Pewarta Nusantara
Menu CV Maker Menu

OJK

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Nasional - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya, menyampaikan harapannya terhadap kerja sama yang kuat antara KLHK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penerapan Nilai Ekonomi Karbon, termasuk Bursa Karbon, di masa depan.

Dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani antara KLHK dan OJK, terdapat beberapa ruang lingkup kerja sama yang mencakup harmonisasi kebijakan di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Sektor Jasa Keuangan, peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia, penyediaan, pertukaran, dan pemanfaatan data dan informasi untuk mendukung tugas dan fungsi KLHK dan OJK, termasuk pengendalian perubahan iklim, pengembangan produk dan infrastruktur Keuangan Berkelanjutan.

Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, juga merespons positif penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

Ia menyatakan bahwa kerja sama ini merupakan kesempatan berharga bagi OJK dan menjadi dasar yang baik untuk kerja sama yang telah terjalin dan akan datang antara KLHK dan OJK.

Dalam konteks penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Mahendra mengungkapkan bahwa OJK telah melakukan konsultasi yang intensif dengan Komisi XI DPR RI dan mendapatkan persetujuan dari komisi tersebut.

Ia juga menyampaikan harapannya agar DPR menyetujui dan mendukung agar kerja sama ini dapat berjalan dengan cepat dan lancar.

Baca Juga; Konflik Memanas di Wilayah Donetsk: Ukraina Kehilangan Lebih dari 340 Tentara dan Peralatan Militer Akibat Pertempuran dengan Pasukan Rusia

"Kerja sama ini bukan hanya untuk menyelesaikan masalah di Indonesia, tetapi juga merupakan upaya dalam menangani masalah global terkait potensi karbon yang besar yang dimiliki oleh Indonesia," ujar Mahendra Siregar.

Melalui kerja sama ini, diharapkan Indonesia dapat lebih efektif dalam mengatasi perubahan iklim dan memanfaatkan potensi karbon yang dimiliki negara tersebut untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan keuangan berkelanjutan di masa depan. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya peningkatan jumlah kredit macet pada sektor Pinjaman Online (pinjol) atau Peer-to-Peer (P2P) lending.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK, Ogi Prastomiyono, tingkat kredit macet pinjol yang diukur berdasarkan tingkat wanprestasi (TWP) 90 hari telah mencapai 3,36 persen pada bulan Mei 2023.

Hal ini menandakan adanya kenaikan dari periode sebelumnya yang sebesar 2,82 persen. Meskipun terjadi peningkatan, OJK menilai bahwa rasio kredit macet dalam industri P2P lending masih terkendali.

Baca Juga: Revitalisasi Pindah Memilih dalam Pemilu 2024: Ketentuan Baru untuk Menjaga Integritas dan Akurasi Data Pemilih!

Sejak awal pandemi, tingkat TWP90 telah berada dalam kisaran 2,8 persen hingga 3,3 persen. Selain itu, tingkat TWP90 saat ini masih berada di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh OJK, yaitu 5 persen.

OJK menganggap tingkat kredit macet yang masih berada di bawah ambang batas tersebut sebagai tanda bahwa situasi masih cukup baik dalam sektor P2P lending.

Meskipun begitu, OJK tetap memantau perkembangan sektor pinjaman online ini dengan ketat. Peningkatan jumlah kredit macet menunjukkan adanya risiko yang perlu diatasi dan dikelola secara efektif.

OJK berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan dan memberikan regulasi yang tepat guna menjaga stabilitas sektor keuangan dan melindungi kepentingan nasabah yang menggunakan layanan pinjaman online. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara, Jakarta - OJK Mengeluarkan Aturan Baru untuk Cegah Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis Peraturan OJK (POJK) Nomor 8 Tahun 2023 yang bertujuan untuk menerapkan Program Anti Pencucian Uang (APU), Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPPSPM) di sektor jasa keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyatakan bahwa peraturan ini juga mencabut POJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang APU dan PPT di sektor jasa keuangan yang sebelumnya telah diubah dengan POJK Nomor 23/POJK.01/2019.

