU PDP Nomor 27 Tahun 2022
Apa itu UU PDP? Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Undang-undang ini merupakan peraturan yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan data pribadi individu di Indonesia.
UU tersebut secara resmi diundangkan oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas dan transparan terhadap data pribadi individu, serta mengatur penggunaan dan pengolahan data secara bertanggung jawab. Terima kasih telah memberikan klarifikasi tersebut.
UU PDP memperkenalkan konsep baru mengenai persetujuan konsumen dan melibatkan beberapa aspek terkait. Berikut adalah pemahaman baru yang diberikan oleh UU PDP:
1. Hak Informasi untuk Pemberi Data
UU PDP memberikan hak kepada individu untuk memperoleh informasi tentang bagaimana data pribadi mereka dikumpulkan, diproses, dan digunakan oleh pihak yang mengendalikan data. Individu memiliki hak untuk mengetahui secara transparan mengenai penggunaan data pribadi mereka.
2. Kewajiban Pengendali Data dalam Pemrosesan Data Pribadi
UU PDP mewajibkan pengendali data untuk memiliki dasar yang sah dalam memproses data pribadi individu. Dasar ini bisa berupa persetujuan dari individu tersebut, pemenuhan kewajiban hukum, kepentingan vital, atau kepentingan publik.
3. Informasi yang Harus Disampaikan oleh Pengendali Data
Pengendali data wajib memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada individu terkait tujuan pengolahan data, jenis data yang dikumpulkan, pihak yang menerima data, serta hak-hak individu terkait data pribadi mereka. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada individu mengenai penggunaan data mereka.
4. Persetujuan yang Legal Jika Diberikan oleh Pemberi Data
UU PDP mengatur bahwa persetujuan harus didasarkan pada penjelasan yang jelas mengenai tujuan pengolahan data. Persetujuan yang diberikan haruslah bersifat sukarela dan informasi yang diberikan harus memadai sehingga individu dapat membuat keputusan yang tepat.
5. Bentuk dan Syarat Persetujuan
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau terekam. Persyaratan persetujuan haruslah jelas dan mudah dipahami oleh individu, sehingga mereka dapat dengan mudah menentukan apakah mereka setuju atau tidak dengan penggunaan data pribadi mereka.
6. Tidak Semua Persetujuan Dianggap Sah
UU PDP menegaskan bahwa tidak semua persetujuan yang diberikan oleh individu dianggap sebagai persetujuan yang sah. Persetujuan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang untuk dianggap sah dan sah.
7. Pembatalan Persetujuan Jika Tidak Disetujui
Jika persetujuan tidak diberikan atau ditarik oleh individu, pengolahan data yang bergantung pada persetujuan tersebut akan batal demi hukum. Individu memiliki hak untuk mencabut persetujuan yang telah mereka berikan jika mereka mengubah pikiran atau tidak setuju lagi dengan penggunaan data pribadi mereka.
8. Adanya Sanksi
UU PDP mengatur adanya sanksi administratif atas pelanggaran perlindungan data pribadi yang dilakukan oleh pengendali data dan/atau pihak yang memproses data pribadi. Hal ini bertujuan untuk mendorong pengendali data dan pihak yang memproses data untuk mematuhi ketentuan perlindungan data pribadi dan mencegah penyalahgunaan data individu.
Itulah 8 poin penting dalam UU PDP yang perlu diketahui oleh nasabah. Ketentuan tersebut merupakan upaya perlindungan terhadap data pribadi yang dimiliki oleh pengendali informasi terkait data pribadi yang dikumpulkan.
Selain itu, Bank memiliki kewajiban untuk memberitahukan kebocoran data nasabah jika hal tersebut terjadi. Hal ini disebabkan oleh dampak negatif yang dapat terjadi jika perusahaan tidak memberitahukan kebocoran tersebut kepada nasabah.
Dalam hal pelanggaran pemrosesan data pribadi, UU PDP juga memberikan hak kepada subjek data pribadi, termasuk nasabah, untuk mengajukan gugatan dan memperoleh ganti rugi sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) UU PDP.
Pemberitahuan kebocoran data merupakan langkah yang penting bagi bank untuk menjaga transparansi dan kepercayaan nasabah. Dengan memberitahukan kebocoran data, nasabah dapat segera mengambil langkah-langkah perlindungan tambahan, seperti memantau aktivitas keuangan mereka atau mengganti informasi pribadi yang terdampak.
Baca juga: Benarkah BSI Terkena Serangan Siber, Bagaimana Perusahaan Bertanggung Jawab jika Demikian?
Selain itu, Pasal 12 ayat (1) UU PDP memberikan perlindungan hukum kepada nasabah dalam hal terjadi pelanggaran pemrosesan data pribadi. Hal ini mendorong perusahaan untuk bertanggung jawab dan memastikan keamanan data pribadi nasabah agar tidak terjadi penyalahgunaan yang merugikan.
*Jika ada informasi yang perlu diluruskan, tinggalkan komentar pada kolom komentar dibawah.
Pewarta Nusantara - Ransomware adalah jenis malware yang dirancang untuk mengenkripsi atau mengunci data di perangkat komputer atau sistem, sehingga pengguna tidak dapat mengaksesnya tanpa memiliki kunci dekripsi yang tepat.
Nama "ransomware" berasal dari kata "ransom" yang berarti tebusan, karena serangan ini biasanya melibatkan permintaan tebusan kepada korban agar data mereka dapat dikembalikan.
