Myanmar
Pewarta Nusantara, Internasional - Pihak berwenang di Myanmar melakukan pembakaran obat-obatan terlarang senilai triliunan rupiah atau $446 juta dalam acara tahunan untuk memperingati Hari Internasional Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba.
Tumpukan heroin, ganja, metamfetamin, dan opium setinggi manusia dibakar di pusat bisnis Yangon dan tempat lain di negara tersebut.
Namun, dalam pengakuan yang jarang terjadi, kepala Komite Sentral Pengendalian Penyalahgunaan Narkoba Myanmar mengakui bahwa upaya mereka dalam memerangi perdagangan obat-obatan senilai miliaran dolar tidak memberikan dampak yang signifikan.
Daerah perbatasan Myanmar, Laos, dan Thailand yang dikenal sebagai "Segitiga Emas" telah lama menjadi pusat produksi dan peredaran narkoba ilegal, terutama metamfetamin dan opium.
Militer yang menggulingkan pemerintahan terpilih dan mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021 dianggap tidak serius dalam mengakhiri perdagangan obat-obatan yang menguntungkan ini.
Baca Juga: Peru Pecahkan Rekor: Pertanian Daun Koka Tembus 95.000 Hektar, Tantangan Global
Para analis menyebut bahwa militer sebenarnya adalah kartel perlindungan utama dalam perdagangan narkoba ini. Selain itu, penangkapan rekornya terhadap kristal metamfetamin di Myanmar tahun lalu dan kebangkitan budidaya opium setelah kudeta juga menjadi perhatian.
Lebih dari 23 ton kristal metamfetamin disita di Myanmar pada tahun 2022, sementara harga eceran dan grosir metamfetamin di Asia Tenggara mengalami penurunan signifikan.
PBB melaporkan bahwa jaringan peredaran narkoba di wilayah tersebut mampu beroperasi tanpa hambatan yang signifikan. Produksi opium poppy juga meningkat secara dramatis setelah kudeta, dengan luas lahan yang digunakan mencapai sekitar 40.000 hektar.
Pemerintah militer Myanmar menuduh beberapa organisasi etnis bersenjata yang menguasai wilayah terpencil memproduksi narkoba ilegal untuk membiayai pemberontakan mereka.
Mereka juga menolak berpartisipasi dalam proses perdamaian negara karena ingin tetap memperoleh manfaat dari perdagangan narkoba.
Sejumlah kelompok pemberontak etnis di masa lalu telah menggunakan keuntungan dari narkoba untuk mendanai perjuangan mereka dalam memperoleh otonomi yang lebih besar dari pemerintah pusat.
Sebagian besar obat-obatan terlarang yang diekspor oleh Myanmar menuju Tiongkok dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Meskipun adanya upaya pemusnahan obat-obatan terlarang, perdagangan narkoba yang menguntungkan terus berlanjut di Myanmar.
Baca Juga: Laporan PBB Mengungkap Kasus Penyiksaan oleh Pasukan Keamanan Ukraina:
Keberhasilan dalam memerangi peredaran gelap narkoba masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah Myanmar dan membutuhkan kerjasama yang kuat antara negara-negara tetangga serta upaya internal yang serius untuk menangani akar permasalahan tersebut. (*Ibs)
Pewarta Nusantara - Topan Mocha telah melanda Myanmar dengan kekuatan yang menghancurkan, menyebabkan gangguan besar pada komunikasi dan kesulitan dalam mengevaluasi tingkat kerusakan oleh pekerja bantuan.
Topan ini dikatakan sebagai salah satu badai paling kuat yang pernah melanda wilayah tersebut. Daerah yang terkena dampak terutama berada di pantai Negara Bagian Rakhine barat laut dan perbatasan selatan Bangladesh.
Dampak topan ini meliputi pohon tumbang, tiang dan kabel yang roboh, serta gelombang pasang yang menyebabkan banjir di wilayah dataran rendah.
Berdasarkan laporan awal, Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine, dilaporkan mengalami kerusakan parah. Namun, penilaian yang lebih jelas masih membutuhkan waktu karena beberapa pulau pesisir kecil sulit dijangkau dan sulit untuk berkomunikasi.
Kerusakan juga terjadi di kotapraja Sittwe, Kyaukpyu, dan Gwa, serta merobek atap gedung olahraga di Kepulauan Coco.
Menara komunikasi yang roboh telah memutuskan layanan internet dan telepon, mempersulit upaya penilaian kerusakan.
Tim darurat dari PBB telah dikerahkan untuk memberikan bantuan, namun situasi yang sulit dan banyaknya pengungsi yang tinggal di tempat penampungan yang tidak kokoh menambah kesulitan dalam merespon bencana ini.
Dalam beberapa hari ke depan, diharapkan adanya penilaian yang lebih rinci terkait kerusakan yang disebabkan oleh Topan Mocha di Myanmar, serta upaya yang diperlukan untuk memulihkan komunikasi dan memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak.
Pewarta Nusantara - Kabar yang menggemparkan datang dari Myanmar ketika pasukan junta dilaporkan melakukan pembakaran hidup-hidup terhadap 19 warga sipil, termasuk delapan anak-anak, pada Rabu pekan lalu, saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN sedang berlangsung di Labuan Bajo. Insiden ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan yang sedang terjadi di negara tersebut.
Berdasarkan laporan Radio Free Asia (RFA), pasukan junta menangkap sejumlah orang di Desa Nyaung Pin Thar, Bago, pada tanggal 10 Mei.
Kemudian, pada pukul 17.00, pasukan tersebut mengerahkan kekejaman dengan membakar para warga yang tak berdaya. Lima dari 19 korban adalah anggota satu keluarga, termasuk anak-anak yang masih berusia 6 tahun.