Mahendra menjelaskan bahwa penerapan peraturan ini bertujuan untuk mengurangi risiko tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, dan/atau pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal yang semakin berkembang dan menjadi ancaman serius bagi negara.

Hal ini sejalan dengan prinsip internasional, termasuk yang diatur oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), serta perkembangan inovasi dan teknologi yang memerlukan pengawasan yang lebih ketat.

OJK memberikan periode transisi selama 6 bulan bagi pelaku jasa keuangan (PJK) untuk menyesuaikan diri dengan peraturan baru ini setelah diterbitkannya POJK terbaru.

Terdapat 12 poin yang diatur dalam peraturan baru ini. Beberapa poin tersebut meliputi penambahan PJK yang wajib menerapkan program APU, PPT, dan PPPSPM, pengaturan terkait PPPSPM, persyaratan dan prosedur kerja sama antara PJK dan pihak ketiga, penguatan kewajiban Customer Due Diligence (CDD), dan banyak lagi.

Baca juga: Rekor Tertoreh! Kementerian BUMN Buka Kocek Rp550 Triliun untuk Belanja Produk UMKM dan Gelar Pameran Megah PaDi UMKM HYBRID EXPO 2023

Dengan diterbitkannya peraturan ini, diharapkan sektor jasa keuangan dapat lebih efektif dalam mencegah dan melawan tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.

OJK akan terus melakukan pengawasan dan pengendalian guna menjaga integritas dan keamanan sektor jasa keuangan di Indonesia. (*Ibs)

Ardi Sentosa Ardi Sentosa
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima Panitia Seleksi (Pansel) Pemilihan Calon Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Selasa (30/05/2023), di Istana Merdeka, Jakarta.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, selaku Ketua Panitia Seleksi, menyampaikan bahwa pansel bertemu dengan Presiden untuk melaporkan hasil seleksi calon anggota Dewan Komisioner OJK sesuai dengan undang-undang.

Menkeu menjelaskan bahwa seleksi dilakukan untuk mengisi dua jabatan baru dalam Dewan Komisioner OJK, yaitu Kepala Eksekutif (KE) pengawas lembaga pembiayaan perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan lembaga jasa keuangan lainnya, serta Kepala Eksekutif (KE) pengawas inovasi teknologi sektor keuangan, aset keuangan digital, dan aset kripto.

Proses seleksi dimulai pada tanggal 29 Maret 2023 dengan pembukaan pendaftaran calon secara terbuka. Dari 1.345 pendaftar, sebanyak 118 orang memenuhi persyaratan dan berhasil lolos ke tahap seleksi selanjutnya.

Setelah melalui serangkaian tahapan seleksi, delapan orang calon terpilih untuk mengikuti tahap wawancara. Dari delapan calon tersebut, enam nama diantaranya, yaitu Agusman, Adi Budiarso, Budi Santoso, Hasan Fawzi, Erwin Haryono, dan Mardianto Eddiwan Danusaputro, direkomendasikan oleh pansel kepada Presiden.

Selanjutnya, Presiden akan memilih empat dari enam nama tersebut yang akan diserahkan kepada DPR untuk melalui tahap fit and proper test dalam waktu maksimal 45 hari.

Diharapkan bahwa kedua Kepala Eksekutif OJK ini akan dipilih dan dilantik pada tanggal 11 Agustus 2023, sesuai dengan harapan Sri Mulyani. (*Ibs)

Erniyati Khalida Erniyati Khalida
1 tahun yang lalu

Pewarta Nusantara - Akibat dari serangan Ransomware yang mengakibatkan layanan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terhenti, isu mengenai kebocoran data membuat masyarakat gempar.

Kelompok peretas yang menyebut diri mereka sebagai Lockbit mengklaim berhasil mencuri sekitar 1,5 terabyte (TB) data nasabah dari sistem BSI.

Menurut laporan dari tempo.co (17/5/2023), selain data nasabah, dokumen-dokumen lain yang diklaim telah dicuri meliputi dokumen finansial, dokumen legal, perjanjian kerahasiaan, password akses internal, dan layanan perusahaan. Data nasabah yang diduga bocor terdiri dari informasi seperti nama, nomor HP, alamat, nomor rekening, saldo rekening rata-rata, riwayat transaksi, pekerjaan, dan tanggal pembukaan rekening.