Cara kerja Ransomware umumnya dimulai dengan infeksi perangkat melalui berbagai metode, seperti mengklik tautan yang mencurigakan, membuka lampiran email yang berbahaya, mengunduh file dari sumber yang tidak dipercaya, atau memanfaatkan kelemahan dalam sistem keamanan.
Setelah masuk ke perangkat, ransomware akan mulai mengenkripsi file-file penting, termasuk dokumen, foto, video, atau data lainnya yang berharga.
Setelah proses enkripsi selesai, pengguna akan menerima pemberitahuan atau pesan yang menuntut pembayaran tebusan dalam bentuk mata uang digital, seperti Bitcoin, sebagai syarat untuk mendapatkan kunci dekripsi dan mengembalikan akses ke data yang terenkripsi. Jumlah tebusan yang diminta biasanya bervariasi dan dapat sangat tinggi.
Ransomware telah menjadi salah satu ancaman keamanan siber yang paling merusak dan mengganggu. Serangan semacam ini dapat menyebabkan kerugian finansial, kehilangan data yang tak ternilai, dan gangguan operasional yang serius bagi individu, perusahaan, atau organisasi.
Oleh karena itu, penting untuk menjaga keamanan perangkat dan melaksanakan praktik-praktik yang baik dalam menghadapi ancaman ransomware, termasuk pembaruan perangkat lunak, penggunaan perangkat keamanan yang kuat, serta kehati-hatian saat berinteraksi dengan email atau tautan yang mencurigakan.
Baca juga: Benarkah BSI Terkena Serangan Siber, Bagaimana Perusahaan Bertanggung Jawab jika Demikian?
Ransomware Menurut Kevin Mitnick
Salah satu tokoh yang mengartikan ransomware adalah Kevin Mitnick. Kevin Mitnick adalah seorang mantan peretas komputer yang kemudian berubah menjadi seorang konsultan keamanan dan penulis buku.
Ia terkenal karena keahliannya dalam meretas sistem komputer dan pernah menjadi buronan FBI selama beberapa tahun.
Kevin Mitnick memberikan pengertian ransomware sebagai jenis serangan yang mengeksploitasi kelemahan dalam sistem keamanan untuk mengenkripsi data dan meminta pembayaran tebusan agar data tersebut dapat dikembalikan.
Ia menggarisbawahi bahwa ransomware telah menjadi salah satu ancaman terbesar dalam dunia cyber, dengan serangan yang dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan dan kerugian reputasi bagi perusahaan serta individu.
Mitnick juga menekankan pentingnya kesadaran akan serangan ransomware dan penerapan tindakan pencegahan yang kuat.
Menurutnya, upaya pencegahan termasuk menjaga sistem keamanan yang terkini, melaksanakan kebijakan pembaruan yang ketat, serta melatih pengguna agar waspada terhadap lampiran dan tautan yang mencurigakan.
Mitnick juga menyoroti pentingnya melakukan backup rutin data penting sebagai langkah untuk memulihkan data tanpa harus bergantung pada pembayaran tebusan.
Sebagai seorang ahli keamanan yang memiliki pengalaman dalam meretas dan melindungi sistem, Kevin Mitnick memberikan wawasan yang berharga tentang ancaman ransomware dan pentingnya mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi diri dan organisasi dari serangan tersebut.
Pandangan Ransomware Menurut Pakar
Menurut pakar keamanan digital, ransomware adalah salah satu ancaman paling serius dalam dunia keamanan siber saat ini.
Pakar menggambarkan ransomware sebagai jenis serangan yang sangat merusak dan menguntungkan bagi para penyerang. Berikut adalah beberapa pandangan dan pemahaman dari pakar mengenai ransomware:
- Eugene Kaspersky, pendiri perusahaan keamanan cyber Kaspersky Lab, menggambarkan ransomware sebagai "senjata pemerasan masa depan." Menurutnya, ransomware telah menjadi industri yang sangat menguntungkan bagi penjahat siber, karena mudah dilakukan dan menjanjikan keuntungan finansial yang besar.
- Mikko Hypponen, seorang ahli keamanan cyber dan Chief Research Officer di perusahaan keamanan F-Secure, mengatakan bahwa ransomware adalah "senjata pembobolan yang paling efektif dalam sejarah." Ia mengungkapkan bahwa serangan ransomware dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi individu maupun perusahaan.
- Kevin Mitnick, seorang hacker terkenal yang berubah menjadi konsultan keamanan cyber, mengungkapkan bahwa ransomware telah menjadi serangan yang sangat populer di kalangan penjahat siber. Ia menekankan bahwa serangan ini terus berkembang dengan variasi baru yang terus muncul, sehingga memerlukan upaya yang berkelanjutan dalam meningkatkan keamanan dan kesadaran.
- Brian Krebs, seorang jurnalis keamanan cyber yang terkenal, menyebut ransomware sebagai "bisnis kejahatan yang paling menguntungkan dalam sejarah." Menurutnya, serangan ransomware telah menghasilkan jutaan dolar bagi para penyerang, dan bisnis ini terus berkembang dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Pandangan para pakar ini menekankan betapa seriusnya ancaman ransomware dan dampaknya yang merugikan. Mereka menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap keamanan siber, perlindungan data yang kuat, serta pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai serangan ransomware untuk mengurangi risiko yang dihadapi.