Salah satu sumber yang dihubungi oleh Radio Free Asia (RFA) mengungkapkan bahwa pasukan junta militer "membunuh mereka begitu saja." Kejadian ini terjadi di tengah pertempuran antara pasukan junta dengan dua kelompok pemberontak Karen, yaitu Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) dan Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA), di kawasan Bago.
Beberapa jam sebelum pembakaran terjadi, pemberontak melancarkan serangan di sebuah tambang di kawasan Bago. Mereka mengklaim telah meledakkan tambang tersebut sekitar 15 kali dan menewaskan sekitar 30 tentara junta.
Setelah serangan tersebut, pasukan junta bergerak menuju Desa Nyaung Pin Thar, di mana pertempuran sengit meletus. Pemberontak baru mengetahui insiden pembakaran setelah pertempuran berakhir dan menemukan jasad korban keesokan paginya.
Hingga saat ini, junta militer Myanmar belum memberikan keterangan resmi mengenai insiden ini, yang notabene terjadi di tengah berlangsungnya KTT ASEAN di Labuan Bajo.
Konflik di Myanmar menjadi perhatian serius bagi para pemimpin negara-negara ASEAN. Bahkan, mereka telah merilis deklarasi khusus yang mengutuk serangan terhadap konvoi diplomat yang membawa bantuan di Myanmar, termasuk konvoi yang melibatkan diplomat Indonesia.
Selama KTT berlangsung, Presiden Joko Widodo dan sejumlah pemimpin negara lainnya terus memperingatkan Myanmar untuk segera menghentikan Konflik yang sedang terjadi di negara tersebut.
Myanmar masih dilanda konflik sejak kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan yang sah pada 1 Februari 2021. Warga Myanmar telah menunjukkan ketegasan mereka dalam melakukan demonstrasi di berbagai wilayah, namun junta militer telah menggunakan kekuatan berlebihan dan bahkan melakukan tindakan pembunuhan terhadap mereka yang menentang kekuasaan mereka.
Pewarta Nusantara - Ribuan orang di Myanmar dan Bangladesh sedang dalam persiapan evakuasi ketika Topan Mocha semakin mendekat. Topan ini diperkirakan akan membawa angin kencang dengan kecepatan mencapai 175 km per jam saat mencapai daratan pada Minggu (14/5) besok.
Badai saat ini berada di Teluk Benggala dan bergerak menuju utara, dengan perkiraan lintasan melintasi Sittwe di negara bagian Rakhine barat laut Myanmar dan Cox's Bazar di Bangladesh.
Para otoritas telah memperingatkan tentang bahaya banjir, tanah longsor, dan gelombang badai setinggi 2 hingga 2,7 meter.
PBB melaporkan bahwa komunitas yang sudah rentan dan terlantar di Myanmar, terutama mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Rakhine, menjadi perhatian utama mengingat dampak potensial dari topan ini.
Lebih dari 230.000 orang tinggal di kamp-kamp tersebut yang terletak di daerah pesisir dataran rendah yang rentan terhadap serangan badai.
Selain itu, daerah di jalur badai, termasuk Rakhine dan tiga negara bagian barat laut lainnya seperti Chin, Magway, dan Sagaing, telah menghadapi kondisi krisis dan membutuhkan bantuan kemanusiaan sejak sebelum kedatangan topan.
Myanmar sendiri telah berada dalam krisis sejak Februari 2021 ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang terdiri dari kelompok bersenjata militer dan sipil terlibat dalam pertempuran di beberapa daerah yang sekarang terancam oleh Topan Mocha.
Dalam konflik tersebut, militer menggunakan taktik serupa dengan yang terjadi di Rakhine pada tahun 2017, di mana mereka memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah mereka dan melintasi perbatasan ke Bangladesh, tinggal di kamp-kamp pengungsi.
Kini, permukiman tersebut juga berada dalam kondisi rentan menghadapi Topan Mocha. Pihak berwenang Bangladesh telah menyiapkan masjid dan kantor di kamp-kamp tersebut sebagai tempat perlindungan dari topan.
Organisasi kemanusiaan seperti UNOCHA dan Federasi Palang Merah Internasional juga bergerak cepat untuk mengirimkan tim dan persiapan bantuan, termasuk makanan, kebutuhan pokok, peralatan penyelamatan, dan bantuan lainnya.
Baca juga: Tragedi Banjir dan Longsor Kongo Timur: 10 Orang Tewas Akibat Bencana Alam
Di tengah situasi ini, Liga Persatuan Arakan (ULA), yang merupakan sayap politik Tentara Arakan, bekerja sama dengan organisasi lain untuk memindahkan mereka yang berisiko ke "daerah aman". ULA, yang mengklaim kendali administratif atas sebagian besar negara bagian Rakhine, berupaya melindungi warga yang terancam oleh konflik dan dampak topan.
Bencana topan bukanlah hal baru bagi Myanmar. Pada tahun 2008, Topan Nargis menyebabkan ribuan kematian dan kerusakan besar di Delta Irrawaddy, bagian selatan Rakhine.
Dalam peristiwa tersebut, pemerintah militer saat itu terpaksa meminta bantuan internasional untuk menghadapi skala kehancuran yang terjadi.
Thant Zaw, seorang penduduk yang telah kehilangan anggota keluarga akibat Topan Nargis, kini memutuskan untuk berlindung di sebuah biara di ibu kota negara bagian, Sittwe.
Dalam kondisi ini, ia berusaha melindungi keluarganya dan berharap tidak kehilangan lebih banyak lagi.
Dalam menghadapi ancaman Topan Mocha, upaya evakuasi dan persiapan bantuan menjadi sangat penting bagi masyarakat yang terdampak.