Dalam laporan katadata.co.id (16/5/2023), Konsultan Keamanan Siber, Teguh Aprianto, memastikan bahwa data tersebut memang telah bocor dan tersebar secara luas di situs ilegal atau dark web. Dia menyebutkan, "Data BSI saat ini sudah resmi dibocorkan secara bertahap oleh LockBit. Dengan estimasi total 8.133 file yang akan dibocorkan secara keseluruhan," sebagaimana disampaikan dalam cuitan akun Twitternya @secgron pada Selasa (15/5/2023).

Hal Penting yang Perlu Diperhatikan Nasabah
Menurut laporan dari katadata.co.id, Gunawan A. Hartoyo, Sekretaris Perusahaan BSI, memberikan penjelasan bahwa data dan dana nasabah dalam kondisi aman, sehingga nasabah dapat melanjutkan transaksi dengan normal dan aman.

BSI juga berkomitmen untuk bekerja sama dengan otoritas terkait dalam mengatasi isu kebocoran data ini.

BSI mengajak masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk lebih sadar akan potensi serangan siber yang bisa menimpa siapa pun. Kesadaran akan keamanan cyber menjadi hal penting dalam melindungi data pribadi.

Ahli Keamanan Siber, Ardi Sutedja, mengingatkan nasabah BSI untuk lebih berhati-hati dalam menjaga data pribadi mereka.

Ia mengungkapkan bahwa jika data internal yang terpublikasi memang merupakan data nasabah, maka ada kemungkinan data nasabah tersebut menjadi target phishing.

"Setelah data bocor, nanti akan diikuti kampanye phishing terhadap basis data yang bocor tersebut," kata Ardi, seperti yang dikutip dari katadata.co.id pada Selasa (16/5/2023).

Ardi memberikan saran agar nasabah lebih teliti dalam membaca email dan hanya membuka email dari alamat yang sudah dikenal.

Selain itu, nasabah disarankan untuk selalu waspada dan tidak membuat asumsi yang dapat membahayakan keamanan data pribadi mereka.
Kebijakan Pelindungan Data Pribadi Pada Sektor Perbankan
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), pengaturan terkait data pribadi nasabah lembaga perbankan telah diatur dalam undang-undang perbankan.

Salah satu undang-undang yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), yang telah mengalami beberapa perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

UU Perbankan menetapkan kewajiban bagi bank untuk menjaga kerahasiaan informasi mengenai nasabah dan simpanannya. Selaras dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen.

Surat edaran ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan, termasuk bank, untuk melindungi data dan informasi pribadi konsumen serta melarang memberikan data dan informasi tersebut kepada pihak ketiga.

Menurut Yosea Iskandar, seorang praktisi hukum dan Direktur Eksekutif Bank DBS Indonesia, persetujuan konsumen terhadap dokumen persetujuan data, terutama dalam sektor perbankan, menjadi kewenangan pemilik data.

Oleh karena itu, konsumen sebagai subjek data memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan data mereka.

Dengan diberlakukannya UU PDP, hak-hak nasabah atau konsumen dalam hal perlindungan data pribadi menjadi lebih jelas.
Ketentuan Hak Nasabah dalam UU PDP Nomor 27 Tahun 2022
Apa itu UU PDP? Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Undang-undang ini merupakan peraturan yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan data pribadi individu di Indonesia.

UU tersebut secara resmi diundangkan oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas dan transparan terhadap data pribadi individu, serta mengatur penggunaan dan pengolahan data secara bertanggung jawab. Terima kasih telah memberikan klarifikasi tersebut.

UU PDP memperkenalkan konsep baru mengenai persetujuan konsumen dan melibatkan beberapa aspek terkait. Berikut adalah pemahaman baru yang diberikan oleh UU PDP:
1. Hak Informasi untuk Pemberi Data
UU PDP memberikan hak kepada individu untuk memperoleh informasi tentang bagaimana data pribadi mereka dikumpulkan, diproses, dan digunakan oleh pihak yang mengendalikan data. Individu memiliki hak untuk mengetahui secara transparan mengenai penggunaan data pribadi mereka.
2. Kewajiban Pengendali Data dalam Pemrosesan Data Pribadi
UU PDP mewajibkan pengendali data untuk memiliki dasar yang sah dalam memproses data pribadi individu. Dasar ini bisa berupa persetujuan dari individu tersebut, pemenuhan kewajiban hukum, kepentingan vital, atau kepentingan publik.
3. Informasi yang Harus Disampaikan oleh Pengendali Data
Pengendali data wajib memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada individu terkait tujuan pengolahan data, jenis data yang dikumpulkan, pihak yang menerima data, serta hak-hak individu terkait data pribadi mereka. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada individu mengenai penggunaan data mereka.
4. Persetujuan yang Legal Jika Diberikan oleh Pemberi Data
UU PDP mengatur bahwa persetujuan harus didasarkan pada penjelasan yang jelas mengenai tujuan pengolahan data. Persetujuan yang diberikan haruslah bersifat sukarela dan informasi yang diberikan harus memadai sehingga individu dapat membuat keputusan yang tepat.
5. Bentuk dan Syarat Persetujuan
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau terekam. Persyaratan persetujuan haruslah jelas dan mudah dipahami oleh individu, sehingga mereka dapat dengan mudah menentukan apakah mereka setuju atau tidak dengan penggunaan data pribadi mereka.
6. Tidak Semua Persetujuan Dianggap Sah
UU PDP menegaskan bahwa tidak semua persetujuan yang diberikan oleh individu dianggap sebagai persetujuan yang sah. Persetujuan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang untuk dianggap sah dan sah.
7. Pembatalan Persetujuan Jika Tidak Disetujui
Jika persetujuan tidak diberikan atau ditarik oleh individu, pengolahan data yang bergantung pada persetujuan tersebut akan batal demi hukum. Individu memiliki hak untuk mencabut persetujuan yang telah mereka berikan jika mereka mengubah pikiran atau tidak setuju lagi dengan penggunaan data pribadi mereka.
8. Adanya Sanksi
UU PDP mengatur adanya sanksi administratif atas pelanggaran perlindungan data pribadi yang dilakukan oleh pengendali data dan/atau pihak yang memproses data pribadi. Hal ini bertujuan untuk mendorong pengendali data dan pihak yang memproses data untuk mematuhi ketentuan perlindungan data pribadi dan mencegah penyalahgunaan data individu.

Itulah 8 poin penting dalam UU PDP yang perlu diketahui oleh nasabah. Ketentuan tersebut merupakan upaya perlindungan terhadap data pribadi yang dimiliki oleh pengendali informasi terkait data pribadi yang dikumpulkan.

Selain itu, Bank memiliki kewajiban untuk memberitahukan kebocoran data nasabah jika hal tersebut terjadi. Hal ini disebabkan oleh dampak negatif yang dapat terjadi jika perusahaan tidak memberitahukan kebocoran tersebut kepada nasabah.

Dalam hal pelanggaran pemrosesan data pribadi, UU PDP juga memberikan hak kepada subjek data pribadi, termasuk nasabah, untuk mengajukan gugatan dan memperoleh ganti rugi sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) UU PDP.

Pemberitahuan kebocoran data merupakan langkah yang penting bagi bank untuk menjaga transparansi dan kepercayaan nasabah. Dengan memberitahukan kebocoran data, nasabah dapat segera mengambil langkah-langkah perlindungan tambahan, seperti memantau aktivitas keuangan mereka atau mengganti informasi pribadi yang terdampak.

Baca juga: Benarkah BSI Terkena Serangan Siber, Bagaimana Perusahaan Bertanggung Jawab jika Demikian?

Selain itu, Pasal 12 ayat (1) UU PDP memberikan perlindungan hukum kepada nasabah dalam hal terjadi pelanggaran pemrosesan data pribadi. Hal ini mendorong perusahaan untuk bertanggung jawab dan memastikan keamanan data pribadi nasabah agar tidak terjadi penyalahgunaan yang merugikan.

*Jika ada informasi yang perlu diluruskan, tinggalkan komentar pada kolom komentar dibawah.